tirto.id -
Menanggapi hal tersebut, Nur Hidayat menilai, pemerintah terkesan otoriter dengan secara langsung menentukan ibu kota di Palangkaraya.
"Kami menilai pemerintah terkesan otoriter, ini mau dipindah ke Kalimantan, rakyat Kalimantan enggak ditanya. 'Mau enggak jadi ibu kota?" ujarnya saat di Kantor Walhi, Mampang, Jakarta Selatan, Rabu (16/8/2019).
Sebab dirinya melihat, selama ini pemerintah hanya melakukan konsultasi dengan Pemerintah Daerah dan pimpinan-pimpinan di daerah Palangkaraya. Pertemuan tersebut juga, kata dia, kebanyakan dilakukan di Jakarta saja.
"Tidak pernah ada pertemuan-pertemuan yang menanyakan kepada masyarakat Palangkaraya dan lainnya, 'mau enggak jadi ibu kota?' Diasumsikan masyarakat itu mau," ucapnya.
Padahal, ujar dia, jika dilihat, tidak seluruh masyarakat Palangkaraya yang menginginkan daerah mereka menjadi Ibu Kota.
Apalagi yang dikhawatirkan, dengan adanya Ibu kota di daerah tersebut, banyak dilakukan penebangan hutan untuk lahan Ibu kota. Lalu mereka juga terkena dampak asap atas adanya pembakaran hutan.
"Jadi kebanyakan kekhawatiran masyarakat setempat di Kalimantan yang diabaikan sama pemerintah dan tidak dihiraukan suaranya," tuturnya.
Sebaiknya, kata dia, jika ingin ada pemindahan Ibu Kota ke Palangkaraya, agar menanyakan kepada masyarakat setempat terlebih dahulu terkait ketersediaan mereka.
"Ini, kan, sama, ketiadaan proses konsultasi untuk proyek industri, proyek perkebunan. Tahu-tahu perusahaan masuk, ini sudah diberi izin. Jadi masyarakat di sana dipaksa untuk menerima keputusan yang sudah ditetapkan oleh presiden dan pemerintah pusat," pungkas dia.
"Seharusnya suara masyarakat diperhatikan, bukan cuma suara pemerintahnya, tapi suara rakyatnya," tambahnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno