Menuju konten utama

Jangan Menenggak Obat Kedaluwarsa, apalagi Obat Palsu

Secara umum, obat kedaluwarsa masih bisa dikonsumsi hingga satu dekade pasca-tanggal kedaluwarsa.

Jangan Menenggak Obat Kedaluwarsa, apalagi Obat Palsu
Petugas Satuan Reserse Narkoba Polres Bogor memeriksa kosmetik dan obat-obatan berbahaya dan yang telah melewati kadaluarsa di Cibinong, Bogor, Jabar, Senin (14/9). ANTARA FOTO/Jafkhairi

tirto.id - Peredaran obat palsu menjadi masalah serius tak hanya di Indonesia, tapi juga global. Laporan yang dikumpulkan oleh WHO menyebut pemalsuan obat merata jenisnya, mulai dari obat kanker hingga kontrasepsi, obat mahal, merek terkenal, paten, maupun generik.

Di Indonesia, kasus pemalsuan obat sudah berkali-kali terjadi. Yang baru saja tertangkap, Direktur PT Jaya Karunia Investindo (JKI), Alfons Fitzgerald Arif Prayitno (52) melakukan praktik tersebut dengan keuntungan hingga Rp400 juta per bulan. Obat palsu bikinan PT JKI dibalut trik mengemas ulang produk generik ke paten.

Padahal, posisi PT JKI hanya sebagai distributor farmasi. Mereka tak memiliki izin sebagai industri farmasi. Selain memalsukan obat, PT JKI juga menjual obat-obat yang sudah lewat tiga tahun masa kedaluwarsa. Modus kejahatan mereka dilakukan dengan cara menempel merek, dus, brosur tata cara pakai, menutup kemasan dengan stiker, dan hologram palsu, serta merekayasa tanggal kedaluwarsa obat.

“Obat tersebut didistribusikan ke-197 apotek di wilayah Semarang dan Jakarta,” terang Direktur Dit Tipidter Bareskrim Polri Brigjen Pol Fadil Imran.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh WHO, diperkirakan 1 dari 10 produk medis yang beredar di negara berpenghasilan rendah dan menengah merupakan produk yang dipalsukan. Obat-obatan yang tidak memenuhi standar produksi tersebut bisa membikin beragam dampak kesehatan fatal, mulai dari keracunan, penyakit bertambah serius, perlu perawatan lebih lama dan biaya kesehatan yang semakin mahal, kegagalan pengobatan, antimikrobial resisten (AMR), hingga kematian.

“Obat yang dipalsukan menambah tren buruk obat-obatan yang kehilangan khasiat dalam mengobati penyakit,” kata dr. Mariângela Simão, Asisten Direktur Jenderal Akses Obat-obatan, Vaksin dan Farmasi di WHO.

Dari 10 persen dari kasus pemalsuan obat, termasuk antibiotik, Universitas Edinburgh memperkirakan ada 72-169 ribu anak meninggal setiap tahun akibat pneumonia. Sementara London School of Hygiene and Tropical Medicine memperkirakan rata-rata ada 116 kematian (rentang angka 64-158 ribu) tambahan akibat malaria, yang dipicu obat antimalaria palsu di Afrika sub-Sahara.

Kerugian itu belum termasuk konversi biaya kesehatan tingkat lanjut akibat kegagalan pengobatan sebesar USD 38,5 juta (21,4 juta - 52,4 juta). Sejak 2013 (laporan WHO rilis 2017), Badan Kesehatan Dunia telah menerima 1.500 laporan obat palsu. Dari jumlah tersebut, kasus terbanyak adalah obat antimalaria dan antibiotik. Sebagian besar kasus, sebanyak 42 persen adalah laporan dari WHO Afrika, 21 persen WHO Amerika, dan 21 persen WHO Eropa.

WHO wilayah Pasifik Barat hanya melaporkan 8 persen kasus, lalu WHO Mediterania Timur sebanyak 6 persen kasus. Sementara untuk wilayah Asia Tenggara—yang di dalamnya memuat Indonesia—laporan kasus pemalsuan obat termasuk dalam skala kecil, yakni hanya sekitar 2 persen dari kasus total. Artinya,dari 11 negara di wilayah tersebut hanya ada 30 kasus dilaporkan kepada WHO.

“Obat palsu cenderung beredar di wilayah yang punya peraturan dan tata kelola tidak memadai. Model transaksi daring, contohnya,” tulis WHO dalam laporannya.

Obat-obatan Kedaluwarsa

Merujuk pada beberapa literatur, termasuk situs resmi Harvard, secara umum, obat yang telah kedaluwarsa masih aman dikonsumsi. Tanggal kedaluwarsa obat dibuat sebagai batas waktu produsen menjamin penuh keamanan dan khasiat obat. Meski efektivitas obat dapat menurun seiring waktu, tetapi banyak tipe obat yang khasiat dasarnya bertahan, bahkan hingga satu dekade setelah tanggal kedaluwarsa.

Penelitian yang dilakukan oleh badan keamanan pangan Amerika (FDA) mendukung pernyataan itu. Mereka menyimpulkan dari 100 obat yang beredar, baik yang diresepkan maupun dijual bebas, lebih dari 90 persennya sangat layak digunakan, meski telah 15 tahun melebihi tanggal kedaluwarsa. Namun, obat-obatan ini tidak termasuk nitrogliserin, insulin, dan antibiotik cair.

Infografik obat kedaluarsa

Infografik obat kedaluarsa. tirto.id/Fuad

“Menempatkan obat di tempat yang dingin, seperti lemari es, membantu obat tetap manjur bertahun-tahun,” demikian Harvard melaporkan.

Obat yang paling stabil mempertahankan khasiatnya meski telah kedaluwarsa adalah sediaan padat, seperti tablet dan kapsul. Namun, obat berbentuk larutan atau sebagai suspensi yang dilarutkan kemungkinan besar hilang khasiatnya ketika melewati masa kedaluwarsa. Fakta tersebut dipacak laman drugs.com yang menyediakan informasi lebih dari 24 ribu obat di dunia.

Namun, tentu saja fakta ini tidak mengugurkan efek kesehatan yang mungkin ditimbulkan dari obat kedaluwarsa yang diproduksi PT JKI. Sebabnya, mereka mengemas ulang produk kedaluarsa generik menjadi obat paten. Meski komposisi dasar antara obat generik dan paten sama, tetapi siapa yang bisa memastikan mereka mengemas dengan dosis dan jenis obat tepat untuk penyakit yang sama.

Selain itu, WHO juga menyarankan agar masyarakat tidak mengambil risiko mengonsumsi produk obat yang sudah kedaluwarsa. Selain mungkin pruduk obat yang terbaru memiliki formula yang lebih ampuh, perubahan fisik obat juga membikin efektivitas obat berkurang. WHO merekomendasikan obat-obatan yang telah melewati tanggal kedaluwarsa untuk dibuang dan tak boleh lagi didistribusikan.

Baca juga artikel terkait OBAT GENERIK atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Mild report
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani