tirto.id - Jika ada persamaan dari "kartu-kartu sakti" Joko Widodo, itu adalah waktunya: semuanya diperkenalkan menjelang pemilihan umum.
Dalam periode kampanye Pilpres 2014,bekas Wali Kota Solo itu selalu berjanjimembikin Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Prototipe kartu-kartu ini dia bawa berkampanye ke mana-mana, termasuk ketika debat di Metro TV.
Janji ini memang ia realisasikan setelah terpilih. Pada November 2014, 20 orang mendapat kartu itu langsung dari tangan Jokowi.
Dua tahun sebelumnya dia juga melakukan hal yang sama. Kala itu statusnya masih jadi calon Gubernur DKI. Dua kartu yang ia janjikan adalah Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Sehat (KJS)--dua kartu sakti yang juga masih dipakai.
Kini, dalam Pilpres 2019, hal serupa ia ulangi. Dalam Pidato Kebangsaan di Sentul, Jawa Barat, Ahad (24/2/2019) lalu, Jokowi bilang akan memperkenalkan kartu baru jika terpilih lagi sebagai presiden: Kartu Sembako Murah, Kartu Indonesia Pintar-Kuliah, dan Kartu Pra-Kerja. Belum jelas siapa yang akan menerimanya.
Apa alasan Jokowi lagi-lagi mengeluarkan kartu yang bikin tambah tebal dompet penerimanya? Sebab, kata Jokowi, kartu-kartu yang sudah ada "tidak cukup." Dia juga bilang "ingin melakukan lebih banyak lagi untuk kesejahteraan rakyat."
Tapi rencana ini dikritik Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Aggaran (Fitra) Misbakhul Hasan. Dia bilang kebanyakan kartu bikin tak efektif. Jika memang tujuan dari itu semua adalah demi menanggulangi kemiskinan, maka seharusnya itu cukup direalisasikan dengan satu kartu perlindungan sosial. Banyaknya kartu kerap tak tepat sasaran.
"Upaya penanggulangan kemiskinan harusnya bisa integratif," kata Misbakhul kepada reporter Tirto.
Sementara Center of Reform Economics bilang tiga kartu ini tak cukup memberdayakan masyarakat. Kartu ini ibarat "ikan", padahal yang masyarakat butuhkan adalah "pancing" agar mereka bisa mandiri. "Pancing" yang dimaksud di antaranya adalah lapangan kerja yang luas dan upah layak.
Terlepas dari kritik yang sifatnya konsep hingga implementasi, lawan politik Jokowi dari Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi merasa pengenalan kartu-kartu ini juga bermotif politis. Jubir BPN Ferdinand Hutahaean mengatakan rencana ini adalah bukti sang petahana tak punya cara lain untuk menarik minat calon pemilih.
"Jokowi enggak punya gagasan baru. Kehabisan ide. Yang penting dapat suara," katanya kepada reporter Tirto, Rabu (27/2/2019) malam.
Hal serupa diungkapkan Wakil Ketua Gerindra Fadli Zon. Dia bilang kalau ini hanya "jurus lama." "Yang lama saja banyak gagal kok. Ngapain janji-janji lagi yang baru? Ini jurus mabok karena elektabilitasnya [Jokowi] sudah mangkrak," katanya.
Pernyataan Fadli soal kegagalan kartu sakti sejalan dengan lewat temuan Indonesia Corruption Watch (ICW). Mereka menemukan bahwa implementasi KIP bermasalah dalam hal akurasi data, distribusi kartu, dan pencairan dana.
"Motif politis" yang disangkakan oposisi ini mungkin telah terpikirkan oleh Jokowi atau tim kampanyenya. Tapi mereka tampaknya tak mempersoalkan itu. Dewan Pembina TKN, Muhaimin Iskandar, misalnya, mengatakan program ini semata dibuat berdasarkan kebutuhan dan juga pengalaman Jokowi selama menjabat.
"Tentu saja kartu baru atau program baru berdasarkan kebutuhan dan tuntutan masyarakat," kata pria yang akrab disapa Cak Imin ini.
Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Agus Sari menganggap penyaluran program perlindungan sosial memang harus disalurkan secara terpisah. Ia mengklaim dengan penyaluran yang dilakukan melalui kartu yang berbeda dapat menyasar penerima manfaat lebih baik lagi.
"Saya malah gak sepakat kalau program itu dijadikan 1 kartu. Karena banyak program-program subsidi dan pengentasan kemisiknan yang tidak well targeted," ucap Agus saat dihubungi reporter Tirto.
Meski kata Imin kartu ini dibuat demi memenuhi kebutuhan masyarakat, tapi faktanya ia turut berkontribusi terhadap kenaikan elektabilitas Jokowi. Setidaknya demikian menurut survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada Juli 2014.
Mereka menyebut kenaikan suara Jokowi-JK dibanding survei terdahulu salah satunya karena janji kartu sakti.
"Ada sosialisasi program Jokowi-JK yang dianggap merakyat seperti Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar," kata peneliti LSI, Fitra Hari, mengutip Kompas.
Ketika itu Jokowi-JK mendapat suara 47,8 persen, sementara Prabowo-Hatta 44,2 persen. Padahal, satu bulan sebelumnya elektabilitas keduanya nyaris seimbang: Jokowi-JK 43,5 persen, sementara Prabowo-Hatta 43 persen.
Kartu-kartu, langsung atau tidak, turut membuat Jokowi jadi Gubernur DKI Jakarta dan Presiden ke-7 Indonesia.
Penulis: Rio Apinino