tirto.id - Siapa calon presiden yang didukung resmi oleh Presiden Joko Widodo masih teka teki. Namun, setidaknya kini mulai terbuka soal kriteria apa yang dicari. Jokowi minta siapa pun penerusnya nanti harus bernyali dan punya kekuatan untuk lari maraton.
Lari maraton dalam konteks ini adalah bukan lari sebenarnya. Tidak juga dikaitkan dengan para bakal calon presiden (capres) yang gemar olahraga lari seperti Ganjar Pranowo. Jokowi menyebut kekuatan lari maraton berkaitan dengan daya tahan atau endurance dalam menjalankan program ekonomi pemerintah.
“(Presidennya) butuh daya tahan, endurance. Ini lari maraton,” kata Jokowi dalam pertemuan dengan para pemimpin redaksi, termasuk pemimpin redaksi Tirto, di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (10/8/2023).
Kekuatan daya tahan ini penting dimiliki oleh bakal calon presiden berikutnya karena persoalan ekonomi ke depan bukan semakin mudah. Banyak tantangan, baik dari dalam maupun luar negeri.
Salah satu tantangan yang paling menonjol adalah kaitannya dengan rencana hilirisasi industri. Pemerintah saat ini membuat sejumlah regulasi yang mensyaratkan tidak lagi mengekspor produk mentah, tapi produk hampir jadi ke luar negeri, termasuk hasil tambang. Tujuannya adalah untuk meningkatkan nilai jual produk tersebut.
Hanya saja, kebijakan ini mendapatkan penolakan dari negara-negara di Uni Eropa hingga Amerika Serikat. Mereka menggugat ke pengadilan arbitrase internasional. Gugatan ini tentu saja tidak mudah untuk melawannya.
“Ke depan, bukan siapa presidennya, tapi menurut saya bisa konsisten enggak dengan apa yang kita mulai?” tantang Jokowi.
Gugatan ini juga yang mendasari Jokowi untuk mengeluarkan kriteria pemimpin berikutnya. “Jadi harus berani atau bernyali,” tambahnya.
Menurut Jokowi, tantangan presiden mendatang juga akan datang dari dalam negeri. Salah satunya adalah keberanian untuk mewujudkan visi dari negara konsumsi menjadi negara produksi.
Untuk mewujudkan itu, sedikitnya ada tiga jenis produk utama yang sedang difokuskan, yakni nikel, tembaga, dan rumput laut. “Produksi rumput laut kita itu nomor satu, ngapain impor ke Filipina dan Thailand? Mending kita olah di sini,” ucapnya.
Jokowi di periode kedua pemerintahannya ini memang fokus pada program hilirisasi, khususnya di sektor pertambangan. Salah satunya yang sudah berjalan dan hasilnya kelihatan adalah larangan ekspor nikel.
Berdasarkan catatan Jokowi, sebelum 2020 atau sebelum kebijakan larangan ekspor nikel, Indonesia hanya memperoleh 1,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp15-20 triliun. Akan tetapi, per 2021 begitu kebijakan larangan ekspor mentah diberlakukan, Indonesia memperoleh 20,8 miliar dolar AS atau sekitar Rp300 triliun.
Hal tersebut yang membuat Jokowi semakin yakin dengan program hilirisasi ini. Jokowi dalam banyak kesempatan mengatakan, tidak masalah Indonesia akan digugat lagi ketika menerapkan kebijakan larangan ekspor bauksit maupun tembaga setelah digugat Uni Eropa ke WTO soal larangan ekspor nikel.
Efek Hilirisasi pada Pertumbuhan Ekonomi
Jokowi yang didampingi oleh Mensesneg Pratikno dan Deputi Bidang Protokol, Pers dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin juga memaparkan soal kondisi perekonomian Indonesia terkini. Hingga semester I 2023, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini mencapai 5,17%.
Menurut Jokowi, angka itu jauh melebihi apa yang diprediksi sebagian kalangan. Belum lagi, pertumbuhan ekonomi di sejumlah daerah yang cukup tinggi.
“Menurut saya ini luar biasa,” ucapnya semringah.
Selain itu, angka inflasi juga menurun cukup drastis dari 3,5% kini menjadi 3%. Angka ini diklaim konsisten dengan kondisi riil di pasar dalam kaitannya dengan harga barang pokok. Mulai dari daging ayam hingga kebutuhan pokok lainnya.
Kondisi ini diklaim Jokowi sebagai buah dari upaya hilirisasi industri yang dilakukan pemerintah. Sejumlah investasi yang ada dan regulasi yang diterapkan untuk para pelaku industri untuk membuat smelter mulai membuahkan hasil.
Hanya saja, Jokowi mengakui bahwa pertumbuhan ini belum merata di semua daerah. Perputaran uang masih terfokus di Pulau Jawa, padahal sudah banyak investasi di mana-mana.
“Investasi merata, tapi uang ditarik lagi ke Jakarta karena kantor pusat semua ada di Jakarta,” kata mantan Wali Kota Surakarta tersebut.
Editor: Abdul Aziz