tirto.id - Hampir sepuluh tahun silam, di Stadion Partizan, Beograd, tuan rumah Serbia berhadapan dengan Albania dalam Kualifikasi Euro 2016. Albania berhasil membawa pulang tiga poin dari laga tersebut. Namun, Albania memperoleh poin itu bukan karena mengalahkan Serbia. Tiga poin itu merupakan hasil dari pertandingan yang terpaksa dihentikan lantaran stadion tersebut berubah menjadi arena pertempuran.
Sepanjang laga, para suporter Serbia meneriakkan seruan untuk membunuh orang Albania. Sebagai balasan, entah dari mana datangnya, sebuah drone tiba-tiba muncul dengan membawa bendera Albania Raya—sebuah konsep iredentis untuk merebut kembali wilayah-wilayah historis Albania yang saat ini terpecah jadi bagian dari sejumlah negara lain, mulai dari Serbia, Montenegro, Kosovo, Makedonia Utara, sampai Yunani.
Kemunculan bendera Albania Raya itu membuat situasi semakin tak terkendali. Pemain Serbia, Stefan Mitrovic, melompat lalu merenggut bendera tersebut dari cengkeraman drone. Aksi itu direspons pemain Albania, Bekim Balaj, dengan berlari mendekati Mitrovic untuk merebut kembali bendera tadi.
Melihat hal tersebut, suporter Serbia pimpinan Ivan Bogdanov pun menyerbu lapangan dan menyerang para pemain Albania.
Sontak, para pemain Albania berhamburan masuk ke ruang ganti. Setidaknya, ada empat pemain Albania yang mengalami luka ringan. Situasi tersebut membuat wasit asal Inggris, Martin Atkinson, tak punya opsi lain kecuali menghentikan pertandingan.
Serbia pun awalnya dihadiahi tiga poin karena Albania dianggap melakukan walkover (WO). Namun, setelah melalui berbagai proses investigasi dan banding, UEFA mengubah keputusan dengan memberikan tiga poin untuk Albania. Alasannya, karena Serbia dianggap gagal mengontrol suporter yang akhirnya melakukan tindak kekerasan.
***
Peristiwa di Beograd, 14 Oktober 2014, itu merupakan contoh ekstrem dari bagaimana tensi politik meledak di lapangan sepak bola. Apa yang terjadi dalam laga Kualifikasi Euro 2016 itu sedikit-banyak mirip dengan kejadian pada 1990 di Stadion Maksimir ketika wakil Beograd, Red Star, berhadapan dengan tuan rumah Dinamo Zagreb.
Tak lama sebelum pertandingan itu Kroasia menghelat pemilihan umum di mana partai-partai prokemerdekaan dari Yugoslavia menjadi pemenang. Ultras Red Star, Delije, yang dipimpin Arkan Raznatovic datang ke pertandingan itu dengan kebencian yang meletup-letup. Mereka pun sudah menyanyikan lagu-lagu anti-Kroasia bahkan sebelum sepak mula.
Sisanya adalah sejarah. Kerusuhan pecah dan Zvonimir Boban, pemain muda Dinamo Zagreb, menjadi pahlawan nasional setelah menendang seorang polisi. Tak lama kemudian, Kroasia dan Slovenia memerdekakan diri dari Yugoslavia. Namun, deklarasi kemerdekaan itu kemudian direspons Beograd dengan mengirimkan serdadu. Perang Kemerdekaan Kroasia pun pecah dan baru berakhir pada 1995.
Sekira tiga dekade telah berlalu sejak rentetan peristiwa yang berujung pada bubarnya Yugoslavia tersebut. Namun, kebencian yang tersemai selama federasi itu berdiri masih tumbuh subur hingga kini. Euro 2024, yang diikuti tiga negara pecahan Yugoslavia—Serbia, Kroasia, dan Slovenia, plus satu negara Balkan lainnya, Albania, pun menjadi ajang untuk melampiaskan kebencian tersebut kepada satu sama lain.
Membawa Politik ke Stadion
Dalam pertandingan Grup B di Volksparkstadion, Hamburg, Rabu (19/6/2024), pendukung Kroasia dan Albania kompak menyanyikan yel-yel anti-Serbia yang berbuntut protes dari Serbia. Serbia mengancam bakal mundur dari turnamen apabila UEFA tidak menindak tegas suporter kedua negara tersebut.
Namun, Serbia sendiri bukannya tanpa dosa. Dalam laga menghadapi Inggris pada 16 Juni, suporter mereka membentangkan sebuah spanduk bergambar peta Kosovo di atas teks bertuliskan "No Surrender". Spanduk itu berarti Serbia masih menganggap Kosovo sebagai bagian dari negaranya. Padahal, negara tersebut sudah menyatakan kemerdekaannya sejak 2008, meskipun memang belum semua negara mengakui kedaulatannya.
Di laga yang sama, seorang jurnalis Kosovo bernama Arlind Sadiku kedapatan memprovokasi suporter Serbia dengan menunjukkan gestur tangan elang berkepala dua. Gestur tersebut merupakan simbol yang terdapat pada bendera Albania. Mayoritas penduduk Kosovo sendiri (97 persen) merupakan etnis Albania dan, sejak pernyataan kemerdekaan Kosovo, wacana penyatuan Albania-Kosovo telah digulirkan. Sebagai hukuman, Sadiku kemudian dipulangkan.
Pada laga Serbia kontra Slovenia, ada juga sebuah peristiwa unik yang turut menyeret seorang bintang NBA, Luka Doncic. Doncic adalah pemain Timnas Slovenia. Namun, sosok yang bermain untuk Dallas Mavericks itu sebenarnya beretnis Serbia. Itulah mengapa, pada laga tersebut, suporter Serbia mengklaim Luka Doncic sebagai milik mereka.
Selain itu, ada satu insiden lagi yang melibatkan pemain Albania, Mirlind Daku. Selepas pertandingan kontra Kroasia, di mana kedua negara bermain imbang secara dramatis, Daku melakukan perayaan bersama para suporter. Di tengah perayaan itu, Daku kedapatan meneriakkan yel-yel anti-Serbia dan anti-Makedonia Utara yang menyebabkan dirinya harus absen dalam laga pemungkas Grup B kontra Spanyol.
Rivalitas Panas Negara-Negara Balkan
Memanasnya rivalitas antarpendukung timnas negara-negara Balkan itu memang sudah bisa diprediksi. Apalagi, di Jerman sendiri, imigran dari Balkan sudah ramai berdatangan sejak 1940-an. Pecahnya peperangan di Balkan pada dekade 1990-an pun turut meningkatkan volume imigrasi dari Balkan ke Jerman.
Maka tak heran apabila stadion-stadion yang menghelat pertandingan antarnegara Balkan itu selalu penuh. Arena-arena itu tak cuma dipadati fan yang datang dari negara asal, tapi juga para diaspora. Ada lebih dari 2,6 juta imigran Balkan yang saat ini tinggal di Jerman.
Sejak edisi 2016, putaran final Euro selalu diikuti oleh 24 negara peserta. Itu artinya, negara-negara sepak bola semenjana masih punya kesempatan lolos cukup lebar. Inilah yang lantas memungkinkan negara-negara Balkan, khususnya eks-Yugoslavia, itu untuk berlaga di putaran final.
Hal itu juga berarti setiap negara penyelenggara mesti melakukan upaya ekstra untuk mengamankan pertandingan.
Sejauh ini, rivalitas antarsuporter timnas negara-negara Balkan itu sebenarnya tidak benar-benar sampai berujung pada kekerasan fisik. Malah, kerusuhan semacam itu justru terjadi pada pertandingan antara Turki dan peserta debutan Georgia. Sempat terjadi saling lempar di dalam stadion antarpendukung kedua negara.
Suporter Serbia sendiri sempat terlibat kerusuhan di luar stadion. Namun, lawan mereka bukanlah "saudara-saudara" satu semenanjungnya, melainkan para suporter Inggris.
Belakangan, suporter Inggris memang selalu jadi sasaran tindak kekerasan dari suporter negara lain. Pada Euro 2016, suporter Inggris juga sempat terlibat bentrok dengan pendukung Rusia.
Artinya, meskipun diwarnai kata-kata yang mewajarkan pembunuhan dan gestur-gestur politis ultranasional, rivalitas antarnegara Balkan di Euro 2024 ini masih lebih bisa ditoleransi. Dan bagi penonton netral, hal semacam ini justru menjadi sebuah tontonan menarik.
Tak heran apabila di media sosial banyak yang "menyerukan" digelarnya Piala Balkan.
Tentu ini adalah ide buruk. Sebab, potensi untuk terjadinya kerusuhan bakal amat sangat besar. Terlebih, sampai sekarang, sudah ada beberapa pertandingan yang diharamkan terjadi oleh UEFA. Yakni, Rusia vs Ukraina, Spanyol vs Gibraltar, dan Armenia vs Azerbaijan. Semua karena alasan politis.
Tentu, risiko menggelar turnamen seperti Piala Balkan bakal sangat kontraproduktif bagi upaya perdamaian yang ada.
Upaya perdamaian itu salah satunya terlihat dari inisiatif Serbia dan Albania untuk mengajukan diri sebagai tuan rumah bersama Piala Eropa U-21 2027. Upaya itu mirip dengan ketika Jepang dan Korea Selatan menggelar Piala Dunia pada 2002 silam. Sebagai catatan, Jepang dan Korsel juga punya sejarah tak menyenangkan.
Seiring dengan bakal berakhirnya fase grup, kans tim-tim Balkan untuk bersua kembali bakal semakin kecil. Meski begitu, pekerjaan rumah Jerman selaku tuan rumah dan UEFA selaku pemilik hajatan masih belum selesai. Sebab, masih ada ancaman-ancaman lain, khususnya dari kaum ultranasionalis dari negara-negara seperti Austria yang suporternya tak lagi malu-malu memamerkan ideologi kanan ekstrem mereka.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi