tirto.id - Satu hal yang kerap diutarakan Joko Widodo ketika bicara soal kelebihannya dibanding Prabowo Subianto, lawannya di Pilpres 2014 dan 2019, adalah rekam jejak yang bersih. Ini merujuk pada dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo selama bekerja sebagai tentara—terutama ketika jadi Danjen Kopassus.
Tapi klaim itu nampaknya akan runtuh jika dia tak juga mampu menyelesaikan kasus penyiraman air keras penyidik senior KPK, Novel Baswedan.
Selasa, 11 April 2017, Novel Baswedan disiram air keras oleh dua pria yang mengendarai motor. Ia disiram ketika hendak pulang ke rumah selepas salat subuh di masjid. Akibatnya mata Novel rusak, hingga kini. Pelaku tak juga terungkap meski peristiwa telah terjadi hampir dua tahun.
Penulis novel Teror Mata Abdi Astina—yang isinya metafora kasus Novel—Agus Dwi Prasetya mengatakan akan jadi beban sejarah bagi Jokowi jika kasus ini tak kunjung usai hingga akhir masa kepemimpinannya. Dalam 10-20 tahun ke depan, kata Agus, hal ini akan diingat sebagai sejarah yang memalukan.
“Ini akan jadi beban sejarah. Ia akan jadi presiden yang disebut tidak becus menangani perkara melalui aparat penegak hukumnya,” ucap Agus, yang juga merupakan wartawan Jawa Pos, kepada reporter Tirto, Sabtu (26/1/2018) kemarin.
Hal serupa diungkapkan Direktur Madrasah Anti Korupsi, Ahmad Fanani. Ia mengatakan implikasi dari tak tuntasnya penyelesaian kasus Novel adalah munculnya spekulasi.
“Kalau negara tidak bisa mengungkap, spekulasi akan berjalan. Jika tidak diungkap akan jadi beban sejarah republik ini,” ucap Ahmad pada kesempatan yang sama.
Spekulasi yang dimaksud termasuk bisa mengarah ke dugaan-dugaan liar kenapa kasus ini tak juga selesai. Jangan heran jika muncul anggapan tersendatnya penyelesaian kasus karena dihambat dari dalam.
“Mungkin buka negara takut sama mafia, tapi negara itu sendiri mafianya,” kata Ahmad.
Pesimisme bahkan keluar dari mulut Novel sendiri. Kata dia, kesimpulan itu karena presiden belum peduli.
“Saya katakan ini tidak akan diungkap. Termasuk serangan kepada pimpinan KPK lain tidak akan diungkap,” kata Novel.
Menurut Novel, mutasi 48 perwira polisi yang baru-baru ini dilakukan tak akan berdampak banyak. Sebab, lagi-lagi tanpa niat baik presiden, ia merasa upaya memperbaiki kinerja Polri akan terus diintervensi oleh berbagai pihak.
Hal yang sama juga berlaku dalam pembentukan satuan tugas (satgas) atau tim gabungan penyidik, kata Novel. Novel menganggap bahwa pembentukan tim itu bukan diinisiasi oleh orang nomor 1 di Indonesia, melainkan Komnas HAM.
“Saya pesimistis ini [satgas] akan bekerja dengan optimal,” ucap Novel.
Satgas yang Novel maksud diketuai Irjen Idham Azis, bekas Kapolda Metro Jaya yang sekarang jadi Kabareskrim. Tim gabungan yang dibentuk berdasarkan surat tugas yang ditandatangani Kapolri Jenderal Tito Karnavian ini beranggotakan 65 orang. Sebanyak 52 di antaranya polisi, 6 orang dari KPK, dan 7 pakar dari luar.
Kelanjutan kasus Novel sekarang ada di tangan tim ini.
Jokowi sendiri terakhir kali bicara soal Novel adalah pada 14 Januari lalu. Ketika itu ia mengaku terus mendorong aparat untuk segera menyelesaikan kasus ini.
"Kalau saya urusannya mengawasi, memonitor agar masalah ini segera selesai. Saya bagian ngejar-ngejar saja, harus cepat selesai. Itu saja tugas saya" kata Jokowi, seperti dikutip dari Antara.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino