tirto.id - Pada Simposium Nasional Kebudayaan Tahun 2017 di Jakarta, Senin (20/11/2017), Presiden Joko Widodo mengkritik cara-cara tak beretika dan melupakan kesantunan dalam berpolitik sehingga masih sering keluar tuduhan tidak berdasar seperti klaim bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI), padahal undang-undang, yakni TAP MPRS, jelas-jelas menjadi payung hukum yang membuat PKI mustahil hidup lagi di Indonesia.
"Coba kita lihat, masih banyak yang teriak-teriak antek asing, antek aseng, mengenai PKI bangkit. Kalau saya, PKI bangkit gebuk saja sudah, gampang. payung hukumnya jelas, TAP MPRS masih ada, ngapain banyak-banyak masalah ini. Juga mengenai anti Islam, anti ulama, cara politik yang beretika harus mulai kita sampaikan," kata Presiden kepada para senior PPAD (Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat), FKPPI (Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri dan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB), seperti dilansir dari Antara.
Presiden menyebut masih banyak elit politik yang tidak memberikan pendidikan yang baik kepada masyarakat, terutama generasi muda. Oleh karena itu dia meminta generasi muda meneladankan kesantunan dalam berpolitik.
"Memberikan nilai-nilai itu kepada generasi muda, bagaimana berpolitik yang beretika, cara-cara bicara yang beretika, bagaimana menghargai sebuah senioritas, bagaimana menjaga nilai-nilai kesantunan," kata Presiden.
Presiden mengatakan cara-cara berpolitik santun harus dikembangkan dan disampaikan kepada masyarakat, terutama pada anak-anak agar nilai keindonesian tidak hilang.
Untuk itu, lanjut Jokowi, pemerintah telah membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIPI) dan mengeluarkan Perpres nomor 87/2017 tentang Pendidikan tentang Penguatan Pendidikan Karakter untuk memberikan kepada generasi muda tidak tergerus nilai-nilai ke-Indonesiannya.
"Nilai-nilai keindonesiaan, yakni nilai kesopanan, kesantunan, semua terkandung dalam ideologi Pancasila harus terus disampaikan pada anak-anak kita, bagaimana mengenai kerukukanan, bagaimana persaudaraan, bagaimana mengenai toleransi," kata Presiden.
Jokowi mengakui bahwa saat ini, pendidikan generasi muda saat ini tidak hanya menerima pendidikan dari guru dan orang tua saja tetapi juga dari media sosial.
"Jangan keliru, yang mendidik anak kita sekarang ini bukan dari guru, orang tua, tetapi lebih banyak oleh media sosial. Kekuatan keterbukaan kekuatan media sosial sekarang mempengaruhi sekali dari semua aspek baik ekonomi, politik maupun sosial, dan ini yang harus kita antisipasi," kata Jokowi.
Presiden mengingatkan bahwa perkembangan yang sangat cepat teknologi informasi tidak bisa dibendung yang membuat lanskap ekonomi dan politik baik internasional maupun nasional berubah.
"Jika ini tidak diantisipasi, tidak disiapkan nilai-nilai karakter keindonesia kita, nilai karakter bangsa akan tergerus, kalau penyiapannya betul-betul tidak mulai dari tahapan yang benar," kata Presiden.
Sebelumnya, Presiden Jokowi juga pernah menyebut istilah “Gebuk PKI”. Kalimat itu terlontar saat menjamu sejumlah pemimpin redaksi media massa di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (17/5/2017).
“Indonesia adalah negara demokrasi sekaligus negara hukum. Kalau ada keluar dari koridor itu, yang pas istilahnya, ya, digebuk.”
Baca juga:Politik Gebuk Menggebuk ala Soeharto dan Jokowi
Pernyataan bernada ancaman ini tidak berdiri sendiri. Jokowi mengaitkannya dengan salah satu isu yang belakangan cukup ramai jadi perbincangkan yakni kebangkitan komunis. Sebagai presiden, Jokowi berjanji tidak akan segan-segan “menggebuk” pihak-pihak yang coba membangkitkan PKI dari kubur. Alasannya, PKI dilarang konstitusi.
“Saya dilantik jadi Presiden yang saya pegang konstitusi, kehendak rakyat. Bukan yang lain-lain. Misalnya PKI nongol, gebuk saja. TAP MPR jelas soal larangan itu (PKI),” ujar Jokowi.
Penulis: Yandri Daniel Damaledo
Editor: Yandri Daniel Damaledo