tirto.id - Banyak cara dilakukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk menggaet suara pemilih di Pemilu 2019, pada April mendatang. Salah satunya, pada 21 Februari lalu, Sekretaris DPP PKS Handi Riszha sesumbar partainya bakal memperjuangkan kenaikan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi Rp8 juta.
Dengan demikian, pekerja bergaji di bawah Rp8 juta tidak akan kena pajak penghasilan (PPh). Partai besutan Sohibul Iman itu berdalih, pajak nol persen bagi para pekerja tersebut dapat menjadi stimulus bagi daya beli masyarakat yang melemah.
Menurut Risza, hal ini tak akan mengganggu penerimaan negara, karena efek yang bisa terjadi justru sebaliknya: daya beli meningkat, dan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) akan bertambah.
“Kami harapkan kompensasi dari pajak itu bisa bikin mereka bisa membeli rumah, bisa membeli kendaraan, bisa investasi dengan lebih baik. Dan itu juga akan meng-upgrade pajak-pajak yang lain sehingga stimulus ekonomi akan bisa berjalan,” kata dia.
Jika mengacu pada survei Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Bank Indonesia, maka isu pelemahan daya beli yang menjadi musabab dikeluarkannya janji tersebut sebenarnya bisa diuji.
Survei yang dilakukan pada Februari 2019 itu menunjukkan IKK mengalami penurunan ke angka 125,1 poin atau melemah sebesar 0,32 persen dibanding Januari yang berada di angka 125,5 poin. Penurunan itu terutama terjadi pada responden berpenghasilan Rp4,1-5 juta per bulan dengan rentang usia 20 hingga 40 tahun.
Indeks Kondisi Ekonomi pada periode Februari juga menurun ke angka 109,4 atau lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang berada di angka 110,3 poin. Penurunan optimisme konsumen terhadap ekonomi ini terjadi hampir di semua indikator, mulai dari ketersediaan lapangan kerja hingga pembelian barang tahan lama.
Peneliti dari Institute for Development of Economies and Finance (Indef) Bhima Yudisthira mengatakan, hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat kelas menengah ke atas memang masih menahan belanjanya.
Masyarakat pada rentang usia 20-40 tahun, menurut Bhima, akan menempatkan dananya pada investasi jangka panjang karena khawatir perusahaan melakukan efisiensi saat ekspor turun dan daya beli melemah.
"Porsi penempatan dana masyarakat di emas naik. Ini juga menunjukkan kelas menengah atas bermain aman karena emas safe haven. Aset aman di kala sinyal adanya kelesuan ekonomi,” kata Bhima menambahkan.
Namun demikian, kata Bhima, tawaran untuk menaikkan PTKP yang dijanjikan PKS itu kurang realistis. Sebab, kata dia, jika PTKP dinaikkan, maka akan ada potential loss pajak.
“Sementara APBN masih defisit dan kita mau kejar rasio pajak tinggi. Kecuali PKS bisa tawarkan pengganti pajak penghasilan yang hilang itu dari mana,” kata dia.
Kontradiktif dan Tak Menyelesaikan Persoalan
Hal senada diungkapkan peneliti perpajakan dari Indef, Mohammad Reza Akbar. Ia mengatakan bahwa solusi membebaskan pajak penghasilan untuk masyarakat berpenghasilan hingga Rp8 juta tak serta-merta menyelesaikan persoalan.
Alasannya, kata Reza, penghapusan pajak belum tentu bisa menjadi stimulus bagi daya beli. Dalam hal ini, kata dia, seharusnya PKS lebih memikirkan bagaimana pendapatan pajak dapat meningkat dan bisa terdistribusi dalam bentuk program yang dirasakan masyarakat kecil.
Apalagi, kata Reza, rasio pajak Indonesia masih sangat rendah. Hal ini tentu saja juga dipengaruhi oleh kurangnya penerimaan pajak.
“Basis pajak kita, kan, masih rendah. Seharusnya memang basis pajak yang sudah punya penghasilan yang harus masuk ke dalam pajak. Kalau untuk stimulus, kan, pajak UMKM udah turun 0,5 persen,” kata Reza.
Reza justru menyarankan agar PKS lebih menawarkan kebijakan pajak yang tidak sekadar populis, memainkan sentimen, dan asal beda. Melainkan, kata dia, masuk ke dalam problem empirik secara detail dan mendalam.
Sebab, kata Reza, batas PTKP yang ditetapkan pemerintah saat ini sudah cukup tinggi, yakni Rp4,5 juta. Hal ini membuat PTKP di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara.
Jika besaran PTKP dibandingkan dengan pendapatan per kapita, maka akan diperoleh persentase Vietnam sebesar 35,7%, Indonesia 30,8%, Thailand 23,8%, Singapura 17,1%, dan Malaysia 3,8%.
"Batasan PTKP itu saja, kan, sudah cukup tinggi. Makannya kalau ada perubahan PTKP lagi harus ditinjau dulu dari segi makro dan potensi penerimaan dan potensi kehilangan pendapatan,” kara Reza menambahkan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Hestu Yoga Saksama enggan mengomentari janji yang diumbar oleh partai berlambang padi dan bulan sabit tersebut.
Namun yang jelas, kata dia, pemerintah akan terus fokus untuk mendorong kepatuhan wajib pajak guna mendorong peningkatan penerimaan negara.
“Kalau wajib pajak taat, pendapatan meningkat, yang merasakan bukan cuma kelas menengah, tapi seluruh lapisan masyarakat,” kata Hestu.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz