Menuju konten utama

Jejak Masalah Investasi Sawit Tabung Haji Malaysia di Indonesia

Tabung Haji menginvestasikan sebagian uangnya ke perkebunan sawit di Indonesia, yang disinyalir kerap tersandung masalah, termasuk pembukaan lahan gambut.

Jejak Masalah Investasi Sawit Tabung Haji Malaysia di Indonesia
Header Indept Sawit Malaysia. tirto.id/Ecun

tirto.id - Tahun 2021 jadi waktu yang manis bagi Lembaga Tabung Haji Malaysia. Di tengah karut marut kondisi akibat pandemi, lembaga itu justru membukukan peningkatan pendapatan.

Mereka membukukan RM3,24 malaysia pendapatan, setara Rp10,7 triliun. Ini melebihi pendapatan tahun sebelumnya, RM3,19 miliar, atau Rp10,4 triliun.

Pendapatan perusahaan meningkat ditopang fixed income dari permodalan dan ekuitas. Total distribusi keuntungan kepada 8,3 juta deposannya mencapai RM2,46 miliar, atau Rp8 triliun.

Lewat lembaga pemerintah Malaysia ini, warga Muslim Malaysia menabung demi menunaikan ibadah haji. Tercatat pada 2021, total deposito yang terkumpul mencapai RM83 miliar atau setara Rp274 triliun.

Lembaga ini punya beragam instrumen untuk memutar dana, seperti permodalan untuk bisnis perhotelan, keuangan, properti, juga konstruksi. Mereka juga berkiprah di sektor perkebunan, termasuk sawit. Usaha di sektor ini terwujud dalam entitas Tabung Haji Plantations (THP).

Laporan tahunan perusahaan 2021 menunjukkan Tabung Haji Plantation mencetak laba RM101 juta, melampaui tahun sebelumnya yakni RM27 juta.

Namun tak bisa dimungkiri, tentakel bisnis Tabung Haji meninggalkan beragam jejak masalah di sektor perkebunan sawit di Indonesia.

Di Indonesia, mereka memiliki sebuah anak perusahaan bernama PT Persada Kencana Prima yang beroperasi di Kabupaten Tana Tidung, Kalimantan Utara. Total wilayah yang dikelola perusahaan di Indonesia mencapai 6,928 hektare, terkecil dibandingkan area yang dikelola oleh THP di Malaysia.

Lahan garapan PT Persada Kencana Prima berada di Kabupaten Tana Tidung, wilayah yang hampir separuhnya didominasi lahan gambut.

Greenpeace International dalam laporannya berjudul “Final Countdown: Final Countdown: Now or Never to Reform the Palm Oil Industry” menuding perusahaan merupakan salah satu perusak lingkungan. Dasar tuduhan itu adalah citra satelit yang menunjukkan pembukaan lahan dalam kurun 2014 sampai 2017. Data menyingkapkan pembukaan lahan gambut sebesar 3.685 hektare deforestasi, termasuk di lahan gambut.

Lahan gambut, menurut regulasi termasuk area dilindungi. Pembukaan lahan gambut memang dilarang. Pemerintah membakukan aturan tersebut melalui Surat Edaran Menteri LHK No S.494/2015 Larangan Pembukaan Lahan Gambut.

Musim Mas – selaku produsen minyak sawit – yang mendapat pasokan dari Persada Kencana Prima sempat mendapat notifikasi dari Greenpeace perihal pemasok bermasalah. Adapun kala itu, Musim Mas menyatakan Persada Kencana Prima sudah sempat mengeluarkan perintah penghentian kerja dan berjanji memperkuat praktik keberlanjutan.

Nyatanya pengurangan lahan gambut di konsesi perusahaan tak berhenti. Menurut situs pemantauan deforestasi Atlas Nusantara, setidaknya 200 hektare lahan gambut hilang di wilayah konsesi antara 2018 sampai 2019.

Meski ekspansi lahan gambut terjadi, pendapatan yang disumbang dari usaha mereka di Indonesia terbilang kecil dibandingkan dengan perolehan pendapatan dari usaha-usaha mereka di Malaysia. Pada 2021 terhitung pendapatan mereka hanya mencapai RM 64.000, atau setara Rp211 juta. Pencapaian ini anjlok dari tahun sebelumnya yang mencapai RM 691.000, atau setara Rp 2,2 miliar.

Kehadiran Lembaga Tabung Haji juga nampak di tempat-tempat lain. Meski tidak tampak dalam laporan tahunan perusahaan, namun pemberitaan dan sumber terbuka seperti Atlas Nusantara menunjukkan kehadiran mereka terwujud dalam usaha patungan.

Berdasarkan informasi dari laman resmi, hingga kini perusahaan-perusahaan kebun sawit yang terkoneksi dengan Lembaga Tabung Haji Malaysia terdapat di Kalimantan Tengah, seperti PT Satria Hupasarana dan PT Gemareksa Mekarsari yang berada di bawah naungan PT TH Felda Nusantara sebagai induk.

Dua perusahaan ini terbentuk sebagai usaha patungan antara Lembaga Tabung Haji dengan Felda Global Ventures (FGV). FGV merupakan grup bisnis yang berada di bawah Federal Land Development Authority (Felda) atau Lembaga Kemajuan Tanah Persekutuan. Felda sendiri merupakan lembaga negara yang mengurusi penataan wilayah pedesaan dan pengembangan pertanian.

Sementara di Kuala Lumpur, perusahaan patungan ini tercatat dengan nama Trurich Resources Sdn Bhd.

Ada tiga perusahaan patungan lainnya bersama Felda yang berada di Kabupaten Tana Tidung, yakni PT Anugrah Kembang Sawit Sejahtera, PT Teknik Utama Mandiri, dan PT Usaha Kaltim Mandiri.

PT Gemareksa Mekarsari dan PT Satria Hupasarana merupakan nama-nama yang pernah disorot. Awal 2019 silam, Bupati Lamandau, Kalimantan Tengah, Hendra Lesmana pernah menyurati Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Seperti diberitakan Antara, dua perusahaan ini diduga menunggak sisa hasil produksi perusahaan senilai puluhan miliar rupiah kepada sembilan koperasi plasma di Lamandau.

Kala itu, pihak perusahaan mengakui adanya tunggakan, seperti dikutip Borneonews. Hanya saja mereka tidak bisa berbuat apa-apa lantaran harus menunggu keputusan pusat. Tirto.id dan Betahita sempat mencoba menghubungi Hendra. Hingga naskah terbit, Hendra tidak membalas pesan singkat dan tidak mengangkat telepon. Begitu pula Ebet, humas perusahaan PT Gemareksa Mekarsari yang kami dapatkan nomornya, tidak merespons panggilan telepon pada 15 Agustus.

Pada 2013, Gemareksa Mekarsari juga sempat diberitakan terlibat kasus penyerobotan lahan. Mengutip Bisnis Indonesia, kala itu mereka berkonflik dengan Masyarakat Adat Nanga Bulih yang menilai perusahaan merambah ratusan hektare dari luasan izin koordinat Hak Guna Usaha.

PT Satria Hupasarana juga pernah terganjal kasus sengketa lahan dengan warga Desa Bukit Raya dan Desa Bukit Makmur, Lamandau. Pada 2014 kasus tersebut sampai ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Hingga kini warga masih menuntut PT Satria Hupasarana untuk mengembalikan lahan, sementara perusahaan tersebut mengklaim masih mempelajari putusan MA.

Tirto.id sudah berupaya mengkonfirmasi soal investasi sawit ke THP dan Tabung Haji, namun belum mendapat jawaban hingga 17 Agustus.

Infografik Indept Sawit Malaysia

Infografik Indept Sawit Malaysia. tirto.id/Ecun

Jejak Lembaga Tabung Haji di Riau

Riau merupakan wilayah awal investasi perkebunan Lembaga Tabung Haji Malaysia. Wilayah perkebunan mereka dulunya berada di Indragiri Hilir. Merujuk Laporan Tahunan 2009, Tabung Haji Plantation Berhad tercatat mengelola lebih dari 10 ribu hektare lahan perkebunan pada 1999. Di Riau mereka berdiri dengan entitas Tabung Haji Indo Plantation (THIP).

Penguasaan Lembaga Tabung Haji Malaysia di wilayah Riau terus berkembang. Laporan tahunan perusahaan 2012 menyebut mereka mengelola 85 ribu hektare kebun.

Pada momen inilah, THIP disebut-sebut terlibat kebakaran hutan Riau 2013. Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), organisasi sawit berkelanjutan sempat memeriksa sejumlah perusahaan yang dinilai terlibat kebakaran hutan. THIP merupakan salah satu perusahaan yang diperiksa. Belakangan, tidak informasi terkait dugaan keterlibatan dalam kebakaran hutan

Permodalan Tabung Haji Malaysia di Riau perlahan lenyap kala terjadi peralihan saham. Merujuk pemberitaan The Edge Market, PT (THIP) setidaknya sejak 2012 telah memulai penjualan saham kepada PT Pacific Borneo. PT Pacific Borneo terafiliasi dengan Alexander Thaslim, taipan yang berkecimpung di dunia pertambangan dan perkebunan sawit.

Pada akta perusahaan tahun 2014, tak ada lagi jajaran petinggi perusahaan yang berdomisili di Malaysia, seperti dicatat pada akta tahun-tahun sebelumnya. Semua petinggi yang disebut dalam akta berdomisili di Indonesia. Ada nama Alexander yang duduk di kursi komisaris. Sementara itu, ada Ganda yang duduk di kursi komisaris utama dan Andy Indigo di kursi direktur utama. Ganda tak lain adalah saudara Martua Sitorus, dedengkot Wilmar International, sedangkan Andy adalah putra Ganda.

Setelah perusahaan beralih kepemilikan, perusahaan tersebut kerap menjadi sorotan. Pada 2018, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) mempermasalahkan PT THIP yang dituding mencaplok kawasan hutan ke dalam areal konsesinya. Dari total 79.664 hektare luas konsesi, sebanyak 2.101 hektare ada di kawasan hutan dengan fungsi Hutan Produksi Tetap.

Sementara itu, pada 2019 PT THIP juga sempat disegel, lantaran diduga terlibat dalam kebakaran hutan di Riau yang sempat menjadi perhatian nasional. Setelah penyegelan, tidak disebut PT THIP terlibat dalam kebakaran.

Mengincar Keuntungan Maksimal

Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan Lembaga Tabung Haji Malaysia memang berbeda dengan BPKH di dalam negeri. Menurutnya, Lembaga Tabung Haji Malaysia benar-benar mencari peluang demi dapat mendatangkan keuntungan.

“Model dana tabung haji di malaysia itu jangankan investasi di sawit, dia punya hotel, dan punya apartemen banyak di Australia,” kata Bhima.

Di satu sisi, menurut Bhima lahan Indonesia menjadi lahan yang menggiurkan bagi mereka. “Yang diincar adalah Indonesia, karena lahannya masih banyak, kemudian, regulasi tidak seketat di Malaysia, dan ini yang membuat mereka tertarik, kuncinya sih begitu, mereka mencari return yang lebih tinggi,” kata Bhima.

Manajer Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas mengatakan badan usaha, perkebunan sawit seharusnya punya komitmen penuh kepada komitmen No Deforestation, No Development on Peat and No Exploitation (NDPE) atau tidak untuk deforestasi, pembangunan di lahan gambut, dan juga eksploitasi terhadap pekerja dan warga lokal.

Terlebih lagi, menurut Arie perusahaan-perusahaan yang terkoneksi dengan dana haji, seharusnya memiliki komitmen lebih terhadap isu kelestarian. “Apalagi lembaga tabung haji ini kan berkaitan dengan dana-dana haji, dana-dana umat yang memang memiliki prinsip tidak merusak bumi,” kata Arie.

Liputan ini adalah kolaborasi Tirto.id dan media lingkungan Betahita

Baca juga artikel terkait LAHAN SAWIT atau tulisan lainnya dari Johanes Hutabarat

tirto.id - Indepth
Reporter: Johanes Hutabarat
Penulis: Johanes Hutabarat
Editor: Adi Renaldi