tirto.id - Perkembangan teknologi yang kian pesat berpengaruh pada hampir seluruh lapisan industri yang berkembang sejak awal abad ke-20. Dalam dunia audio-visual, perubahan signifikan bisa dilihat dari evolusi alat-alat perekam gambar dalam bentuk kamera konvensional.
Ketika teknologi digital mengambil peran besar dalam dunia fotografi, produsen kamera beramai-ramai mengalihkan segenap tenaga riset mereka untuk menciptakan kamera digital yang paling ideal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pada 1988, kamera digital pertama lahir di gelaran Photokina. Kala itu, Fujifilm memperkenalkan produk teranyar mereka FUJIX-DS1P yang merupakan kamera digital pertama yang bisa menyimpan hingga 10 foto di dalam kartu memori.
Setahun kemudian, FUJI DS-X menjadi kamera digital pertama yang diproduksi untuk keperluan komersial. Teknologi kartu memori pun berkembang dari semula hanya 2 MB menjadi 40 MB pada 1996.
Meski hingga kini kamera digital terus berkembang pesat dengan teknologi yang sangat maju, peran kamera analog konvensional rupanya masih banyak digemari. Bahkan, beberapa komunitas fotografi yang muncul justru sengaja hanya menggunakan kamera analog untuk mengambil gambar.
Berbagai alasan seperti romantisme masa lampau, hingga kualitas foto yang tinggi yang hanya bisa dihasilkan oleh kamera analog menjadikan komunitas-komunitas itu tumbuh subur di tengah gempuran teknologi kamera digital yang dianggap jauh lebih mahal.
Batu loncatan penting dalam sejarah kamera analog terjadi pada 1913 ketika Oskar Barnack, fotografer Jerman yang juga teknisi, memperkenalkan hasil kreasinya berupa kamera dengan format 35 mm.
Kala itu, kamera yang digunakan secara luas adalah kamera-kamera berukuran besar yang memerlukan kaki penyangga dan relatif cukup berat. Barnack yang punya penyakit asma tidak sanggup membopong kamera besar itu ke jalan-jalan.
“Leica diperkenalkan pada 1925, yang mengambil model kamera Barnack, merupakan kamera komersial pertama yang sukses dengan ukuran kecil, cepat, dan mudah beradaptasi pada berbagai kondisi cahaya,” tulis Naomi Rosenblum dalam A World History of Photography (1997:625)
Usaha Barnack berhasil menyita perhatian publik fotografi secara luas. Tak hanya para fotografer, pabrik-pabrik kamera pun mulai ikut berkonsentrasi menghasilkan kamera kecil yang mudah dibawa ke mana-mana. Tak sedikit pula produsen kamera meniru kamera Barnack secara persis.
Di Jepang, salah satu produsen yang menghasilkan kamera dengan format 35mm yang terbaik adalah Nichi-Doku Shashinki Shoten, yang di kemudian hari dikenal dengan nama Minolta.
Perusahaan ini didirikan pada 1928 ketika Kazuo Tashima memberinya nama yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai Japan-German Camera Company. Tak lama setelah didirikan, Tashima merilis produk pertamanya Nifcallete yang merupakan kamera dengan format 40 x 65mm.
Sesuai dengan nama perusahaannya, bahan-bahan produksi tidak seluruhnya berasal dari Jepang. Bahkan, Tashima masih sangat mengandalkan lensa dan diafragma kamera yang diproduksi di Jerman.
Kamera pertama itu tidak membuat Tashima puas. Meski kualitasnya cukup baik, ia tidak menghendaki harga kameranya mahal karena sejak awal ia ingin membuat kamera dengan harga terjangkau untuk para fotografer amatir.
Akhirnya, setelah memproduksi kamera itu, Tashima mulai berkonsentrasi untuk menggunakan bahan-bahan yang sepenuhnya dibuat di Jepang. Ia bahkan mengubah nama perusahaannya menjadi Chiyoda Kogaku Seiko dan membuat kamera twin-lens reflect (TLR) pertama yang disebut MinoltaFlex dan seluruhnya dibuat di Jepang.
Akan tetapi, inspirasi kamera itu sebenarnya datang dari Rolleiflex, yang merupakan produksi Jerman.
Nama Minolta mulai diperkenalkan pada 1931 dan didaftarkan pada 1933 untuk menggantikan nama perusahaan yang cukup panjang. Minolta merupakan akronim dari bahasa Inggris Mechanism, Instruments, Optics and Lenses by Tashima.
Bisnis Laris Menjelang Perang Dunia II
Selain berkonsentrasi menciptakan kamera-kamera terbaik, Minolta juga menggagas proyek pembuatan barang-barang optik lain seperti lensa, teleskop, dan lain-lain. Belakangan, mereka mendirikan anak perusahaan Nippon Kogaku Kikai Kenkyujo, institut penelitian optik mekanikal di kota Amagasaki.
Setelah pabrik di Amagasaki, Minolta kembali membuka pabrik ketiga mereka di kota Sakai. Perusahaan inilah yang menjadi andalan mereka untuk memproduksi kamera-kamera canggih yang lebih mahal.
Selain Minoltaflex, ada juga Minolta Semi-auto yang merupakan kamera Jepang pertama yang diproduksi secara serial. Menjelang Perang Dunia II, mereka kembali membuka pabrik di Komatsu yang khusus memproduksi peralatan mesin optikal.
Tak seperti kebanyakan bisnis lain di era Perang Dunia II, Minolta justru tetap bertahan di masa menjelang peperangan. Lensa Rokkor dibuat pada 1940 untuk keperluan militer, kamera genggam untuk keperluan pengintaian udara juga dibuat di periode yang sama.
Bahkan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang sempat meminta mereka membuka pabrik peleburan kaca. Perlahan, seluruh pabrik Minolta akhirnya dikonsentrasikan untuk memproduksi alat-alat kebutuhan militer.
Karena kesibukan di masa perang itu, produksi kamera untuk kebutuhan sipil sempat terhenti. Baru pada 1943 mereka mengakuisisi pabrik Fujimoto dan menjadikannya pabrik Minolta di Nishinomiya.
Diakuisisi Sony
Usai perang, Minolta mengalami kesulitan keuangan. Meski demikian, niat awal Tashima memproduksi kamera berkualitas tinggi dengan harga terjangkau tidak pernah surut.
Ia membuktikannya dengan menolak tawaran menjadikan Minolta anak perusahaan yang lebih mapan dan justru memproduksi Semi Minolta III yang dilengkapi dengan lensa Rokkor 75/3.5, lensa berlapis buatan Jepang pertama yang dipasarkan untuk masyarakat umum.
Pada 1954 ia menggagas misi komersial ke Amerika Serikat. Tujuannya untuk mempromosikan kamera buatan Jepang agar mendapat perhatian dunia. Upaya ini adalah upaya komersial pertama yang dilakukan oleh pabrikan kamera asal Jepang
Akhirnya salah satu inovasi terbaik yang dilakukan Minolta adalah ketika mereka membuat kamera lensa tunggal dengan sistem fokus otomatis pertama di dunia.
Dengan sistem itu, pengaturan kamera menggunakan prinsip standar PASM yang merupakan singkatan dari Program, Aperture Priority, Shutter priority, dan Manual. Hingga kini, inovasi itu masih digunakan bahkan oleh sistem di kamera digital yang modern.
Di era digital, Minolta tak sanggup bersaing. Awal kejatuhan popularitas Minolta terjadi sejak Tashima meninggal dunia pada 1985.
Meski sempat bersaing dengan merek-merek kamera Jepang lainnya seperti Nikon dan Canon, Minolta akhirnya harus bergabung dengan perusahaan Konica untuk menjaga keberlangsungan bisnisnya.
Perusahaan gabungan ini diberi nama Konica Minolta, yang bertahan hingga 2006 sebelum akhirnya diakuisisi Sony. Hingga kiwari, Konica Minolta lebih berkonsentrasi memproduksi mesin-mesin perkantoran, sementara Sony bertahan di jajaran puncak persaingan bisnis kamera digital dunia.
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Irfan Teguh Pribadi