tirto.id - Syahdan, pada 1684, penguasa kolonial Inggris di Madras, India, mengirim utusan ke Kesultanan Aceh. Diterimalah utusan itu oleh Sultanah Inayat Zakiatuddin Syah di istananya yang megah. Utusan Inggris itu hendak bernegosiasi perihal pembangunan benteng dan gudang perdagangan di wilayah Kesultanan Aceh.
Di luar dugaan, Sultanah Zakiatuddin menunda jawabannya dan malah meminta salah seorang utusan bernama Ralp Ord melepas wig putih kebanggaannya. Setelah mendapat apa yang dia mau, yakni penampakan kepala pelontos si utusan, Sultanah berjanji akan memberi jawaban atas hari lain melalui abdinya.
Orang Inggris sebenarnya tak asing dengan raja perempuan, toh negerinya seabad silam juga mencapai masa emas di bawah kepemimpinan Ratu Elizabeth I. Namun, Ord dalam catatan perjalanan—yang dirangkum William Marsden dalam History of Sumatra (1811: 449)--mengaku curiga atas gelagat Sultanah Zakiatuddin. Dia menduga Zakiatuddin bukanlah ratu sungguhan.
Kecurigaan Ord barangkali muncul karena ia tak bertatap muka langsung dengan Zakiatuddin. Sebagaimana diterangkan oleh Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya II: Jaringan Asia(2018: 254), di zaman itu seorang sultanah tak boleh tampil dan harus berkomunikasi dari belakang tirai.
Sementara itu, Marsden menggambarkan Zakiatuddin sebagai perempuan berperawakan besar dengan gaya bicaranya tegas dan bersuara lantang. Boleh jadi, karena itu Ord menduga Zakiatuddin sebenarnya hanyalah seorang kasim yang menyamar atas perintah sekelompok bangsawan berjulukan orang cayo (orang kaya).
Kecurigaan Ord memang tidak bisa dibuktikan, tapi keyakinannya atas dominasi kekuasaan orang-orang kaya dalam Kesultanan Aceh tidak salah.
“Segala urusan kenegaraan (Aceh) digerakkan oleh dua belas orang kaya, empat di antaranya memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan sisanya. Di antara para maharaja atau gubernur kerajaan, mereka dianggap sebagai kepala,” terang Marsden.
Orang cayo Aceh mulai pegang kendali kekuasaan sepeninggal Sultan Iskandar Muda. Kala itu Aceh memang sedang goyah gara-gara pemberontakan dan perselisihan takhta. Dan lagi, golongan bangsawan-saudagar kaya ini sudah jengah dengan pemerintahan absolut Iskandar Muda. Golongan ini menganggap pengangkatan raja perempuan bisa jadi solusi.
“Pemerintahan wanita merupakan satu dari sedikit cara yang digunakan oleh kalangan bangsawan yang mementingkan kegiatan niaga guna membatasi kekuasaan despotis raja dan membuat negara aman bagi perniagaan internasional,” tulis Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1(2014: 197).
Maka itu, dalam kurun 1641-1699, secara berturut-turut Aceh dipimpin oleh raja perempuan yang didukung oleh para orang cayo. Ratu pertamanya, Tajul Alam Safiyatuddin Syah, diangkat menjadi sultanah tepat saat Aceh tengah dilanda krisis. Sementara, Sultanah Zakiatuddin merupakan raja perempuan ketiga di tampuk tertinggi Kesultanan Aceh.
Runtuhnya Negara Tradisional
Kemunculan pemerintahan bercorak oligarki di Kerajaan-kerajaan Asia Tenggara pra-modern tak bisa dilepaskan dari runtuhnya tatanan tradisional Hindu-Budha dan perkembangan perdagangan maritim abad ke-17. Prosesnya bisa dirunut dari peristiwa kejatuhan Baghdad gara-gara serangan bangsa Mongol pada 1258.
Janet Abu-Lughod—sosiolog yang berkontribusi besar pada teori sistem dunia—menyebut kejatuhan ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah itu merangsang bergeliatnya perdagangan di Samudera Hindia. Dalam magnum opus-nya yang berjudul Before European Hegemony: The World System A.D. 1250-1350 (1991: 195), Abu-Lughod mencatat bahwa jalur perdagangan darat yang menghubungkan Baghdad dengan India terganggu akibat kehadiran orang Mongol. Kondisi ini lantas melambungkan peranan Karimi—kelompok pedagang muslim dari Mesir—yang menguasai jalur perdagangan Laut Merah.
Serangan Mongol ternyata tidak berhenti di Asia Barat, bahkan semakin agresif sampai ke Asia Tenggara. Pada 1280-an, mereka menghancurkan kerajaan Pagan di Myanmar dan hampir saja meluluhlantakan Kerajaan Champa di Vietnam. Satu dasawarsa kemudian, armada Mongol tiba di Jawa Timur dan berhasil mengakhiri hegemoni Kerajaan Singasari.
Dominasi Mongol perlahan pudar menyusul kebangkitan Dinasti Ming di Cina pada pertengahan abad ke-14. Periode ini bertepatan dengan hilangnya pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Asia Tenggara kontinental. Kekuasaan raja-raja di Kamboja dan Myanmar kini hanya bersifat simbolis. Sementara itu, kota-kota pelabuhan naik pamor berkat hubungan perniagaan dengan Cina.
Seperti dipaparkan Geoff Wade dalam makalahnya Engaging the South: Ming China and Southeast Asia in the Fifteenth Century, pada saat yang sama Kekaisaran Cina tengah terobsesi menyebarkan pengaruhnya ke negeri-negeri di kawasan selatan. Kebijakan luar negeri Cina dilaksanakan dengan jalan mengirim utusan diplomatik atau jalinan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara.
“Usaha pertama yang dilakukan para penguasa Cina Ming yang berhasil naik tahta ialah mengirim utusan ke pusat pemerintahan lain untuk mengumumkan kekuasaannya,” papar Wade. Zhu Yuan-zhang—kaisar pertama Dinasti Ming yang naik tahta pada 1368—memperlakukan raja-raja Asia Tenggara layaknya vasal. Mereka diberi piagam kekaisaran dan membayar upeti kepada kaisar sebagai jaminan keamanan.
Hubungan macam itu ikut pula membentuk tatanan kenegaraan baru di Asia Tenggara. Pusat kekuasaan beralih dari kota pedalaman ke kota pesisir yang maju pesat berkat campur tangan golongan saudagar. Alih-alih membangun imperium, negara-negara baru seperti Kerajaan Pegu di Myanmar justru lebih banyak berkonsentrasi pada kegiatan niaga.
Oligarki Kapital Mengatur Para Raja
Interaksi dengan Cina secara tidak langsung membantu perkembangan negara-negara pelabuhan Asia Tenggara sejak abad 15. Patani, Cochin-Cina, Pegu, Johor, Aceh, dan Banten merupakan kota pelabuhan yang paling banyak menimba keuntungan dari perdagangan laut. Beberapa di antaranya bahkan mengadopsi mata uang dari Cina dan mengangkat orang-orang kaya berjulukan chua (tuan) ke dalam pemerintahan.
Di Cochin-Cina (Vietnam bagian selatan), peranan para chua dalam pemerintahan semakin menonjol tidak lama setelah Nguyen Hoang—bupati terakhirnya—tutup usia pada tahun 1613. Seperti dipaparkan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2 (2011: 245), para pengganti Hoang tidak mau menamai diri mereka raja tetapi juga mengabaikan otoritas Dinasti Lê (dinasti Kerajaan Vietnam) yang dianggap sudah kehilangan pengaruh di kawasan pesisir. Para chua ini malah dengan percaya diri mendeklarasikan terbentuknya negara baru.
Sementara itu, sejak 1584, saudagar-saudagar kaya di Patani menggunakan pengaruh politik mereka untuk mendudukan raja perempuan demi menciptakan iklim perdagangan yang lebih harmonis. Sejak saat itu, negara pelabuhan di pantai timur Semenanjung Malaya ini berkembang menjadi pusat kegiatan ekonomi yang kental akan unsur Cina.
“Orang-orang Belanda dan Inggris mendirikan loji-loji mereka di sana untuk membeli lada dan barang-barang dari Cina, dan kota itu menjadi padat penduduk dan kaya hingga pertengahan abad ke-17,” terang Reid.
Ahli sejarah Asia Tenggara di Australian National University itu juga memaparkan bahwasanya pengangkatan raja perempuan hanya merupakan satu dari sedikit cara golongan saudagar membatasi kekuasaan despotis raja yang sewaktu-waktu bisa mengganggu kelangsungan kegiatan niaga. Sebagaimana yang terjadi di Aceh dalam periode 1641-1699.
Luthfi Auni dalam tesis masternya yang berjudul The Decline of Islamic Empire of Aceh 1641-1699 (1993, PDF) mengkisahkan, ketika Sultanah Nurul Alam Naqiyatuddin Syah naik tahta pada tahun 1675, kekuasaan politik ratu mulai menunjukan tanda-tanda kemunduran. Sebaliknya, dominasi dewan yang beranggotakan 11 orang cayo dan seorang Syahbandar (kepala pelabuhan) semakin menonjol baik dalam urusan niaga maupun pemerintahan.
Sultanah pengganti Safiyatuddin itu disebut tidak lagi memiliki otoritas yang sepadan dengan pendahulunya—yang tidak lain adalah putri Iskandar Muda. Begitu pula Sultanah Zakiatuddin. Menurut pengamatan penjelajah Inggris William Dampier, Zakiyatuddin bahkan sudah tidak bisa menentukan kebijakan negara tanpa berkonsultasi dengan dewan saudagar.
“Otoritasnya sangat terbatas. Meskipun sang Ratu sepertinya masih mendapat pujian dan penghormatan, tetapi dia tidak lebih dari simbol kerajaan. Seluruh kuasa dalam pemerintahan berada di tangan oronkeys (orang kaya),” ungkap Dampier dalam catatan perjalananya A New Voyage Round the World, Volume 2 (1699: 139).
Editor: Fadrik Aziz Firdausi