Menuju konten utama

Kalah dari Cina, Tamparan Keras yang Dibutuhkan Timnas Indonesia

Hasil menghadapi Bahrain dan Cina memang mengecewakan, tapi dua pertandingan itu juga memberikan pelajaran berharga.

Kalah dari Cina, Tamparan Keras yang Dibutuhkan Timnas Indonesia
Pesepak bola Timnas Indonesia Wahyu Prasetyo (kiri) membantu rekannya Rizky Ridho berdiri usai laga melawan Timnas Australia pada pertandingan Grup C putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Selasa (10/9/2024). . ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/tom.

tirto.id - Kekalahan itu akhirnya datang dan dengan segera seruan agar Shin Tae-yong (STY) dipecat menggelora di jagat maya.

Harus diakui bahwa susunan sebelas awal Timnas Indonesia dalam pertandingan Kualifikasi Piala Dunia 2026 menghadapi Cina di Qingdao, Selasa (15/10/2024), memang sedikit aneh. Pelatih asal Korea Selatan itu sejak awal menurunkan Asnawi Mangkualam Bahar dan Witan Sulaeman yang sudah lama tidak menjadi starter. Lalu, Calvin Verdonk yang biasanya mengisi pos wing-back kiri ditugasi menjadi bek tengah sisi kiri.

Terakhir, lagi-lagi tidak ada nama Rizki Ridho, bek tengah yang nyaris tak pernah tampil mengecewakan, di susunan sebelas pertama.

Kendati turun dengan susunan pemain yang berbeda, ide besar permainan Indonesia tidak berubah dari sebelum-sebelumnya. Yang menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana Tiongkok merespons itu semua.

Celah Terbuka yang Diganjar Gol

Dalam tiga pertandingan pertama Ronde Ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 menghadapi Arab Saudi, Australia, dan Bahrain, Indonesia selalu kalah dalam penguasaan bola. Tim-tim lawan selalu melakukan tekanan yang membuat Jay Idzes dkk. lebih memfokuskan diri untuk bertahan. Serangan biasanya dilakukan ketika bola berhasil direbut di tengah, kemudian para pemain maju ke depan dengan cepat dan melakukan umpan kombinasi.

Menghadapi Tiongkok, situasinya terbalik. Timnas Cina, yang peringkat klasemennya berada di bawah Indonesia, benar-benar memosisikan diri sebagai underdog dalam pertandingan ini. Tampil dengan pakem 4-4-2 berlian, mereka memilih banyak bertahan di area permainan sendiri.

Namun, justru itulah yang membuat Indonesia kesulitan. Pertama, saat tiba di final third,pemain Indonesia jadi selalu kebingungan melakukan umpan kombinasi. Kedua, lini tengah Cina begitu agresif dalam memberi tekanan di saat yang tepat—ini terbukti dengan terciptanya gol kedua tim tuan rumah.

Sementara itu, gol pertama Cina sendiri terjadi karena kelengahan Shayne Pattynama dalam menjaga bola yang sejatinya sudah hendak keluar lapangan. Situasi itu dimanfaatkan pemain Cina yang sukses mencuri bola untuk mengirim umpan ke tengah kotak penalti. Bola itu kemudian disambar dengan mudah oleh striker beretnis Uyghur, Behram Abduweli.

Dari dua gol tersebut, gol kedua lebih menunjukkan kelemahan Indonesia. Di situ, terlihat bagaimana sulitnya Indonesia menembus mid-block Cina sekaligus buruknya transisi dari menyerang ke bertahan. Mees Hilgers secara khusus mendapat sorotan karena posisinya terlalu jauh dari sang pencetak gol, Zhang Yuning, saat dirinya menerima umpan terobosan.

Bagi Hilgers sendiri, situasinya memang serba salah. Pasalnya, di saat situasi menyerang seperti itu, dia memang diharuskan bergerak melebar untuk menutup area yang ditinggalkan Asnawi. Namun, di sisi lain, dengan cepatnya situasi berubah dari menyerang ke bertahan, antisipasi Hilgers mestinya masih bisa lebih baik lagi. Apalagi, Idzes yang sudah dalam posisi menjaga kedalaman di sisi kiri.

Pada babak kedua, STY melakukan perubahan besar-besaran dengan memasukkan Rizki Ridho menggantikan Hilgers, Thom Haye menggantikan Pattynama, dan Marselino Ferdinan menggantikan Witan. Hasilnya, Indonesia jauh lebih nyaman menguasai bola.

Skuad Indonesia cukup berhasil memaksa skuad Cina untuk bertahan lebih dalam lagi. Strategi pertahanan tim tuan rumah berubah dari mid-block menjadi low-block alias parkir bus.

Di satu sisi, situasi seperti itu menumbuhkan harapan bagi Indonesia untuk bisa terus menggempur pertahanan Cina. Namun, di sisi lain, Indonesia punya satu kekurangan besar di lini depan: tiadanya seorang striker yang bisa menjadi titik tumpu.

Walhasil, serangan Indonesia tidak pernah bisa terpusat dengan baik dan lebih banyak berkisar di area sayap serta half-space. Dengan kata lain, kendati bisa menguasai bola sampai 76 persen, serangan Indonesia sejatinya bak macan ompong.

Untuk mencetak gol, Indonesia membutuhkan situasi kaos yang dihasilkan melalui lemparan ke dalam Pratama Arhan pada menit ke-85. Adalah Haye yang akhirnya bisa membobol gawang Cina lewat sebuah sepakan terukur setelah pemain Cina menghalau bola secara tanggung. Strategi ini sempat digunakan sekitar dua kali lagi, tapi tak bisa mengulang hasil yang sama.

Akhirnya, sampai pertandingan berakhir, Indonesia tetap tidak mampu mencetak gol penyama kedudukan. Kekalahan dengan skor 2-1 ini jelas merupakan kerugian besar. Pasalnya, Cina di atas kertas adalah lawan yang paling mungkin dikalahkan oleh Indonesia, terutama jika kita menilik hasil yang sudah-sudah. Selain itu, poin Indonesia pun kini terhenti di angka tiga; sama persis dengan milik Cina.

Selanjutnya Bagaimana?

Selepas pertandingan, STY mengakui bahwa dia terkejut dengan strategi yang diterapkan oleh Timnas Tiongkok.

"Saya tidak menduga gaya bermain Cina. Mereka memainkan taktik klasik seperti bola-bola panjang, dengan kick and rush. Bagaimanapun itu mungkin merupakan alasan tim kami kalah pada hari ini," ujar STY, dikutip dari Antara.

Ucapan STY itu masuk akal. Faktanya, memang itulah yang terjadi di lapangan. Namun, bukan berarti mantan playmaker Timnas Korea Selatan itu lepas juga dari kesalahan. Keputusan menurunkan Witan dan Hilgers sangat bisa dipertanyakan, pun demikian dengan keputusan memainkan Verdonk sebagai bek tengah.

Witan dalam beberapa laga terakhir lebih kerap diturunkan sebagai pengganti. Hilgers dalam pertandingan melawan Bahrain tidak tampil terlalu baik. Verdonk, sementara itu, semestinya bakal lebih berguna jika dimainkan di posisi aslinya sebagai full-back atau wing-back.

Tempat Witan semestinya bisa diisi Haye yang di atas kertas bisa membuat permainan Indonesia lebih terarah. Lalu, Rizki Ridho-lah yang semestinya bermain alih-alih Hilgers. Terakhir, Verdonk semestinya tetap bisa bermain sebagai wing-back kiri dan posisi bek tengah diserahkan pada Nathan Tjoe-A-On yang sebenarnya sudah kerap mengisi pos tersebut di timnas.

Dengan digesernya Nathan ke belakang, satu tempat di pos gelandang terbuka dan di situlah Marselino bisa mendapat tempat kembali.

Lantas, mengapa Asnawi tidak dipermasalahkan? Pertama, karena tidak ada pilihan lain dalam skuad Garuda. Sandy Walsh cedera dan Asnawi adalah satu-satunya wing-back kanan yang fit. Kedua, Asnawi sebenarnya tidak tampil seburuk yang dikatakan orang-orang. Penampilannya memang tidak spesial, tapi tidak bisa dibilang buruk. Maka keberadaan Asnawi di pos wing-back kanan sudah tepat.

Dengan komposisi seperti itu, formasi Indonesia akan berubah menjadi 5-3-2, di mana Ragnar Oratmangoen akan bermain lebih dekat dengan Rafael Struick. Di atas kertas, komposisi ini bisa membuat pertarungan lini tengah tidak terlalu mudah dikuasai oleh Cina. Tak hanya itu, duo wing-back Indonesia pun bisa lebih leluasa berhadapan langsung dengan full-back lawan dan barangkali umpan ke kotak penalti akan lebih banyak diciptakan.

Namun, perlu juga ditekankan bahwa itu semua hanyalah pengandaian di atas kertas. Situasi di lapangan bisa jauh berbeda. Oleh karena itu, tak ada gunanya pula memeram rasa kesal atas kekalahan dari Cina tersebut. Yang terjadi biarlah terjadi.

Sekarang, yang perlu dilakukan adalah evaluasi, persis seperti yang dikatakan Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, lewat akun Instagram-nya. Evaluasi bukan berarti STY harus dipecat seperti yang diinginkan sebagian suporter.

STY memang tidak sempurna dan cukup sering membuat kesalahan. Namun, Timnas Indonesia yang ada sekarang ini adalah tim yang dibangun olehnya. Maka memecat STY di tengah jalan justru bisa menjadi bumerang.

Dari hasil melawan Bahrain dan Cina, kita bisa melihat setidaknya tiga persoalan besar di Timnas Indonesia. Yakni, soal pemilihan pemain, cara STY bereaksi terhadap taktik lawan, serta urusan scouting.

Soal pemilihan pemain sudah dijelaskan dalam bagian sebelumnya tulisan ini, yaitu bagaimana komposisi yang tepat bakal menghasilkan output yang lebih baik pula. Namun, hal ini sebenarnya memiliki kaitan pula dengan cara STY bereaksi terhadap strategi lawan. STY mestinya bisa lebih cepat lagi dalam melakukan perubahan ketika sadar bahwa strateginya tidak bekerja dengan baik.

Terakhir, masalah scouting bisa menyasar dua hal sekaligus. Pertama, scouting pemain. Sudah terlihat jelas bagaimana tumpulnya lini depan Indonesia tanpa kehadiran sosok penyerang tengah mumpuni. Kehadiran Malik Risaldi dalam tim sebenarnya menunjukkan bahwa tim scouting sudah bekerja dengan baik mengamati pemain yang sedang panas di Liga 1. Namun, proses tidak bisa berhenti di sini karena kebutuhan akan striker tajam sangatlah mendesak.

Kedua, scouting lawan. Keterkejutan STY akan pendekatan yang dilakukan Branko Ivankovic atas Skuad Cina asuhannya mestinya bisa diantisipasi dengan scouting yang lebih baik. Dalam enam pertandingan Kualifikasi Piala Dunia 2026 berikutnya, keterkejutan seperti ini tidak boleh lagi terulang. Pasalnya, pertarungan memperebutkan poin sudah barang tentu bakal semakin sengit.

Pertanyaannya kini, masih mampukah Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026?

Secara matematis, peluang Indonesia masih terbuka lebar. Masih ada laga kandang melawan Cina, Arab Saudi, dan Bahrain yang bisa menjadi lumbung poin. Namun, para suporter Garuda juga perlu menjaga ekspektasinya.

Sedari awal, STY tidak pernah menargetkan Indonesia akan langsung lolos ke Piala Dunia 2026 lewat kualifikasi ronde ketiga ini. Artinya, target sang pelatih adalah finis di urutan tiga atau empat klasemen. Itu artinya Indonesia bakal kembali menjalani kualifikasi setelahnya.

Menilik situasi di Grup C sekarang, kans Maarten Paes dkk. untuk memenuhi target STY jelas masih terbuka lebar.

Hasil menghadapi Bahrain dan Cina memang mengecewakan. Namun, dua pertandingan tersebut memberikan sebuah pelajaran berharga bahwa, rupanya, memang masih banyak pembenahan yang mesti dilakukan. Ini tamparan keras buat Timnas Indonesia, tapi ini adalah tamparan yang betul-betul mereka butuhkan untuk menjadi lebih baik.

Baca juga artikel terkait SEPAK BOLA atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Mild report
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi