tirto.id - “Potret apa saja yang ingin Anda potret, jangan pedulikan aturan. Andalah yang menentukan bagus atau tidaknya foto Anda, bukan orang lain.” Matthias Fiegl, salah satu pendiri komunitas Lomographic Society.
Jika Anda tertarik fotografi tapi tak cukup waktu dan kemampuan dalam mempelajari berbagai macam teknik memotret, kamera LOMO dapat menjadi alternatif terbaik untuk memenuhi keinginan tersebut.
Kamera LOMO, yang merupakan singkatan dari Leningradskoye Optiko-Mechanichesckoye Obyedinenie, adalah jenis kamera analog yang masih menggunakan film gulung untuk menyimpan hasil jepretan. Hal tersebut dinamakan dengan “lomografi” dan mereka yang mengambil foto menggunakan kamera LOMO dapat dianggap sebagai “lomografer”.
Lomografi menjadi spesial karena (dianggap) menabrak segala aturan baku dalam fotografi. Jika dalam lanskap fotografi konvensional banyak aturan baku yang harus dipatuhi, seperti speed, shutter, dan lain-lain, dengan kamera LOMO urusan memotret murni tentang kesenangan dan berusaha tidak terikat dengan batasan teoretis apapun.
Dengan pakem fotografi yang kasual seperti itu, lomografi secara teknis condong pada gaya snapshot, gangguan foto seperti warna dengan saturasi terlalu tinggi, lens artifacts, dan cacat gara-gara eksposur yang kemudian malah menghasilkan efek abstrak. Para lomografer juga terbiasa membidik dengan viewfinder.
Kamera LOMO memang seolah diciptakan untuk “memberontak” terhadap teknologi tinggi dan pakem high definition dalam fotografi. Betul bahwa fotografi memang bertujuan untuk menghasilkan foto yang bagus. Namun dalam lomografi, definisi “foto bagus” tersebut dapat pula diartikan sebagai “foto unik” atau foto “tak biasa”.
Dilansir dari Lomography.com, ada 10 “aturan” atau dalam istilah mereka: Ten Golden Rules, jika ingin memotret dengan kamera LOMO. Aturan-aturan tersebut antara lain adalah:
- Bawa kamera Anda kemana saja Anda pergi.
- Pergunakan kapanpun, siang atau malam.
- Lomografi bukan sekadar untuk menangkap suasana, tapi bagian dari suasana itu sendiri.
- Coba bidik foto dari pinggul atau posisi tidak biasa lainnya. Tabrak aturan baku.
- Bidik objek foto Anda sedekat mungkin.
- Jangan kebanyakan berpikir, foto saja!
- Cobalah memotret dengan lebih cepat.
- Anda tidak perlu tahu apa saja yang telah Anda potret.
- Tidak usah berupaya untuk menganalisa hasil foto Anda.
- Jangan pedulikan aturan apapun!
Sementara itu, kamera LOMO juga memiliki beragam jenis. Berikut beberapa di antaranya:
- LOMO LC-A: Jenis kamera LOMO edisi awal yang terinspirasi dari kamera compact Jepang Cosina CX-1. LOMO LC-A juga memiliki banyak varian.
- Action Sampler:satu foto terbagi menjadi 4 bagian.
- Oktomat: sekali jepretan (satu foto) dapat ditampilkan menjadi 8 foto kecil.
- Pop 9: sekali jepretan (satu foto) dapat ditampilkan menjadi 9 foto kecil.
- SuperSampler: sekali jepretan (satu foto) dapat ditampilkan menjadi 4 bagian.
- Colorsplash Camera: fokus kepada permainan warna yang tidak melulu sesuai dengan warna asli dan lebih cocok digunakan pada malam hari.
- Fisheye Camera: kamera poket yang memiliki cakupan pandangan 170 derajat. Untuk jenis kamera Fisheye 2, viewfinder memiliki dimensi cembung, juga telah dibekali oleh mode Bulb dan Multiple Exposure.
- Frogeye Underwater: Jenis ini sudah tidak lagi diproduksi. Frogeye merupakan kamera air yang dapat digunakan tanpa casing khusus.
Vladimir Putin dan Jejak Langkah Kamera LOMO
Awal mula lomografi dimulai pada tahun 1982 ketika Michail Panfilowitsch Panfiloff, salah satu tokoh terpenting dari LOMO Russian Arms and Optical (dulunya merupakan pabrik senjata dan alat-alat optik Uni Soviet) meneliti sebuah kamera Cosina CX-1 buatan Jepang.
Kamera Cosina CX-1 didapat Michail dari Jenderal Igor Petrowitsch Kornitzky, orang kepercayaan Menteri Pertahanan dan Industri Uni Soviet kala itu. Dari hasil penelitian tersebut, baik Michail dan Jenderal Kornitzky sepakat untuk mengembangkan (sekaligus meniru) desain kamera CX-1. Kelak, kamera tiruan tersebut mereka namakan Lomo Kompakt Automat atau LOMO LC-A.
LOMO LC-A iproduksi bagi rakyat Uni Soviet. Namun, kendati sudah siap dipasarkan, kamera tersebut belum dapat diproduksi massal karena beberapa kendala. Barulah dua tahun kemudian, LOMO LC-A mulai diproduksi dalam jumlah terbatas: 1100 unit per bulan untuk pasar Soviet.
Mulanya, LOMO LC-A hanya diproduksi untuk pasar Soviet. Bahkan dalam kongres Kommunisticheskaya Partiya Sovetskogo Soyuza (Partai Komunis Uni Soviet) XXVII tahun 1986, sebanyak 6000 kamera LOMO LC-A turut dibagikan kepada para peserta dan delegasi. Dapat dikatakan, sejak inilah popularitas LOMO LC-A mulai meroket dan teknik lomografi pun mulai disukai.
Seiring dengan popularitasnya, kamera LOMO LC-A mulai diproduksi untuk pasar negara-negara komunis lain seperti Rumania, Hungaria, Polandia, bahkan hingga ke Kuba. Sayangnya, akibat kacaunya situasi politik Soviet menjelang akhir 80-an, produksi kamera LOMO LC-A pun turut berkurang drastis. Hingga kemudian dua orang mahasiswa di Wina, Austria, menggunakan kembali kamera tersebut dengan cara yang tidak lazim.
Nama mereka: Sally Bibawy dan Matthias Fiegl.
Kala itu kamera adalah barang yang cukup terjangkau bagi berbagai kalangan. Namun karena fotografi memiliki beragam aturan hingga teknik yang perlu dipelajari, banyak orang enggan membeli kamera. Bibawy dan Fiegl berupaya menghapus stigma tersebut melalui LOMO LC-A.
Kedua mahasiswa tersebut memulainya dengan memotret sekeliling Praha, Ceko. Namun dengan cara yang tidak umum, seperti memotret dari pinggul atau melewati dua kaki. Tentu saja hal tersebut aneh, tapi kedua mahasiwa ini tak peduli. Mereka pun kemudian membuat pameran hasil foto-foto mereka sendiri. Hal tersebut rupanya membuat masyarakat awam fotografi menjadi tertarik.
Bagi Bibawi dan Fiegl, apa yang mereka lakukan tersebut merupakan upaya agar fotografi dapat dinikmati dengan lebih “demokratis” oleh semua kalangan. Lomografi tidak hanya ditujukan buat mereka yang mendaku diri fotografer, tapi juga untuk siapapun yang memiliki kamera.
“Zaman itu adalah saat di mana itu setiap orang memotret dengan memakai satu setengah rol film setiap tahunnya. Beberapa foto digunakan saat perayaan ulang tahun dan sisanya untuk Natal. Kami memperlihatkan hal sebaliknya, dan mengatakan kepada setiap orang bahwa kalian dapat membawa kamera kemanapun dan memotret di mana saja. Bebas,” ujar Bibawy seperti dilansir Business Insider.
"Dalam hal visual, kami memberitahu kepada tiap orang bahwa gambar tidak fokus pun dapat menjadi foto yang sangat bagus. Gambar dengan cahaya berlebih menjadi tidak akan terbayangkan. Di studio foto, ada orang-orang (yang bertugas) membuang foto-foto seperti itu. Tapi kami memberi tahu mereka, 'Lihatlah foto ini—kilauan cahayanya membuat foto ini fantastis dan bahkan lebih bernilai karena memiliki momentum spesial di dalamnya’,” tambahnya.
Setelah berbagai hal positif yang didapat, Bibawy dan Fiegl memutuskan bekerja sama dengan pabrik LOMO terdahulu St. Petersburg untuk memproduksi kembali kamera LOMO LC-A. Mereka sepakat menjualnya dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan kamera lain di pasaran dan mempromosikannya kepada para teman, kerabat, keluarga, hingga orang yang tidak mereka kenal.
Popularitas LOMO pun perlahan bangkit kembali. Tak lama kemudian, klub pecinta lomografi yang pertama dibentuk di Wina dan diberi nama Lomographische Gesellschaft. Berbagai pameran lomografi lalu digelar di berbagai kota besar seperti Moskow, New York, Berlin, Havana, Zurich, Cologne, Madrid, Kairo, hingga Tokyo.
Hanya saja, di balik keberhasilan tersebut, kondisi keuangan pabrik LOMO tetap memprihatinkan lantaran Uni Soviet akhirnya bubar. Akibatnya, produksi kamera LOMO pun terhenti. Bibawy dan Fiegl kemudian memberanikan diri untuk menemui wakil walikota St. Petersburg untuk membicarakan masalah ini. Wakil walikota tersebut adalah Vladimir Putin.
Setelah berunding, Putin setuju untuk membantu pabrik tersebut dengan cara peringanan pajak sementara waktu, namun dengan catatan harga kamera LOMO dibuat lebih mahal. Cara ini berhasil sebelum akhirnya produksi kamera LOMO dipindah ke Cina pada awal 2000-an.
Di Cina, produksi kamera LOMO terus mengalami peningkatan. Toko-toko Lomografi mulai bermunculan di Hong Kong hingga New York. Mereka tak hanya kembali memproduksi LOMO LC-A, tapi juga ke jenis kamera 35mm, medium format 120, dan juga memperkenalkan kembali format 110 yang sebelumnya sudah tidak lagi diproduksi. Selain itu, mereka juga memproduksi kamera video, kamera instan.
Kini, di tengah pesatnya penetrasi kamera digital dalam lanskap fotografi global, kamera LOMO tetap bertahan di hati para pecintanya, orang-orang yang percaya hanya ada satu “aturan” dalam urusan memotret: “Don’t think, just shoot!”
Editor: Windu Jusuf