tirto.id - Masyarakat Hindu Bali merayakan hari Raya Nyepi pada Rabu, 22 Maret 2022. Sehari sebelum hari raya nyepi berlangsung atau Selasa, 21 Maret 2022 akan digelar pawai ogoh-ogoh oleh masyarakat Bali.
Pawai Ogoh-ogoh dilakukan pada malam tahun baru Saka atau malam Hari Raya Nyepi, bersamaan dengan upacara pengerupukan atau upacara pembersihan.
Ogoh-ogoh berasal dari kata “ogah-ogah” bahasa bali yang berarti “sesuatu yang digoyang-goyangkan”. Pada kamus bahasa Indonesia, ogah-ogah berarti ondel-ondel atau boneka yang beranekaragam dengan bentuk menyeramkan, yang melambangkan kejahatan.
Dalam perekembangannya, tidak hanya boneka tradisional seperti buta kala atau makhluk jahat dalam kepercayaan Hindu yang ditampilkan pada pawai Ogoh-ogoh, tapi juga boneka kontemporer yang berbentuk tokoh-tokoh yang dibenci masyarakat atau karakter fiktif yang melambangkan kejahatan.
Boneka tersebut biasanya berukuran raksasa dengan tinggi mencapai 2 hingga 4 meter, boneka kemudian diarak keliling Desa.
Meski digelar beriringan dengan ritual sakral Hindu, pawai ogoh-ogoh bukanlah ritual sakral, oleh karena itu tidak bersifat wajib dan bisa dimodifikasi. Pawai ogoh-ogoh menjadi salah satu tradisi yang menjadi daya tarik wisatawan.
Sejarah Ogoh-ogoh
Diaz Ramadhansyah dan Irma Damajanti dalam sebuah jurnal ilmiah berjudul Telusur Sejarah Ogoh-Ogoh sebagai Manifestasi Seni Rupa Bali dari Sudut Pandang Komodifikasi Budaya menjelaskan sejak tahun 1985, pawai Ogoh-Ogoh sudah jadi tradisi yang menjadi rangkaian acara untuk memeriahkan upacara Pengerupukan.
Pengerupukan dilakukan malam hari dengan cara menyebar nasi tawur (sesaji), menaruh obor di rumahrumah dan pekarangan, serta memukul kentongan untuk membuat bunyi-bunyian gaduh. Pada sesi inilah Ogohogoh diarak berkeliling desa menuju tempat pembakaran Ogoh-ogoh.
Ogoh-ogoh dibuat sebagai simbol Butha Kala yang umum ditampilkan dengan tubuh besar, kuku panjang dan bertaring, wajah yang seram, serta rambut yang tidak beraturan.
Bhuta Kala dalam ajaran Hindu Dharma adalah istilah untuk merepresentasikan kekuatan alam semesta (Bhu) dan waktu (Kala) yang begitu besar dan tak terbantahkan. Karena begitu besarnya kekuatan ini, maka simbol Bhuta Kala seringkali merujuk pada sosok raksasa.
Ketika sebuah Ogoh-ogoh selesai dibuat, Ogoh-ogoh tersebut didoakan terlebih dahulu. Selanjutnya Ogoh-ogoh diarak keliling desa dengan iringan suara riuh, menuju Sema, yaitu tempat pembakaran jenazah atau pekuburan.
Bisa juga menuju lahan kosong. Di sana lah setiap Ogohogoh yang sudah diarak dibakar untuk menetralisir energi negatif atau Butha Kala yang ada di dalamnya agar menjadi energi positif. Proses ini dinamai Nyomnya Kala.
Apabila Ogoh-ogoh tidak dibakar atau didiamkan begitu saja, maka Ogoh-ogoh tersebut bisa dirasuki oleh energi negatif lainnya. Proses ini melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat.
Lahirnya tradisi ini pun dilandasi oleh pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan kepercayaan dan agama Hindu Dharma serta adat istiadat masyarakat Bali.
Kehadiran Ogoh-ogoh selalu dikaitkan dengan upacara Tawur Kesanga (penyucian jiwa dan raga dari berbagai perbuatan dosa) sehingga memiliki dimensi religius, di samping dimensi sosial, budaya, dan ekonomi.
Gunawan dan Surya Buana dalam studinya bertajuk Seni Ogoh - ogoh (Konteks, Teks Dan Efek) menulis bahwa pada saat upacara Tawur dilaksanakan, baik pada skala kecil maupun besar, maka pada saat Nyarub caru (menghaturkan persembahan) memerlukan suara riuh karena sifat Butha Kala senang dengan suara yang serba keras.
Upacara ini ditandai dengan menyalakan api dari daun kelapa kering, menyemburkan bau-bau mesiu, jagung, bawang, serta membunyikan kentongan, gong, atau gamelan. Semua kegiatan tersebut dimaksudkan untuk mengembalikan posisi (lima elemen utama penyusun alam semesta) ke dalam sistemnya masing-masing sehingga mereka tidak mengganggu lagi.
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Dipna Videlia Putsanra