Menuju konten utama

Jalan Panjang Regulasi Minuman Alkohol: Dari Soeharto Sampai Jokowi

Regulasi minol sudah ada sejak era Suharto, dan terus dimodifikasi hingga kini.

Jalan Panjang Regulasi Minuman Alkohol: Dari Soeharto Sampai Jokowi
Petugas kepolisian menyusun beberapa botol minuman beralkohol dari berbagai merek saat pengungkapan kasus penyelundupan minuman beralkohol Golongan C di Mapolda Jambi, Jumat (29/12/2017). ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan

tirto.id - Pemerintah dan DPR terus menggodok berbagai rancangan undang-undang di tengah pandemi COVID-19. Beberapa di antaranya kontroversial atau setidaknya mendapat sorotan dari masyarakat. Salah satu yang terbaru adalah RUU Minuman Beralkohol yang beberapa hari lalu drafnya beredar di media sosial.

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Achmad Baidowi mengatakan rancangan beleid itu telah masuk dalam program legislasi nasional prioritas 2020-2024. Baidowi mengatakan partai pengusulnya ada tiga, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Tangkapan layar yang beredar di media sosial itu berasal dari draf tahun 2015, katanya. "Sejauh ini pengusul belum mengajukan draf RUU-nya ke Baleg untuk diharmonisasi," kata dia kepada wartawan, kemarin lusa (11/6/2020).

Baidowi, politikus dari PPP, mengatakan partainya dan dua partai lain mengusulkan peraturan ini "untuk meminimalisasi dampak buruk dari minol."

Jalan Panjang

Peraturan tentang minuman beralkohol atau minol sudah ada di era Soeharto, yaitu Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Beleid ini membagi minol dalam 3 golongan. Golongan A yakni minol yang beretanol 1-5 persen; golongan B dengan kandungan etanol 5-20 persen; dan golongan C dengan kandungan etanol 20-55 persen.

Pasal 2 ayat 2 beleid itu menyebut minol merupakan barang yang produksi, peredaran, dan penjualannya ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan. Produksi hanya bisa dilakukan dengan izin Menteri Perindustrian; penjualannya pun dibatasi hanya di hotel, bar, restoran, dan tempat lain yang ditetapkan gubernur. Aturan ini pun melarang produksi secara tradisional kecuali untuk keperluan masyarakat sesuai adat setempat setelah mendapat izin bupati/wali kota.

Pada kurun waktu 2010-2012, aturan ini menuai banyak protes termasuk dari kepala daerah dan organisasi masyarakat.

Wali Kota Bandung saat itu, Dada Rosada, protes dengan cara mengeluarkan peraturan tersendiri soal minol, yaitu Peraturan Daerah tentang Pelarangan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol pada 30 Desember 2020. Salah satu poinnya yaitu membatasi peredaran minol segala golongan hanya pada hotel bintang 3 sampai 5 dan tempat hiburan. Hal ini bertentangan dengan keppres yang membebaskan peredaran minol golongan A. Menteri Dalam Negeri saat itu Gamawan Fauzi bahkan turun tangan dengan melayangkan surat 188.34/1128/SJ tertanggal 31 Maret 2011 untuk meminta klarifikasi kepada sang wali kota.

Pada 2012, Front Pembela Islam (FPI) mengajukan uji materiil atas Keppres 3 tahun 1997 dan memohon aturan itu dibatalkan. Mahkamah akhirnya mengabulkan permohonan itu pada 18 Juni 2013 dengan pertimbangan sejumlah aturan yang dijadikan dasar keppres sudah tidak berlaku. Selain itu, keppres itu juga dinilai bertentangan dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan, UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU 7/96 tentang Pangan.

Menindaklanjuti putusan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) 74 tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Berbeda dengan aturan sebelumnya, kali ini seluruh minuman beralkohol mulai dari golongan A sampai C ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan. Dengan demikian, minol golongan A yang semula dijual bebas kini turut dibatasi hanya di hotel, bar, restoran tertentu, toko bebas bea, dan tempat yang ditetapkan bupati/wali kota dan gubernur untuk DKI Jakarta.

Pasal 7 ayat 4 aturan ini pun memberikan kewenangan bagi wali kota/bupati dan gubernur DKI Jakarta untuk melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap minol berdasarkan karakteristik dan budaya lokal. Kepala daerah juga berwenang untuk mengendalikan produksi dan peredaran minuman beralkohol tradisional.

Lalu apa yang diatur dalam RUU Minuman Beralkohol saat ini?

Dalam bagian penjelasan umum, pengusul RUU ini mengatakan bahwa minol berbahaya bagi kesehatan khususnya kemampuan otak. Minol juga dianggap mendorong kejahatan. Selain itu, pengusul menilai minol tidak sesuai dengan norma agama dan "jiwa bangsa Indonesia yang religius."

Atas dasar itu, pasal 5 rancangan beleid ini melarang tegas produksi minol semua golongan, termasuk minol tradisional dan minol campuran. Pada bab penjelasan dikatakan, yang dimaksud alkohol tradisional termasuk sopi, bobo, balo, tuak, arak, saguer, atau dengan nama lain.

Pasal 6 mengatur larangan untuk memasukkan, menyimpan, mengedarkan dan atau menjual seluruh minol, sementara pasal 7 mengatur larangan konsumsi.

Meski begitu, pasal 8 memberi pengecualian mengonsumsi minol untuk kepentingan terbatas, antara lain kepentingan adat, ritual keagamaan, farmasi, serta wisatawan dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam bagian penjelasan, yang dimaksud "tempat-tempat yang diiizinkan" di antaranya adalah hotel bintang 5. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam Perpres 74/2013 yang mengizinkan seluruh hotel menjual minol.

RUU ini pun membolehkan minol dijual di restoran dengan tanda talam kencana dan talam selaka--dua kelas tertinggi restoran. Restoran tanda talam kencana ditandai dengan piagam sendok garpu berwarna emas sementara restoran tanda selam selaka ditandai dengan piagam sendok garpu berwarna perak. Ketentuan itu berbeda dengan Perpres 74/2013 yang mengizinkan restoran yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan bidang kepariwisataan.

Selain itu, lokasi lain yang dibolehkan menjual minol adalah bar, pub, klub malam, dan toko khusus penjualan minol.

RUU ini juga melucuti kewenangan pemerintah daerah untuk mengendalikan peredaran minol sesuai karakteristik daerahnya, termasuk kewenangan menentukan lokasi lain yang diperkenankan untuk menjual minol. Di dalam rancangan ini, pemda cuma berwenang melakukan pengawasan terhadap produksi, peredaran, dan konsumsi minol bersama pemerintah pusat. Untuk fungsi ini, pengawasan oleh pemda dilakukan oleh tim terpadu yang paling sedikit terdiri dari perangkat daerah bidang perindustrian, perdagangan, BPOM, polri, kejaksaan, dan tokoh agama.

Baca juga artikel terkait MINUMAN BERALKOHOL atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino