tirto.id - Polisi Malaysia menggerebek kantor berita Al Jazeera dan dua stasiun TV lokal pada hari Selasa (4/8/2020) waktu setempat, atas dugaan penanyangan film dokumenter mengenai migran ilegal.
Dilaporkan New York Times, kantor berita yang berpusat di Qatar tersebut mengatakan dalam sebuah pernyataan, bahwa polisi menyita dua komputer dalam penggerebekan, yang disebutnya sebagai "eskalasi yang mengganggu" dalam tindakan keras pemerintah terhadap kebebasan media.
Polisi sendiri sebenarnya telah membuka penyelidikan untuk film dokumenter Al Jazeera berjudul "Locked Up in Malaysia's Lockdown" pada bulan lalu, setelah sejumlah pejabat mengeluh bahwa film tersebut tak akurat dan bias.
Tujuh anggota staf Al Jazeera pun diperiksa polisi atas dugaan penghasutan, pencemaran nama baik dan melanggar Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia.
Selain Al-Jazeera, kepala investigasi kriminal Huzir Mohamed mengatakan, polisi juga memperoleh surat perintah pengadilan untuk menggeledah kantor dua stasiun TV lokal, Astro dan Unifitv, setelah dilaporkan telah menayangkan videonya.
Huzir mengatakan penggerebekan itu dilakukan bersama dengan Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia, yang juga sedang menyelidiki stasiun itu.
"Tidak ada individu atau entitas yang akan terhindar dari tindakan jika mereka telah melanggar hukum," ujar Huzir, seraya mengatakan komputer yang disitu akan dikirim untuk analisis lebih lanjut.
Sementara pihak Al Jazeera mengatakan serangan itu adalah "serangan terhadap kebebasan pers secara keseluruhan" dan mendesak pemerintah Malaysia untuk menghentikan penyelidikan kriminal.
"Melakukan penyerbuan di kantor kami dan menyita komputer adalah eskalasi yang mengganggu dalam tindakan keras pihak berwenang terhadap kebebasan media dan menunjukkan sejauh mana mereka siap untuk mencoba mengintimidasi wartawan," kata Giles Trendle, direktur pelaksana Al Jazeera English, dikutip Rabu (5/8/2020).
“Al Jazeera mendukung jurnalis kami dan kami mendukung pelaporan kami. Staf kami melakukan pekerjaan mereka dan mereka tidak mendapat jawaban atau meminta maaf. Jurnalisme bukan kejahatan, ” imbuhnya.
Dilansir dari Time, film dokumenter yang berjudul "Locked Up in Malaysia’s Lockdown" menyelidiki imigran gelap yang disebut berisiko selama pandemi virus corona. Lebih dari 2.000 pekerja migran ditangkap selama penggerebekan di daerah-daerah di Kuala Lumpur yang dikunci ketat.
Pihak berwenang Malaysia juga menahan seorang lelaki Bangladesh yang diwawancarai dalam film dokumenter itu, setelah mencabut izin kerjanya, dan mengatakan mereka akan mendeportasinya karena mengkritik pemerintah atas penanganan migran tidak berdokumen.
"Pengejaran tanpa henti dari pihak berwenang terhadap Al Jazeera tampaknya didorong oleh keinginan untuk menghukum wartawan yang menayangkan ‘cucian kotor’ Malaysia, daripada dengan niat baik menerapkan hukum," kata Matthew Bugher, kepala program Asia untuk kelompok hak asasi yang berbasis di Inggris, ARTICLE 19.
Dia mengatakan Malaysia harus menginvestigasi pelanggaran hak yang ditunjukkan dalam film dokumenter itu daripada menargetkan para pembuat film.
Aktivis HAM telah menyuarakan keprihatinan atas tindakan keras terhadap kebebasan berbicara dan kemerdekaan media di bawah Perdana Menteri baru Malaysia Muhyiddin Yassin, yang mengambil alih kekuasaan pada bulan Maret.
New York Times mencatat beberapa pembungkaman terhadap kebebasan pers sebelumnya, seperti Astro yang baru-baru ini harus didenda karena menayangkan film dokumenter Al Jazeera pada tahun 2015 tentang pembunuhan seorang wanita Mongolia tahun 2006 yang diduga berisi "konten ofensif."
Portal berita daring populer, Malaysiakini, beserta editornya juga menghadapi proses peradilan dari jaksa agung atas komentar yang diposting oleh pembaca terhadap pengadilan. Polisi juga menanyai seorang aktivis tentang sebuah pos media sosial yang menuduh penganiayaan para pengungsi di pusat-pusat penahanan imigrasi.
Sementara, seorang jurnalis dari South China Morning Post yang berbasis di Hong Kong juga diinterogasi sebelumnya, tentang laporannya tentang penangkapan migran.
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Yantina Debora