Menuju konten utama

Jelang Lebaran, BPOM: 47 Persen Produk Pangan Tak Penuhi Ketentuan

Menjelang Lebaran 2019, BPOM RI mendapati 47 persen produk pangan tak memenuhi ketentuan pemerintah. 

Jelang Lebaran, BPOM: 47 Persen Produk Pangan Tak Penuhi Ketentuan
BPOM merilis pangan hasil penyitaan makanan kadaluarsa, ilegal, dan rusak selama operasi bulan Ramadan, Jakarta, Senin (20/5/2019). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI mendapati 47 persen produk pangan tak memenuhi ketentuan pemerintah. Kepala BPOM, Penny K Lukito merinci sejumlah produk pangan yang terjaring itu ditemukan memiliki kemasan yang rusak, melewati tanggal kedaluwarsa, dan tidak memiliki izin edar.

Untuk kategori kedaluwarsa, BPOM mencatat produk seperti kental manis, makanan ringan, dan biskuit. Lalu contoh produk yang memiliki kemasan rusak berupa ikan kaleng, teh, hingga sereal. Sementara itu, produk yang ditemukan beredar secara ilegal berkisar pada makanan ringan, air minum dalam kemasan (AMDK), hingga minuman berperisa.

"Ada 47 persen yang tidak memenuhi ketentuan. Ditemukan adanya produk pangan yang rusak, pangan kedaluwarsa dan tanpa izin edar," ucap Penny dalam konferensi pers pengawasan pangan selama Ramadan di Gedung C BPOM RI pada Senin (20/5).

Temuan itu berasal dari pemeriksaan terhadap 1.834 sarana distribusi pangan yang tersebar di 40 kabupaten/kota. Terdiri dari 1.553 sarana ritel dan sisanya gudang distributor-importir.

Selain menemukan sejumlah kategori produk pangan yang tidak sesuai ketentuan, BPOM juga memetakan sejumlah lokasi peredarannya.

Menurut Penny, sejumlah produk itu beredar di kawasan Timur Indonesia dan perbatasan.

Pada kategori pangan kedaluwarsa banyak ditemukan di Kendari (Sulawesi Tenggara), Jayapura (Papua), Mimika (Papua), Palopo (Sulawesi Selatan), dan Bima (NTB).

Lalu produk pangan rusak ditemukan di wilayah Palopo, Banda Aceh, Bima, Kendari, dan Gorontalo.

Sementara itu, temuan produk pangan ilegal diperoleh dari wilayah Kendari, Tangerang (Banten), Makassar (Sulawesi Selatan), Baubau (Sulawesi Tenggara), dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan).

"Daerah-daerah ini berada di lokasi pinggiran yang diduga jauh dari kesadaran masyarakat untuk memeriksa produk tersebut," ucap Penny.

Selain itu, BPOM mendapati bahwa temuan ini memiliki nilai keekonomian lebih besar dari tahun sebelumnya. Dari Rp2,2 miliar pada 2018 menjadi Rp 3,4 miliar di 2019 dengan jumlah sarana ritel dan distribusi pangan lebih banyak dari sebelumnya.

Baca juga artikel terkait PRODUK PANGAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri