tirto.id - Masyarakat Hindu di Bali secara rutin menggelar perayaan ogoh-ogoh untuk menyambut Hari Raya Nyepi. Pawai ogoh-ogoh biasanya diadakan 1 hari sebelum Hari Raya Nyepi mulai dari sore hingga malam hari.
Kata “ogoh-ogoh” sendiri berasal dari Bahasa Bali “ogah-ogah” yang memiliki arti “sesuatu yang digoyangkan”. Kata ini memiliki makna yang mencerminkan sisi negatif dari manusia.
Ogoh-ogoh juga dapat dimaknai sebagai salah satu bentuk untuk menunjukkan nilai-nilai keagamaan dan ruang-waktu yang sakral berdasarkan literatur keagamaan.
Selain itu, ogoh-ogoh juga merupakan bentuk dari karya kreatif dalam mengekspresikan keindahan dan kebersamaan.
Parade ogoh-ogoh memiliki filosofi tersendiri untuk manusia yang wajib menjaga alam dan sumber dayanya agar tidak merusak lingkungan.
Jadwal dan Rangkaian Acara Parade Ogoh-Ogoh Hari Raya Nyepi 2024
Parade ogoh-ogoh dilaksanakan sebelum Hari Raya Nyepi umat Hindu di Bali. Berikut adalah jadwal dan rangkaian acara parade ogoh-ogoh pada tahun 2024 ini :
- Parade Ogoh-Ogoh: Minggu, 10 Maret 2024 – Kota Denpasar, Bali
- Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1946 : Senin, 11 Maret 2024
Masyarakat yang ikut berparade biasanya meminum anggur atau arak sebagai simbol dari sisi negatif manusia. Parade akan diakhiri dengan boneka raksasa ogoh-ogoh yang dibakar hingga habis.
Sejarah Pawai Ogoh-Ogoh Sambut Hari Raya Nyepi 2024
Pawai ogoh-ogoh sebenarnya sudah menjadi tradisi masyarakat Bali untuk memeriahkan upacara Pengerupukan semenjak tahun 1985.
Pengerupukan dilaksanakan pada malam hari dengan menyebarkan nasi tawur atau sesaji, meletakkan obor di sekitar rumah dan pekarangan, serta memukul kentongan untuk membuat suara yang gaduh. Pada sesi inilah boneka raksasa ogoh-ogoh diarak mengelilingi desa menuju tempat pembakaran ogoh-ogoh.
Ogoh-ogoh dibuat masyarakat sebagai simbol Bhuta Kala dengan penampilan yang seram, tubuh besar, kuku panjang, bertaring, dan rambut yang berantakan.
Bhuta Kala merupakan istilah untuk merepresentasikan kekuatan alam semesta (Bhu) dan waktu (Kala) yang besar dan tak terbantahkan, karena inilah Bhuta Kala sering disimbolkan dengan sosok raksasa.
Ogoh-ogoh akan didoakan oleh pemuka agama sebelum diarak keliling desa dengan suara gaduh menuju Sema yang merupakan tempat pembakaran jenazah atau juga bisa menuju lahan kosong untuk dibakar pada akhir pawai.
Proses pembakaran ogoh-ogoh atau Nyomnya Kala setelah diarak dimaksudkan untuk menetralisir energi negatif Bhuta Kala di dalam boneka agar menjadi energi positif. Pembakaran ini melambangkan manusia yang insyaf akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dahsyat.
Lahirnya tradisi ini tidak bisa lepas dari dasar pemikiran masyarakat yang berhubungan dengan kepercayaan dan agama Hindu Dharma serta adat istiadat masyarakat Hindu Bali itu sendiri.
Penulis: Wulandari
Editor: Dipna Videlia Putsanra