tirto.id - Capres nomor urut 02, Prabowo Subianto berjanji akan menurunkan tarif listrik bila terpilih sebagai presiden di Pilpres 2019. Hal itu ia sampaikan dalam penjabaran visi misi saat debat kedua, di Hotel Sultan, Jakarta, pada 17 Februari 2019.
“Kalau berkuasa nanti insyaallah akan menjamin pangan tersedia dengan harga terjangkau untuk seluruh rakyat Indonesia. Kami akan menjamin produsen, petani, nelayan harus mendapat imbalan penghasilan yang memadai [...] Kami juga akan segera turunkan harga listrik,” kata Prabowo.
Soal tarif dasar listrik ini juga pernah diungkapkan Sandiaga Uno saat kampanye, di Jawa Barat, 22 Januari 2019. Kepada warga Telagamurni, Bekasi, ia berjanji akan menurunkan harga BBM dan tarif dasar listrik (TDL).
Janji yang diungkapkan Prabowo maupun Sandiaga itu memang menjadi angin surga dan populis di mata publik. Sebab, jika janji itu bisa terealisasi, maka beban biaya listrik bulanan masyarakat akan berkurang.
Namun, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Imaduddin Abdullah menilai tak mudah bagi pasangan Prabowo-Sandiaga mewujudkan janji itu. Sebab, penentuan TDL ini terkait dengan kurs rupiah terhadap dolar dan fluktuasi harga minyak dunia.
“Pada intinya, keputusan untuk menurunkan atau tidak menurunkan tarif listrik sangat bergantung dari harga minyak global dan kurs rupiah. Kalau kedua faktor tersebut melebih asumsi, maka keputusan untuk menurunkan tarif listrik akan sulit dan akan memberatkan APBN dan keuangan PLN,” kata dia.
Imaduddin menjelaskan, terlepas dari siapa pun presidennya, penurunan tarif dasar listrik tetap harus mempertimbangkan kondisi keuangan PLN sebagai badan usaha yang mendapat penugasan.
Sebab, kata dia, menurunkan tarif listrik tanpa mempertimbangkan kondisi keuangan perusahaan listrik pelat merah ini sama saja “membunuh” perusahaan secara perlahan-lahan.
Pernyataan Imaduddin ini tentu tidak berlebihan bila melihat laporan keuangan PLN. Berdasarkan data yang telah dipublikasikan di laman Bursa Efek Indonesia (BEI), sepanjang semester I-2018, PLN telah mencatatkan kerugian sebesar Rp5,35 triliun.
Kerugian tersebut akibat meningkatnya beban usaha yang ditanggung oleh PLN. Beban usaha perusahaan pelat merah ini menanjak dari Rp130,25 triliun di semester I-2017 menjadi Rp142,42 triliun pada semester I-2018.
Apabila penurunan tarif tetap dipaksakan, kata Imaduddin, maka konsekuensi terbesar adalah meningkatnya beban anggaran subsidi dalam APBN.
“Jika pemerintah memutuskan menurunkan tarif listrik, maka akan meningkatkan subsidi listrik. Dalam APBN 2019, ditetapkan subsidi listrik sebesar Rp59,3 triliun dan diperkirakan akan meningkat bila di saat yang bersamaaan harga minyak dunia dan kurs rupiah lebih besar dari asumsi RAPBN,” kata Imaduddin.
Tim Prabowo Tak Mau Jelaskan Strateginya
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IREES), Marwan Batubara menilai tarif listrik murah bagi masyarakat bisa dilakukan bila pemerintah menghendakinya. Caranya adalah dengan menambah anggaran subsidi di APBN.
“Bisa saja [tarif dasar listrik turun] kalau memang pemerintah merasa ini bisa untuk disubsidi,” kata Marwan.
Lantas, bagaimana strategi Prabowo-Sandiaga menurunkan tarif listrik tanpa membebani keuangan PLN dan APBN?
Juru Debat BPN Prabowo-Sandiaga yang membidangi energi, Ramson Siagian saat dikonfirmasi reporter Tirto, Selasa (19/2/2019) hanya menjawab singkat.
“Kalau saya buka sekarang, nanti Jokowi langsung laksanakan sebelum 17 April 2019,” kata anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Gerindra ini.
Ramson enggan membocorkan strategi pasangan Prabowo-Sandiaga soal janji menurunkan tarif dasar listrik ini. Ia hanya memastikan janji yang diucapkan Prabowo saat debat capres jilid II itu bisa direalisasikan dalam kurun dua bulan usai terpilih.
“September-November harus dilaksanakan,” kata Ramson.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz