tirto.id - Manchester United berhasil lolos ke fase gugur Liga Champions musim 2018/2019 setelah berhasil mengalahkan Young Boys 1-0 di Old Trafford pada Rabu (28/11) dini hari WIB. Satu-satunya gol United pada pertandingan itu dicetak oleh Marouane Fellaini menjelang laga bubar. Ia mengontrol bola hasil tandukan Lukaku di dalam kotak penalti lawan, lantas sambil setengah berputar, pemain Belgia ini menendang bola ke sudut kanan penjaga gawang Young Boys.
Beberapa saat setelah gol itu, Jose Mourinho membanting botol minuman untuk berselebrasi sekaligus meluapkan emosi. Setelah pertandingan usai, pelatih asal Portugal itu juga tak lupa melakukan ritual yang biasa ia lakukan saat timnya berhasil memenangkan pertandingan: memuji dirinya sendiri.
“Untuk beberapa kekasihku,” Mourinho membuka dengan sebuah sindiran untuk para pengkritiknya, “aku hanya ingin mengatakan apa yang juga dikatakan oleh statistik: 14 musim berada di Liga Champions. 14 musim lolos dari fase grup. Pada musim saat aku tidak berada di Liga Champions, aku berhasil memenangkan Liga Eropa.”
Paul Scholes, legenda Setan Merah yang terbiasa mengkritik penampilan United di bawah asuhan Mourinho, langsung menanggapi komentar Mourinho tersebut.
“Itu selalu tentang ‘aku’. ‘Aku memenangkan Liga Champions Eropa, aku memenangkan Liga Eropa’. Terakhir kali aku menonton sepakbola itu adalah sebuah permainan tim," kata Scholes.
Kritik mantan gelandang andalan United ini tak berhenti sampai di situ. Ia lantas melakukan serangan balik, sebuah cara yang cukup akrab dengan tim-tim yang pernah dilatih oleh Mourinho. Sebuah serangan yang bisa membikin telinga Mourinho merah.
“Tim-tim terbaik di dunia memainkan sepakbola menyerang, mereka menerapkan high-pressing untuk menunjang sepakbola menyerang. Tidak banyak tim yang memainkan gaya yang ia (Mourinho) mainkan sekarang. Apa yang ia mainkan saat ini sudah terlihat kedaluwarsa.”
Awal Mulanya
Pada 9 Maret 2004 silam, Jose Mourinho mulai berkenalan dengan publik sepakbola Inggris dengan cara yang nyentrik. Kala itu Mourinho membawa anak asuhnya di FC Porto melawat ke kandang United. Ketika Costinha, pemain Porto, mencetak gol dan membuat timnya unggul sementara, Mourinho melakukan selebrasi penuh histeria. Ia bangkit dari bangku cadangan, berlari sambil sesekali melompat, dan mengepalkan kedua tangannya tinggi-tinggi ke udara.
Beberapa bulan setelah kejadian itu, Mourinho resmi menjadi pelatih Chelsea. Sekali lagi, ia melakukan sesuatu yang mengagetkan publik sepakbola Inggris. Dalam jumpa pers pertamanya sebagai pelatih Chelsea, ia menyebut bahwa dirinya adalah "orang yang spesial".
Meski tak sedikit pelatih di Inggris yang menggerutu karena perilaku Mourinho, pelatih asal Portugal itu berhasil membalas dengan prestasi. Pada musim pertamanya di Inggris, mantan penerjemah Bobby Robson itu langsung membawa Chelsea meraih gelar Premier League dan Piala Liga (saat ini berubah menjadi EFL Cup).
Dalam bukunya yang berjudul The Mixer (2017), Michael Cox, analis sepakbola Inggris, menjelaskan bagaimana cara Mourinho merajai sepakbola Inggris. Kala itu Chelsea memainkan pendekatan taktik yang cukup unik. Meski bermain dengan formasi menyerang 4-3-3, Chelsea justru lebih sering bertahan secara mendalam. Richardo Carvalho dan John Terry, duet bek tengah Chelsea, tak pernah berdiri jauh dari Peter Cech, kiper Chelsea. Sedikit di depan, Claude Makelele akan memberikan perlindungan tambahan.
Singkat kata: pertahanan adalah kunci.
Perkara menyerang, Chelsea akan mengandalkan para pemain sayapnya. Saat Damien Duff dan Arjen Robben, dua sayap andalan Chelsea, mendapatkan bola di daerah sendiri, mereka diinstruksikan untuk langsung melejit ke arah gawang lawan. Dari situ, transisi menjadi senjata dan pentingnya transisi inilah yang tidak disadari oleh sebagian besar tim asal Inggris pada waktu itu.
“Bagi Mourinho transisi adalah sesuatu yang sangat penting,” ujar Duff. “Itu merupakan pertama kalinya aku mendengar hal semacam itu. Jika Anda kehilangan bola itu adalah transisi dari menyerang ke bertahan, segera berlari ke belakang secepatnya, kalau perlu melakukan sprint – sebaliknya, saat Anda berhasil merebut bola itu adalah transisi dari bertahan ke menyerang, lari ke depan secepatnya... Saat itulah tim lawan rentan karena mereka tidak dalam posisi terbaik untuk bertahan.”
Lewat permainan reaktif seperti itu, pada musim 2004-2005, Chelsea benar-benar tak terbendung di Premier League. Di sepanjang musim mereka hanya kalah satu kali dan berhasil menggenggam gelar dengan meraih 95 angka. Catatan statistik pertahanan Chelsea pun nyaris tiada banding: mereka hanya kebobolan 15 gol dan mencatatkan 25 clean sheet dalam 38 pertandingan.
Yang menarik, dari 29 kemenangan yang diraih Chelsea pada musim tersebut, 10 di antaranya terjadi dengan skor 1-0. Namun, Mourinho tak mempermasalahkannya. “5-4 adalah skor pertandingan hoki, bukan skor pertandingan sepakbola,” tutur pelatih kelahiran Setubal ini.
Apakah ada faktor lain dari kesuksesan strategi tersebut? Tentu. Untuk melancarkan pendekatan taktiknya, Mourinho memerlukan pemain-pemain dengan kualitas nomor satu. Saat itu, untuk mendatangkan Didier Drogba, Arjen Robben, Ricardo Carvalho, hingga Paolo Ferreria, menurut Transfermarkt, Mourinho menghabiskan fulus sebesar 149,76 juta Euro.
Cara Mourinho di Chelsea itu kemudian ia pertahankan saat melatih Inter Milan, Real Madrid, kembali ke Chelsea lagi, hingga kini berada di Manchester United.
Yang mungkin tak disadari Mourinho adalah sepakbola telah mengalami banyak perubahan. Hampir semua tim sudah sadar pentingnya transisi. Tim yang bermain menyerang biasanya menyiasati transisi bertahan dengan counter-pressing, sementara tim yang bermain bertahan namun tidak memiliki mempunyai pemain berkualitas, menyiasati transisi menyerang dengan pendekatan taktik menyerang yang lebih rinci.
Maka, Manchester City, yang terus berevolusi di bawah asuhan Guardiola, mampu memenangi Premier League musim lalu dengan gaya. Sedangkan Leicester City, secara mengejutkan, mampu mewujudkan dongeng di Premier League musim 2015-2016 lalu dengan cara yang amat spartan.
Pada saat bersamaan, alih-alih memperbaiki pendekatannya, Mourinho justru lebih sering merengek untuk mendapatkan pemain baru, mengeluh soal kinerja para wasit, menyalahkan para pemainnya, hingga terus menonjolkan “keakuannya”. Menyoal yang terakhir, Mourinho bahkan pernah membuat Jorge Valdano, legenda Argentina, mengeluarkan sentilan untuk Mourinho.
“Aku tidak bisa memahami Mourinho, karena dia adalah antitesis dari perasaanku. Kecerdasan dan ego adalah musuh. Dan saat kedua hal itu berbenturan, ego akan menjadi pemenangnya,” tutur Valdano pada tahun 2014 lalu.
Pernyataan Valdano tersebut menemui kebenaran. Ego seperti membungkam kecerdasan Mourinho. Prestasi Mourinho tak sederas sebelumnya. Melempem. Trofi bergengsi terakhirnya direbut pada 2015, ketika membawa Chelsea jadi juara Premier League.
Seperti apa yang dibilang oleh Paul Scholes, puncak usangnya pendekatan taktik Mourinho dapat dilihat dari kiprah Manchester United pada musim ini. Selain nyaris tak pernah bermain apik, United hanya nangkring di peringkat ketujuh Premier League. Selisih gol Setan Merah pun sangat mengkhawatirkan: selama 13 pekan, United memasukkan 20 gol dan kemasukan 21 gol alias minus 1 gol.
Dampak permain buruk United itu pun melebar ke mana-mana. Pada 24 Oktober 2018 lalu, Jonathan Wilson, pengamat sepakbola Inggris, bahkan pernah memperkirakan bahwa penampilan buruk United kelak akan berpengaruh hingga ke urusan bisnis.
Kala itu, ia menutup tulisannya di Guardian dengan sangat pedas: “Cepat atau lambat, itu (permainan buruk United) akan berdampak terhadap aspek yang paling diandalkan oleh klub. Setelah semua ini, berapa lama lagi para pelanggan Banif Bank di Vietnam atau BIDV di Malta masih bisa dengan senang hati melakukan bisnis atas nama sebuah tim yang hanya memenangkan 1 pertandingan dalam 7 pertandingan terakhir mereka?”
Alhasil: pada akhir November lalu nilai saham Setan Merah di New York Stock Exchange (NYSE) mengalami penurunan sebesar 8,68 persen. Penurunan tersebut bahkan membuat harga saham Setan Merah berada di titik terendah sejak Oktober 2017 lalu.
Untuk semua itu, Mourinho sebetulnya tak sadar bahwa ia bukan lagi seorang pelatih yang spesial. Seiring menurunnya prestasi dan meningkatnya ego, edisi spesial itu sudah kedaluwarsa. Saat ini, label pelatih semenjana barangkali lebih pas untuk pelatih kelahiran yang dulu pernah menyandang gelar The Special One tersebut.
Editor: Nuran Wibisono