tirto.id - “Karena tak ada yang lebih kuat daripada rakyat.” Begitu Ganjar Pranowo menulis unggahan pesan di akun Instagramnya setelah blusukan ke Deli Serdang Sumatera Utara, 10 November 2023. Unggahan dilengkapi pula sebuah video pendek aktivitasnya menyapa warga.
Capres nomor urut tiga itu seolah ingin menunjukkan dirinya diterima masyarakat Sumatera. Dekat sekaligus akrab sama warga setempat: salaman, rangkulan dengan emak-emak, foto-foto bahkan sampai main jaranan. Lalu ada potongan pidato pula, yang diselipi penekanan terminologi ‘kekuatan rakyat’.
“Tidak ada kekuatan yang bisa memaksa siapapun untuk mengalahkan rakyat.”
Ganjar memang kerap menggunakan diksi 'kekuatan rakyat' saban pidato di depan warga. Biasanya, Ia juga akan dialog sambil mencapture persoalan-persoalan yang tengah dihadapi masyarakat di pelosok-pelosok desa. Diksi dan aksi semacam itu menjadi trademark Ganjar sejak kampanye Pilgub Jateng 2013. Bahkan bertahan sampai Ia menjabat gubernur.
Dalam masa kampanye, mencari tahu perkara rakyat dan mencoba menawarkan solusi jika menjadi orang nomor wahid di Indonesia, lumrah dilakoni para calon pemimpin negeri. Gaya kampanye seperti ini pertama kali dipopulerkan oleh Joko Widodo saat kampanye Pilgub DKI Jakarta 2013.
Jika menengok ke belakang, narasi dan gaya kampanye Ganjar pada pemilihan gubernur tahun 2013 dan 2018 tidak jauh berbeda dengan saat ini, yaitu masih menggunakan narasi-narasi populis, dekat dengan rakyat.
Bahkan pada Pilgub 2013, gaya kampanye Ganjar persis meniru Jokowi yang kala itu turut berkampanye untuknya, seperti blusukan. Jokowi effect atau faktor Jokowi bahkan dianggap menjadi salah satu faktor di balik kemenangan Ganjar 10 tahun silam.
Dilanjutkan pada Pilgub 2018, Ganjar pernah mengunjungi petani bawang putih di Temanggung yang kesusahan lantaran Surat Edaran Kementerian Pertanian tentang harga penjualan tertinggi.
Ia juga pernah turun ke daerah terdampak banjir dan longsor di Salem, Brebes, juga ikut operasi pencarian jenazah, serta turun ke lokasi banjir di Demak.
Citra Ganjar perlahan mulai bergeser saat Ia menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah. Selain populis, pada periode ini, Ganjar juga memperlihatkan sisi emosionalnya. Ia kerap terlihat marah pada bawahannya yang dianggap lalai atau melakukan kesalahan dalam pelayanan publik.
Pada 2019, misalnya, dia sempat menyampaikan kemarahannya saat memimpin apel pagi bersama PNS. Ganjar meradang karena mengetahui ada Aparatur Sipil Negara yang menerima gratifikasi. Ia tak segan menindak mereka yang tak taat aturan.
Kemudian pada Januari 2022, Ganjar melakukan sidak ke lokasi pembangunan sekolah menengah atas negeri di Tawangmangu. Ia melakukan uji coba dengan menendang sebuah tembok. Tembok itu langsung rusak ketika ditendang. Ganjar lantas muntab dan meminta kontraktor memperbaiki hasil kerjanya.
Gaya memarahi anak buah di depan kamera ini sedikit banyak mengingatkan masyarakat pada gaya kepemimpinan mantan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, terlepas dari siapa mengadopsi gaya siapa.
Tentu hal ini, entah bagian dari pencitraan yang disengaja maupun tidak, bertujuan memberi kesan bahwa keduanya merupakan pemimpin yang berpihak pada rakyat, sesuai dengan citra populis Ganjar.
Jelang Pilpres 2024, Ganjar kembali "turun gunung". Dalam beberapa bulan terakhir sejak ditetapkan sebagai capresnya PDIP, Ganjar terlihat beberapa kali lari pagi, blusukan dan tercatat telah beberapa kali melakukan kampanye dengan cara menginap di rumah warga.
Contohnya, pada 11 Agustus 2023 saat ia maju sebagai bakal capres, Ganjar dan istrinya menginap di kediaman seorang warga di Desa Karangsari, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Pada Rabu 4 Oktober 2023, Ganjar menginap di rumah warga di Kampung Padakati, Desa Tegallega, Kecamatan Warung Kondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Dilanjutkan pada Senin 9 Oktober 2023 Ganjar menginap di rumah warga Kampung Nagrog l, Desa Muncang, Kecamatan Sodonghilir, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Kemudian, pada Senin 6 November 2023 Ganjar menginap di rumah milik Tambah Sutrisni, 50, warga Desa Trikoyo Kecamatan Tugumulyo, Musi Rawas Sumatera Selatan.
“Kami mendekati rakyat dengan cara kami sendiri. Tidur di rumah warga, mengobrol dengan warga merupakan cara paling bagus untuk mendengarkan dan memahami persoalan mereka,” ungkapnya kepada Tirto, Kamis (23/11/2023).
“Ini kebiasaan saya sejak dahulu,” imbuhnya,
Sebelumnya pada Juni 2023, Ganjar sempat mengaku meniru Presiden Jokowi dalam hal berkomunikasi kepada rakyat saat melakukan kunjungan. Hal itu diungkapkan Ganjar saat diminta menanggapi pujian kepala negara yang menyukai gaya komunikasi Ganjar yang “renyah” ketika bertemu rakyat.
“Saya kan, ikut-ikut Pak Jokowi, ya. Pak Jokowi dengan masyarakat juga enak gitu,” ujarnya di Jakarta, 9 Juni 2023 lalu.
Menariknya di samping narasi populis yang selama ini digunakan, dalam beberapa kesempatan terakhir gaya kampanye Ganjar justru terlihat lebih agresif dengan cara menyerang Pemerintahan Jokowi.
Baru-baru ini misalnya, Ganjar memberikan rapor merah terhadap penegakan hukum hingga HAM di era kepemimpinan Jokowi. Bekas Gubernur Jawa Tengah itu memberi nilai 5 dari skala 10 seusai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia capres-cawapres.
Namun pertanyaannya, apakah dengan jurus populisme ala Ganjar ini masih manjur mengerek suara Ganjar-Mahfud di kontestasi Pilpres 2024?
Gaya Populisme Para Capres
Ada dua kelompok besar dalam perdebatan populisme. Hal ini merujuk kepada Populism in Southeast Asia karya Paul D. Kenny (2019). Kelompok pertama ialah mereka yang menganggap populisme sebagai ideologi yang biasanya ditandai penolakan terhadap kemapanan institusi tradisional; kelompok kedua melihat populisme sebagai strategi mobilisasi politik.
Salah satu karakteristik penting populisme sebagai strategi mobilisasi politik adalah upaya untuk memangkas jarak antara figur politik dengan pemilih di akar rumput.
Sebaliknya, jika dibaca sebagai strategi mobilisasi, maka populisme yang digunakan oleh politisi kanan, yang kiri jadi lebih dapat dipahami. Populisme terjadi dalam kerangka relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara rakyat versus elite.
Populisme juga bisa sebagai strategi politik, yakni ketika seorang politikus dengan karakter personal tertentu membangun kekuatan dan dukungan secara langsung tanpa terikat institusi dari sejumlah besar masyarakat yang mayoritas adalah pengikut yang tidak terorganisasi. Pada titik ini populisme melewati batasan institusi, entah itu partai politik maupun sejenisnya.
Bagaimana dalam konteks Indonesia? Seperti yang diungkap Aspinal, Albert Tribowo dan Jessica Martha dalam jurnal The Use of Populism as a Pragmatist Approach in Indonesia mendefinisikan populisme secara luas. Populisme sebagai strategi politik yang digunakan pemimpin untuk mencapai tujuan dengan mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari rakyat yang berjuang melawan elite.
Sementara dalam hal pemimpin pragmatis, cenderung menggunakan populisme secara retorika, dia dapat mengakomodasi ide-ide yang berbeda meskipun harus bekerja dengan elite.
Maka berangkat dari beberapa penelitian tersebut, di Indonesia populisme cenderung digunakan sebagai strategi politik.
Gagasan populisme menciptakan polarisasi antara rakyat dan elite, namun di Indonesia melahirkan antagonisme yang berbeda. Karakteristik strategi politik populis hanya dipergunakan secara pragmatis untuk mengatasi kendala politik.
Fenomena kecenderungan pemimpin Indonesia untuk menggunakan populisme hanya sebagai strategi kepemimpinan untuk mencari dukungan yang lebih banyak dan besar. Populisme tak ubahnya hanya sebagai alat untuk mencapai kekuasaan.
Lantas bagaimana dengan Ganjar? Pada sebuah jurnal Strategi Populisme “Wong Cilik” Ganjar Pranowo Dalam Twitter untuk Mengelola Citra Positif, Jauza Alayya, si peneliti, mengamati akun Twitter Ganjar dalam periode waktu tertentu.
Hasilnya, Ia mengungkap bahwa Ganjar konsisten dalam menerapkan strategi populisme rakyat kecil dalam akun media sosial.
Pria usia 55 tahun itu pun punya slogan “Tuanku ya Rakyat, Gubernur Cuma Mandat”, dapat dimaknai sebagai salah satu strategi populis.
Ganjar memposisikan dirinya sebagai perwakilan rakyat dan sepatutnya diperintah oleh rakyat. Hal ini turut tercermin dari pemilihan kata “tuan”, bukan "bos" atau "pemimpin". Penggunaan tuan sebagai penghambaan Ganjar terhadap publik, sebab rakyat lebih tinggi ketimbang pejabat pemerintahan.
Narasi kerakyatan juga ditemukan pada penggunaan diksi pada media sosial. Pemilihan diksi dimulai dari kata-kata yang sederhana, dekat dan lekat dengan publik, misalnya pemilihan kata “lapak”, bukan "kios" atau "toko" atau "warung".
Penelitian ini berkesimpulan, Ganjar selaku aktor politik memang menjalankan strategi populisme yang diterapkan melalui kebijakan-kebijakan dan menyebarluaskan strategi ini melalui akun Twitter. Tujuannya, apa lagi kalau bukan untuk menguatkan dan menghasilkan citra positif sebagai pemimpin yang mewakili rakyat.
Ganjar Jangan Tiru Siapapun
Sementara, peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional Firman Noor berujar Ganjar sedapat mungkin merespons kelemahan-kelemahan yang kerap dialamatkan kepadanya, dengan tampilan bahasa yang lebih menjaga tata krama, intelek, menguasai medan persoalan pemerintahan.
Karena sebelumnya Ganjar disudutkan dengan ketidakmampuannya mengatur roda pemerintahan, tidak terlalu cerdas, terbiasa dengan rakyat (grassroot), agak pemarah. Maka sekarang Ganjar harus menyesuaikan posisinya sebagai calon presiden.
“Saya kira tim suksesnya juga menganjurkan hal seperti itu. Ya, sama dengan Prabowo yang mencoba kelihatan fit dengan menari-nari untuk menutupi mungkin isu keuzuran dia,” kata Firman kepada Tirto, Jumat (17/11/2023).
Firman berpendapat komunikasi politik yang dibangun oleh Ganjar –dan juga Prabowo—merupakan respons terhadap masukan tim sukses yang memprofil citra selama ini; berbeda dengan Anies Baswedan yang Firman anggap natural.
Tentu saja generasi muda menjadi target utama semua kandidat. Dan tentu tidak semua program bisa dibahasakan seluruhnya. Sisi lain, gaya komunikasi ini juga untuk membentuk citra yang semakin baik, kalau memang sudah ada; dan menutupi rupa negatif.
“Kampanye adalah bagian dari proses pencitraan. Untuk menekankan hal-hal yang memang sudah baik, meningkatkan yang positif, membuat itu lebih terlihat,” terang Firman.
Perihal Ganjar yang meniru gaya komunikasi Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan citra, Firman anggap perpolitikan Indonesia lebih dari itu.
“Ganjar harus bisa menutupi semua kelemahan yang ada dalam kampanye ini. Tanpa harus meniru siapa pun.”
Terpisah, Manajer Penelitian dan Program The Indonesian Institute Arfianto Purbolaksono menilai kampanye bukan hanya bersifat spontan, tapi kampanye itu merupakan suatu kegiatan yang direncanakan dan dianggap bisa menguntungkan secara elektabilitas para kandidat. Ganjar yang sempat mengkritik pemerintah dalam waktu belakangan ini seolah menekankan kalau dalam kemasan pesan atau isi pesannya menggunakan pendekatan emosional.
Dalam proses penyusunan pesan, ada dua sifat penyusunan pesan dalam kampanye, yakni informatif dan persuasif. Penyusunan pesan informatif, lanjut Arfianto, bahwa Ganjar menyusun pesan “time order” alias berdasar waktu.
Contohnya, Ganjar membahas soal hukum, infrastruktur, dan sebagainya, yang dilakukan pada masa pemerintahan Joko Widodo selama ini. Ganjar memilih mengkritik pemerintah.
Sementara dalam pesan persuasif, Ia membujuk dan mengubah persepsi khalayak. “Pendekatan persuasif ini yang dilakukan itu menggunakan emotional appeal, jadi penyampaian pesan yang menyentuh secara emosional, itu seringkali digunakan,” ucap Arfianto kepada Tirto, Senin (20/11/2023).
Hal ini bisa dikaitkan dengan kasus pencopotan baliho Ganjar di beberapa daerah. Tapi sebenarnya ini bukan cuma dari Ganjar saja, tapi juga dari PDIP dan fungsionarisnya yang mengangkat sisi-sisi ketidakadilan.
“Ketika ingin mengubah persepsi khalayak, (Ganjar) ingin menyampaikan bahwa ada garis tegas antara Ganjar bersama PDIP dengan Presiden Jokowi dan pasangan yang dianggap didukung oleh presiden,” terang Arfianto.
Tujuan pesan persuasif yang menggunakan pendekatan emosional, sehingga bisa mendorong atau mengonsolidasikan orang-orang yang tidak memiliki pandangan positif terhadap Presiden Jokowi, mungkin sejak Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 yang dahulu merupakan pendukung Prabowo.
Tentu yang merupakan kompetitor dari Jokowi masih banyak, juga orang-orang yang memang tidak memiliki pandangan negatif terhadap Jokowi pada pemilu sebelumnya.
“Dicoba untuk dikonsolidasikan untuk Pemilu 2024 sehingga diharapkan dapat mendukung dia (Ganjar). Setelah konsolidasi juga mungkin bisa untuk meraih dukungan dari kelompok lain,” ucap Arfianto.
Juni 2023, saat kondisi copras-capres belum begitu memanas dan belum ada “perang” antara Jokowi dengan PDIP, Arfianto menilai sangat wajar bila gaya komunikasi Ganjar ingin mendekatkan diri kepada rakyat, seperti yang dilakukan oleh Jokowi.
Walau publik tahu gaya-gaya Ganjar itu coba mengadopsi sikap Jokowi yang lebih merakyat, tidak ketat formalitas, dan tidak kaku. Ganjar tak merugi bila betul mengadopsi gaya si kepala negara. Apalagi ketika menjadi gubernur, Ganjar juga melakukan gaya serupa.
Gaya komunikasinya juga bisa terlihat dalam pengambilan nomor urut calon presiden dan calon wakil presiden di kantor Komisi Pemilihan Umum, 14 November. Arfianto berpendapat paslon nomor 1 (Anies-Imin) dan nomor 2 (Prabowo-Gibran) bernuansa cair, humoris, dan ceria dalam berpidato. Meski pada akhirnya mereka menegaskan bahwa pemilu harus bebas dari kecurangan. Sementara Ganjar, meski ada senyum dan gestur yang juga terbilang santai, ia menggunakan pendekatan emosional.
Kritik Berujung Tukik
Ganjar menunjukkan sisi lain dirinya tatkala ia lebih agresif "menyerang" pemerintahan Jokowi. Ia memberikan rapor merah terhadap penegakan hukum hingga HAM di era kepemimpinan Jokowi, dia memberi nilai 5 dari 10 seusai putusan Mahkamah Konstitusi ihwal batas usia capres-cawapres –sebab Gibran Rakabuming, anak Jokowi sebelum direkrut Prabowo sebagai bakal calon wakil presiden, dianggap untung atas keputusan Hakim Konstitusi.
Kritik itu ia lontarkan dalam dialog Sarasehan Nasional Ikatan Keluarga Alumni Universitas Negeri Makassar, 18 November. Padahal, baik Ganjar dan Jokowi merupakan sesama kader PDIP.
Diduga, kritik inilah yang menyebabkan elektabilitas Ganjar stagnan, cenderung menurun, terlebih sejak menggandeng Mahfud MD sebagai cawapresnya.
Contohnya, berdasar hasil riset Survei Indikator periode 2-10 Oktober 2023 atau sebelum deklarasi Mahfud MD sebagai cawapres, elektabilitas Ganjar mencapai 34,5 persen, Prabowo 37 persen, Anies 21,9 persen.
Kemudian merujuk kepada survei Poltracking Indonesia periode 3-9 September 2023, Ganjar berada di posisi kedua dengan 37 persen, di puncak ada Prabowo dengan capaian 38,9 persen, dan terakhir Anies dengan 19,9 persen.
Lantas setelah pengumuman Cawapres Mahfud MD, angkanya berubah. Dalam temuan Indikator, 27 Oktober-1 November 2023, misalnya, Ganjar mendapatkan 27,8 persen, Prabowo 40,6 persen, Anies 23,7 persen. Berdasar simulasi pasangan, maka Ganjar-Mahfud berada di urutan kedua (30 persen) di bawah Prabowo-Gibran (39,7 persen), sedangkan Anies-Muhaimin ada di ekor (24,4 persen).
Lalu hasil survei Poltracking Indonesia periode 28 Oktober-3 November 2023, Ganjar mendapat 31 persen, Prabowo 41,7 persen, Anies 25,7 persen. Berdasar simulasi pasangan yakni Ganjar-Mahfud (30,1 persen). Prabowo-Gibran (40,2 persen), dan Anies-Muhaimin tetap di urutan terbawah (24,4 persen).
Lebih lanjut dalam konteks gaya komunikasi Ganjar saat ini, Suko Widodo, dosen komunikasi politik Universitas Airlangga, berpendapat bila merujuk kontestasi dengan kekuatan yang ada, maka Ganjar bakal memilih kontra terhadap pemerintahan.
Apalagi Gibran Rakabuming, anak Presiden Joko Widodo, bergabung sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto dalam kontestasi demokrasi lima tahun tersebut.
Bisa saja Ganjar memilih menjadi antitesis karena bergabungnya si anak kepala negara, sehingga membuat gaya komunikasi Ganjar harus berbeda.
"Ya, pasti. Gibran yang bergabung dengan Prabowo itu. Jadi dia (Ganjar) harus beda dengan yang lainnya," jelas Suko, kepada Tirto, Kamis (16/2/2023).
Kemudian, bila Ganjar terpilih sebagai presiden, kecil kemungkinan dia akan mengubah gaya komunikasi namun bisa membawa inovasi, serta konsisten dengan ideologi.
“Dia akan pasang gaya kerakyatan, gaya yang menegakkan keadilan karena di situ juga terdapat Mahfud. Maka jika dikumpulkan, dia pasti (gunakan) gaya perjuangan. Gaya perjuangan membangun negeri lebih baik, itu yang dia akan pakai.”
Tak Ada yang Berubah dari Ganjar
Prabu Revolusi, Deputi Komunikasi 360 Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, menirukan ucapan Ganjar bahwa tim komunikasi TPN harus tetap jadi diri sendiri. Maka yang publik tahu, baik Ganjar menjabat sebagai anggota DPR, gubernur, lalu sekarang calon presiden, gaya komunikasinya tak berubah.
“Tak ada yang berubah. Tetap menjadi Ganjar dahulu, yang memang tegas kalau ada hal yang melanggar aturan, hal-hal yang tidak sesuai dengan etika.Ya, beliau langsung ekspresif,” kata dia kepada Tirto.
“Sekarang kalau publik memperhatikan pesan utama yang dibawa oleh Ganjar yakni demokrasi sedang tidak-baik-baik saja. Ganjar itu intinya tetap jadi diri sendiri dan tidak memanipulasi rakyat.”
Misalnya menggunakan gimik marketing politik. Ada kandidat yang berkarakter tegas lalu sekarang berubah lantaran ingin berkomunikasi lebih dan dianggap bisa diterima dengan generasi tertentu gitu; ada juga yang serius, tapi karena pasangannya suka bercanda maka ia ikut-ikutan bercanda. Prabu menegaskan bahwa pasangan Ganjar-Mahfud ini tidak memfabrikasi atau memanipulasi demi gimik.
“Sama sekali tidak ada arahan dari tim komunikasi (kalau) Pak Ganjar harus lebih menurunkan nada (bicara), Pak Mahfud jangan terlalu begini atau begitu. Tidak ada.”
Malah tim komunikasi akan “menebalkan” apa yang telah Ganjar-Mahfud lakukan selama ini, karena dua pria itu dianggap sebagai sosok yang bagus dalam berkomunikasi di depan publik dan gestur pun luwes. Maka tim komunikasi bakal memperkuat soal isi pesan, substansi yang harus disampaikan, dan berkonteks dengan peristiwa yang terjadi saat ini.
“Tidak boleh mengelabui, apalagi (kepada) rakyat. Jangan dikelabui dengan ‘saya berubah demi menang’, tidak boleh. Biarkan rakyat memilih karena percaya menurut harapannya,” tutur Prabu.
Prabu menyatakan ini bukan soal populis atau tidak, karena sangat tergantung pada konteks tempat dan keadaan yang terjadi pada negara. Tim komunikasi pun enggan rumit memikirkan apakah ini pendekatan populis atau bukan, melainkan apakah isu tersebut perlu atau tidak disampaikan kepada rakyat.
Ganjar yang kerap blusukan atau menginap di rumah warga dan berinteraksi dengan mereka, telah ia lakukan sejak lama. Menurut Prabu, inilah yang bisa rakyat pahami bahwa ada konsistensi dalam diri Ganjar, meski tern berkampanye itu berubah atau tidak.
"Ganjar ialah Ganjar yang mengeklaim bahwa rakyat adalah tuan," tandasnya.
Editor: Restu Diantina Putri