tirto.id - Pada awal 1915, serombongan tentara kolonial Hindia Belanda alias Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL)yang tengah berpatroli di daerah Pasir Hulu (Kalimantan Timur) menangkap seekor kerbau milik salah satu warga. Tanpa memberi ganti rugi kepada si pemilik, mereka lantas memotong kerbau itu. Si pemilik yang merasa diperlakukan tak adil kemudian mengadu kepada Sultan Ibrahim Chaliluddin, mantan penguasa Kesultanan Pasir.
Ibrahim Chaliluddin tak bisa berbuat apa-apa karena tidak berkuasa lagi. Dia kemudian menyarankan si pemilik kerbau yang malang itu untuk datang pada Pangeran Singa Maulana di Modang, sebelah utara Kesultanan Pasir. Kemudian, pada Juli 1915, Pangeran Singa Maulana memimpin penyerangan ke sebuah tangsi KNIL di Tanah Grogot—yang semula adalah pusat Kesultanan Pasir.
Begitulah permulaan dari kisah perlawanan rakyat Pasir terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda, seperti dikisahkan dalam Republik Indonesia Kalimantan (1959, hlm. 410). Perlawanan rakyat Pasir itu kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Sarekat Islam. Dalam pemberontakan itu, Ibrahim Chaliluddin bermain di dua kaki. Dia pasang gestur bersahabat dihadapan otoritas Belanda, tapi di lain waktu turut urun membantu pemberontak. Permaisurinya Dajang Ringgong juga terlibat dalam gerakan perlawanan.
Setelah tak menjadi sultan lagi sejak 1906, Ibrahim Chaliluddin turut dalam pergerakan nasional dan kemudian menjadi presiden dari Sarekat Islam (SI) cabang Pasir. SI Pasir sendiri mulai berdiri pada 1914.
Sebagai pemimpin SI, Ibrahim Chaliluddin mengajak anggota SI Pasir untuk melawan Belanda. Perlawanan itu juga mendapat bantuan dari orang-orang Banjar dari Hulu Sungai. Selain Sultan Ibrahim Chaliluddin dan Panglima Singa Maulana, tokoh lain yang terlibat dalam perlawanan itu adalah Panglima Sentik dan Panglima Sebaja.
Pemberontakan SI Pasir berlangsung sekitar 1,5 tahun. Ketika pemberontakan ini berlangsung, Perang Dunia I (1914-1916) juga tengah berlangsung di Eropa. Kekhalifahan Turki Usmani sempat satu kubu dengan Jerman dalam perang ini. Karenanya, Belanda menganggap pengaruh-pengaruh dari kedua negara ini sebagai bahaya.
Di sekitar tahun-tahun perang itu, merebak kabar bahwa kekuatan dari Turki Usmani bakal datang ke Hindia Belanda. Meski kabar-kabar itu tentu sumir belaka dan memang tak pernah terbukti, tetap banyak warga muslim Hindia Belanda yang percaya. Menurut catatan Kees van Dijk dalam Hindia Belanda dan Perang Dunia I 1914-1918 (2014, hlm. 333), ada seorang haji di Sulawesi yang meyakini bahwa kekuatan Turki Usmani telah benar-benar masuk ke Hindia Belanda. Berdasar keyakinan itu, dia lantas mengumpulkan orang untuk berontak pada 1915. Van Dijk juga menyebut, “Di Pasir, di pesisir timur Kalimantan, kaum Muslimin juga mengandalkan dukungan Turki untuk mengusir Belanda.”
Dukungan itu tentu saja tak pernah datang. Yang benar-benar datang kepada mereka kemudian justru adalah kekuatan baru daripada KNIL. Kekuatan baru itu didatangkan dari Batalyon Garnisun Kalimantan bagian selatan dan timur yang berpusat di Banjarmasin.
Bagi KNIL yang memiliki persenjataan modern, melawan orang-orang kampung yang minim senjata api dan lebih banyak mengandalkan Mandau (parang khas Kalimantan) bukanlah perkara sulit.
Pasukan KNIL yang terlatih dengan komando dari perwira yang berpendidikan militer tentu dapat bermanuver dengan lebih cepat. De Preanger-bode (14/4/1916) memberitakan bahwa pada 9 April 1916, pasukan KNIL pimpinan Letnan Satu Raden Wardiman dan Letnan Satu Poll telah melakukan persiapan untuk melawan pemberontakan orang-orang Pasir. Pasukan itu kemudian bergerak ke hulu Kasungai untuk menghadapi sekitar 30 orang Pasir.
Pangeran Singa Maulana kemudian jadi bahan berita koran kolonial. De Avondpost (6/7/1916) memberitakan bahwa Letnan Wardiman dan pasukannya telah menangkap Pangeran Singa Maulana dan seorang bawahannya yang bernama Semarangkitin Tabalong.
Pada akhir 1916, militer kolonial Hindia Belanda melakukan beberapa langkah penting untuk mengakhiri pemberontakan orang-orang Pasir. Mereka mengepung rumah Sultan Ibrahim Chaliluddin pada tengah malam dan menangkapnya. Sejumlah anggota keluarga mantan sultan itu juga turut ditahan. Selanjutnya, mereka semua dibuang ke Jawa.
Sultan Ibrahim Chaliluddin berusia sekitar 58 tahun kala ditangkap Belanda. Dia kemudian tutup usia di tanah pembuangannya di Cianjur, Jawa Barat.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda tak meremehkan orang-orang Pasir. Meski SultanIbrahim Chaliluddin dan para pengikutnya telah ditahan pada 1916, perlawanan sebenarnya tidak berhenti begitu saja. De Locomotief (20/8/1917) menyebut Panglima Sebaja masih belum tertangkap. Letnan Dua Oerip juga melaporkan adanya sisa-sisa anggota pemberontak yang bersembunyi di hutan pada Mei 1917.
De Locomotief (10/11/1917) mengabarkan beberapa pemuka perlawanan seperti Bapa Silam, Bapa Loegoug, Towa Kampong, dan Adji Ngara akhirnya melaporkan diri. Koran itu menulis, “Letnan Dua Oerip tahu bagaimana meyakinkan rakyat.” Sejak itu, perlawanan rakyat perlahan mereda.
Prajurit KNIL dari kalangan orang Jawa sangat berguna di daerah pendudukan. R.P. Suyono dalam Peperangan Kerajaan di Nusantara (2003, hlm. 326-327) menyebut kompi Jawa KNIL biasanya ditugaskan untuk bernegosiasi di daerah pendudukan. KNIL mengandalkan watak tenang prajurit asal Jawa untuk meredam permusuhan di daerah lawan.
Dalam konteks pemberontakan rakyat Pasir ini, misalnya, ada Letnan Satu Wardiman dan Letnan Dua Oerip. Keduanya terbukti efektif dalam meredam Pemberontakan SI Pasir.
Setelah meredanya Pemberontakan SI Pasir, Letnan Satu Wardiman ditugaskan ke Timor. Benjamian Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit (1995, hlm. 370) menyebut pada 1924, Wardiman pensiun dini dengan pangkat terakhir kapten. Usianya kala itu masih 34 tahun. Setelah punya anak, seperti diberitakan De Locomotief (8/3/1935), Wardiman mengajukan persamaan status hukum sebagaimana orang Eropa dengan nama belakangnya Wirjosapoetro.
Sementara itu, Letnan Dua Oerip lalu pindah tugas ke Balikpapan. Benjamian Bouman (1995, hlm. 369) menyebut Oerip juga mengajukan persamaan status pada 1926 dan kemudian memakai nama belakang Soemohardjo. Oerip pensiun pada 1938 dengan pangkat mayor.
Setelah Indonesia merdeka, Oerip Soemohardjo menjadi Kepala Staf Umum Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Wardiman dan dua anak lelakinya juga ikut Republik Indonesia. Dua anak laki-laki Wardiman kemudian menjadi marsekal AURI.
Lama setelah perlawanan di Pasir itu, Modang—tempat kediaman Pangeran Singa Maulana dan sekaligus nama subetnis Dayak—sempat menjadi nama Batalyon Infanteri 612 di Balikpapan.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi