Menuju konten utama
6 Maret 1964

Kala Cassius Clay Menjelma Jadi Muhammad Ali

Nama Muhammad Ali diberikan oleh Elijah Mohammad, pimpinan Nation of Islam.

Kala Cassius Clay Menjelma Jadi Muhammad Ali
Header Mozaik Muhammad Ali. tirto.id/Quita

tirto.id - "Saya yang terhebat" adalah kalimat yang paling sering diucapkan Cassius Clay saat menggambarkan dirinya sendiri. Terkadang ia juga sengaja melebih-lebihkan: "Aku yang terhebat. Aku dua kali yang paling terhebat. Aku bersih dan berkilau. Aku akan menjadi juara dunia yang bersih dan berkilau." Terkadang pula ia hanya melengkingkan suara sambil memamerkan wajah mulusnya yang jarang terkena pukul lawan: "I am preeeetttyyyy."

Orang-orang boleh kesal dengan lagak pongah Clay, tapi mereka tak dapat membantah betapa hebatnya ia di atas ring tinju. Clay bertarung seperti Hercules dan punya tekad kuat dalam menghabisi lawan selayaknya Jason yang mengejar Golden Fleece. Dia adalah Galahad dalam legenda Arthurian, serupa mitos layaknya Cyrano de Bergerac, dan seorang bernyali besar seperti D'Artagnan. Ketika ia marah, para pria perkasa ketakutan dan ketika mulai tersenyum, banyak perempuan pingsan.

"Saya telah memiliki petanda," kata Clay suatu ketika. "Suatu hari saya melontarkan tinju pertama saya dan mengenai ibu saya hingga giginya copot. Jika Anda tak percaya, silakan bertanya kepadanya."

Clay lahir dengan nama lengkap Cassius Marcellus Clay Jr. di Louisville, Kentucky, pada 17 Januari 1942. Nama itu, sebagaimana juga nama yang dipakai sang ayah, ditakik dari nama seorang politikus kulit putih Republik, Cassius Marcellus Clay, yang juga dikenal sebagai pejuang penghapusan perbudakan pada abad ke-19. Ibunya bernama Odessa O’Grady Clay dan dia punya seorang saudara perempuan dan empat saudara laki-laki.

Clay hidup di Amerika pada masa ketika kaum kulit hitam secara frontal mulai berani mendobrak kultur rasialisme. Salah satu kelompok terdepan dalam melakukan hal itu adalah Nation of Islam yang memiliki pemimpin bernama Elijah Mohammad dan motor gerakan seorang aktivis kulit hitam yang radikal, Malcolm X.

Dalam struktur kelas sosial Amerika saat itu, Nation of Islam sebetulnya berada dalam lapisan terendah, minoritasnya minoritas, karena mereka adalah kelompok para Muslim berkulit hitam. Namun, sikap ekstrim mereka yang kerap mengutuk kebejatan kaum kulit putih membuat gaung Nation of Islam dengan cepat dikenal khalayak.

Ali, yang turut pula menjadi korban sentimen rasialis pada saat itu, kemudian bergabung dengan Nation of Islam pada 1964, tak lama usai mendengarkan ceramah berapi-api Elijah Muhammad di Philadelphia. Dalam wawancaranya dengan jurnalis Michael Parkinson, Ali mengungkap bagaimana Elijah menyebut kaum kulit putih sebagai iblis.

Pergulatan Iman Menuju Islam

Di tahun itu, Clay memutuskan untuk berpindah keyakinan ke Islam. Ia juga mengganti namanya dari Clay menjadi Muhammad Ali, pada 6 Maret 1964, persis hari ini 58 tahun silam. Nama Muhammad Ali diberikan oleh Elijah.

"Cassius Clay itu nama budak. Aku tidak memilih nama itu, dan tidak pula ingin dipanggil dengan nama itu. Aku Muhammad Ali, sebuah nama pria merdeka, itu merujuk pada manusia kesayangan Allah dan aku bersikeras jika ada orang yang ingin ngobrol denganku," kata Ali.

Dalam salah satu biografi termashyur tentangnya yang ditulis Jonathan Eig, Ali: A Life, Ali mengungkap kepindahannya pada sebuah konferensi pers yang semula digelar untuk menyambut pertandingan melawan Liston.

Ali yang muak karena rombongan jurnalis mulai bertanya mengenai relasinya dengan Black Muslims—label yang secara diskriminatif kerap digunakan media AS dalam menyebut Nation of Islam—kemudian memproklamirkan fakta mengejutkan: ia bukan lagi seorang Kristiani.

"Saya percaya kepada Allah dan perdamaian. Saya mencoba untuk tidak pindah ke lingkungan kulit putih. Saya tidak ingin menikahi perempuan kulit putih. Saya dibaptis ketika usia 12, tetapi saya tak tahu apa yang saya lakukan kala itu. Sekarang saya bukan seorang Kristiani lagi. Saya tahu akan ke mana dan saya sudah tahu apa yang benar. Saya tak perlu mengikuti kemauan Anda. Saya bebas menjalani pilihan saya."

Infografik Mozaik Muhammad Ali

Infografik Mozaik Muhammad Ali. tirto.id/Quita

Namun, dalam artikelnya yang tayang di Washington Post pada 26 Oktober 2017 lalu, Eig juga mengungkap versi lain terkait keputusan Ali untuk masuk Islam. Eig sebetulnya sudah mengetahui hal ini sejak ia mewawancarai Belinda Boyd, istri kedua Ali, untuk kepentingan penulisan Ali: A Life.

Kala itu, Belinda memberikan Eig secarik surat dari Ali yang isinya kurang lebih mengenai sisi spiritual sang legenda. Berdasarkan pertimbangan tertentu, Eig memutuskan untuk tidak mencantumkan nama Belinda di biografi yang ia tulis.

Menurut Eig berdasarkan surat tadi, iman Ali mulai bergejolak ketika pada suatu hari ia melihat kolom kartun dalam koran pagi. Kolom tersebut menunjukkan gambar seorang kulit putih tengah memukul budak kulit hitam miliknya dan memaksanya beribadah seperti yang dijalani kebanyakan orang kulit putih. Menariknya, kolom tersebut justru menggugah nalarnya.

"Saya menyukai kartun tersebut. Pesannya masuk akal bagi saya," tulis Ali di surat tersebut yang kini telah diberikan Eig kepada pihak National Museum of African American History and Culture.

Ali memang tidak pernah mempermasalahkan ajaran Kristen yang dulu ia anut. Namun, yang mengusik pikirannya adalah bagaimana ia (dalam hal ini juga termasuk kaum kulit hitam lainnya) yang menjadi pemeluk Kristen dengan cara pemaksaan. Eig menulis: "Lalu dia merasa kenapa harus tetap menjaga sisa-sisa warisan zaman perbudakan? Bagaimana jika ia tidak memegang teguh agama dan namanya, apa lagi yang bisa ia ubah?"

Sebagai sosok yang dididik dalam aturan Kristiani sejak kecil, Ali mengaku perpindahan agama yang dijalaninya tersebut tidak membuat keluarga, terutama sang ibu, memusuhi dirinya. Dalam salah satu biografinya yang lain karya Thomas Hauser, Muhammad Ali: His Life and Times, ia mengungkapkan hal itu sambil turut mengenang masa kecilnya.

"Ibuku seorang Baptis, dan ketika saya besar, dia mengajari segala yang ia ketahui tentang Tuhan. Setiap Minggu, ia mendandani saya, dan membawa saya dan abang saya ke gereja. Ia mengajari kami hal-hal yang dianggapnya benar. Ia mengajari kami supaya mencintai sesama dan memperlakukan siapa pun dengan baik. Ia mengajari kami bahwa berprasangka dan membenci itu salah."

Ketika saya beralih agama, Tuhan ibu tetap menjadi Tuhan saya, hanya saja saya menyebutnya dengan nama yang lain. Dan pandangan tentang ibu saya tetap seperti yang saya katakan jauh sebelumnya. Dia baik, gemuk, perempuan menawan yang suka memasak, makan, menjahit, dan senang berada bersama keluarga. Ia tidak suka mabuk, merokok, mencampuri urusan orang, atau mengganggu siapa pun. Tak seorang pun lebih baik kepadaku sepanjang hidupku, kecuali dia."

Sejak memutuskan menjadi Muslim dan bergabung secara aktif dengan Nation of Islam, Ali pun turut pindah ke Chicago agar dapat tinggal dekat dengan masjid Maryam, markas komunitas tersebut. Ia menetap di Chicago dengan berpindah-pindah selama kurang lebih 12 tahun. Ali juga sempat dua kali mengubah namanya. Semula ia menggunakan Cassius X, namun Elijah memilihkan nama yang kemudian dipakainya hingga akhir hayat: Muhammad Ali.

Bergabung dengan Nation of Islam membuat Ali menjadi jauh lebih berani dalam menyatakan sikap politiknya. Ketika invasi AS ke Vietnam terjadi pada 1 November 1955, hingga kejatuhan kota Saigon pada 30 April 1975 dan membuat perang tersebut meluas hingga Laos dan Kamboja, pemerintah Negeri Paman Sam memutuskan untuk menggelar kebijakan wajib militer. Ali secara kontroversial menolak ikut wamil karena tidak sesuai dengan keyakinannya.

"Saya tidak punya masalah dengan Vietcong. Mereka tidak pernah memanggil saya negro, mereka tidak pernah menggantung saya, mereka tidak mengejar saya dengan anjing, mereka tidak merampok kebangsaan saya, tidak memerkosa ibu dan membunuh ayah saya. Lalu menembak mereka untuk apa? Bagaimana saya bisa menembak mereka, orang-orang malang itu. Silakan bawa saya ke penjara!"

Sikap Ali tersebut berujung penahanan dan denda sebesar USD10 ribu. Pemerintah AS pun juga mencabut gelar juara milik Ali, dan melarangnya bertanding tinju sepanjang 1967-1970. Selama tidak aktif berlaga di atas ring, Ali memperoleh dukungan seiring tumbuhnya berbagai penolakan terhadap invasi AS ke Vietnam. Ia pun sering diundang menjadi pembicara di berbagai wilayah AS untuk mengkritik invasi tersebut. Pada 3 Januari 1972, Ali pun akhirnya berkesempatan menunaikan haji ke tanah suci Mekkah.

Namun, kendati keras dalam mempertahankan prinsipnya, tidak pernah sekalipun Ali menjadi seorang Muslim ekstremis yang memusuhi agama lain. Terutama sejak ia mulai berguru kepada putra sekaligus penerus Elijah, Wallace Muhammad. Berbeda dengan Elijah, Wallace mengajarkan Islam yang lebih moderat, menyatakan bahwa orang kulit putih tidak selamanya dipandang sebagai iblis. Lewat Wallace, pemikiran Ali tentang Islam pun perlahan berubah menjadi inklusif dibanding Nation of Islam yang tetap eksklusif.

Ali sempat pula mendalami sufisme berdasarkan pengakuan dari putrinya, Hana Yasmeen Ali, yang juga turut menulis autobiografi sang ayah, The Soul of a Butterfly (2004). Dalam wawancara yang dilansir beliefnet.com 2005 lalu, Hana menyebut Ali mulai tertarik kepada sufisme setelah membaca buku Inayat Khan dan secara perlahan itu mengubah kepribadiannya dari yang dulu amat religius, kini lebih mementingkan sisi spiritual keimanan.

Baca juga artikel terkait MUHAMMAD ALI atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Humaniora
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Irfan Teguh Pribadi