Menuju konten utama

Kapolri Sebut Teroris Sering Manfaatkan Telegram

Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengatakan aplikasi komunikasi "Telegram" digunakan oleh banyak kelompok teroris di Indonesia.

Kapolri Sebut Teroris Sering Manfaatkan Telegram
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Tito Karnavian angkat bicara soal pemblokiran aplikasi “Telegram” oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Menurut Toto, aplikasi komunikasi tersebut digunakan oleh banyak kelompok teroris di Indonesia.

Hal tersebut ditegaskan mantan Kapolda Metro Jaya tersebut usai menghadiri peresmian Akademi Bela Negara Partai Nasdem di Jakarta, Minggu (16/7/2017). Tito menyebutkan aplikasi media sosial itu digunakan banyak kelompok teroris, karena memiliki banyak fitur pendukung di antaranya ada enskripsi sehingga sulit disadap.

“Pemblokiran telegram ini karena sistem komunikasi ini banyak digunakan oleh banyak kelompok teroris, terlihat dari kasus-kasus sebelumnya, seperti kasus bom di Jalan Thamrin Jakarta, di Medan, Bandung dan terakhir di Falatehan. Semua berkomunikasi menggunakan aplikasi telegram,” kata Tito, seperti dikutip Antara.

Selain karena memiliki banyak fitur pendukung seperti enskripsi, kata Tito, Telegram juga mampu menampung anggota grup sampai 10.000 anggota dan kemudian menyebarkan paham-paham di sana.

Baca: Telegram, Makin Populer (Dianggap) Makin Mengkhawatirkan

Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ini menyebutkan, saat ini terjadi fenomena yang disebut dengan radikalisasi melaui media "online" atau daring, termasuk telegram. “Ini lebih berbahaya karena sulit dideteksi sehingga bisa secara sporatis dan tiba-tiba meledak di sana sini,” ujarnya.

Menurut Tito, cara mencegahnya adalah dengan memperkuat deteksi media daring atau sistem siber, kemudian melakukan langkah penegakan hukum di situ.

“Upaya lain seperti penutupan atau mungkin kita masuk dan menyamar di jalur itu," imbuhnya.

Namun, untuk masuk dan menyamar, persoalan yang dihadapi adalah mereka tahu teknik-teknik untuk menghindar sehingga yang dilakukan penutupan. “Memang kemudian muncul pro dan kontra. Tapi itu biasa dan saya kira lebih banyak untungnya," katanya.

Tito mengaku kebijakan memblokir Telegram memang referensinya berasal dari pihaknya. Ia menjelaskan, saat ini terjadi perubahan dalam komunikasi kelompok teroris. Ia menyebutkan terorisme ada dua macam, yaitu: pertama, yang terstruktur, kedua tidak terstruktur.

"Kalau terstuktur maka kekuatan intelijen menjadi kekuatan nomor satu untuk memetakan struktur mereka sampai sedetail-detailnya," paparnya.

Sementara untuk yang nonstruktur atau jihad tanpa pemimpin atau "self"-radikalisasi, menurut Tito, mulai berkembang di negara-negara Barat sejak 10 tahun yang lalu. Melalui media sosial, kata Tito, bisa dilakukan latihan membuat bom, atau 'online training'.

“Langkah kita yang utama adalah memutus sistem komunikasi mereka dan melakukan kontra radikalisasi, dan melindungi mereka yang rentan terhadap paham radikal,” kata dia.

Sementara itu, pendiri dan CEO Telegram, Pavel Durov menyatakan "terkejut" atas langkah pemerintah Indonesia tersebut. Dalam salah satu cuitannya di Twitter, Durov berkata pihaknya "tak pernah menerima permintaan atau pengaduan dari pemerintah Indonesia." Ia bilang "akan menyelidiki dan membuat pernyataan."

Hari ini Durov menyampaikan pernyataan tersebut di salurannya di Telegram. Ada beberapa poin yang menunjukkan bahwa Durov maupun pihak Telegram sebetulnya kooperatif dan mau diajak diskusi atas apa yang dikhawatirkan pemerintah Indonesia.

Baca: Jawaban Pavel Durov, CEO Telegram: Kami Bukan Teman Teroris

Baca juga artikel terkait BLOKIR TELEGRAM atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz