Menuju konten utama

Jimly Asshiddiqie: Mahkamah Konstitusi Tak Butuh Pengawas

Jimly Asshiddiqie berpendapat pembentukan lembaga baru untuk pengawasan terhadap hakim-hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tidak diperlukan. Alasan dia karena sudah ada Dewan Etik MK dan untuk menjaga independensi Hakim Konstitusi.

Jimly Asshiddiqie: Mahkamah Konstitusi Tak Butuh Pengawas
Jimly Asshidiqie. FOTO/ANTARA.

tirto.id - Pakar hukum Jimly Asshiddiqie menyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak memerlukan lembaga pengawas baru. Mantan Ketua MK tersebut beralasan biaya untuk membuat lembaga pengawas MK akan mahal.

"Hakim MK itu hanya ada 9. Terlalu mahal. Nanti bikin lembaga pengawas. Terus lembaga pengawasnya bikin lembaga pengawas lagi. Terlalu mahal," kata Jimly di Universitas Muhammadiyah Jakarta, pada Rabu (23/8/2017).

Menurut Jimly, di internal MK telah ada Dewan Etik yang bertugas untuk mengawasi kinerja hakim-hakim konstitusi.

"Jadi, misalnya ada dugaan pelanggaran etik dari masyarakat yang dilakukan hakim, seperti bertemu orang yang berpekara atau apa saja. Itu bisa dilaporkan ke dewan etik. Nanti dewan etik akan bekerja untuk memeriksa para hakim itu," kata Jimly.

Dewan Etik MK, menurut Jimly, juga berisi pihak-pihak independen yang berasal dari luar lembaga tersebut. Karena itu, keberadaan lembaga pengawas itu sudah cukup untuk memantau kinerja hakim MK.

"Kalau ada yang terbukti melanggar kode etik, diberhentikan sanksinya," kata Jimly.

Jimly menambahkan Dewan Etik MK sudah dibentuk sejak sepuluh tahun lalu dan lebih diperkuat lagi setelah terbongkar kasus suap yang menjerat Mantan Ketua MK Akil Mochtar dan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Sekalipun hanya berwenang memberikan sanksi etik, Jimly menilai kewenangan itu sudah cukup bagi Dewan Etik MK.

"Yang penting dipecat dulu. Selanjutnya baru diserahkan ke hukum. Karena proses hukum itu ribet dan lama, makanya dipecat dulu," kata Jimly.

Selain itu, Jimly melanjutkan, pembentukan lembaga pengawas baru bagi MK juga rawan memunculkan intervensi terhadap para hakim konstitusi. Pola pengawasan di lembaga tinggi negara semacam MK, bagi Jimly, tidak bisa disamakan dengan hubungan eksekutif dan legislatif.

"Tapi, di kehakiman semua sistem sama. Membuat kehakiman itu independen. Caranya sekarang dibuat sistem etik ini untuk menilai perilakunya. Bukan menilai keputusannya," kata Jimly.

Pengawasan internal itu, Jimly mengimbuhkan, bisa dibarengi dengan perubahan sistem pengangkatan hakim MK. Dia menilai rekrutmen hakim MK selama lima tahun sekali rentan menjadi ajang politisasi sebab proses fit and proper test berlangsung di DPR.

Selain itu, menurut Jimly, para calon hakim MK bisa dipilih dari mereka yang sudah berusia uzur. "Usia 60-70 tahun. Mereka sudah tua dan minim kepentingan. Sudah dekat ajal," kata Jimly.

Sebaliknya, Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto menyatakan biaya yang mahal seharusnya bukan jadi masalah untuk membentuk sebuah sistem pengawasan kuat terhadap MK.

"Tentu kalau kita berfikir dalam perspektif yang ideal, besaran cost (biaya) tersebut jangan hanya diukur dari uang saja, tapi cost besar yang harus ditanggung kelembagaan karena distrust (ketidakpercayaan) publik akibat penyimpangan di kelembagaannya," kata Didik.

Pengawasan yang optimal, menurut Didik, akan mampu menghindarkan penyimpangan karena penyelewengan kewenangan yang terlalu besar.

"Perencanaan yang baik dengan pengawasan yang optimal saya yakin akan mampu menghadirkan tata kelola kelembagaan yang efektif dan efisien," kata dia.

Meski begitu, hingga kini, Didik mengaku belum ada pembahasan terkait dengan wacana pembentukan lembaga pengawas MK di Komisi III DPR RI.

Baca juga artikel terkait MAHKAMAH KONSTITUSI atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Addi M Idhom