tirto.id - Pernah melihat orang mabuk yang bicara serampangan? Atau Anda salah satunya?
Berbagai riset menunjukkan kadar alkohol yang berlebihan dalam darah bisa melahirkan situasi orang berbicara melantur. Namun, dalam jumlah yang lebih sedikit, Anda justru bisa mendapat keuntungan unik: lebih lancar berbahasa asing.
Pada Oktober tahun lalu riset terkait topik ini dipublikasikan di Journal of Psychopharmacology. Fritz Renner dari Maastricht University di Jerman berkolaborasi dengan tiga peneliti lain: Inge Kersbergen dan Matt Field dari University of Liverpool, serta Jessica Werthmann dari Kings College of London.
Mengutip Time, Renner dan kawan-kawan mengumpulkan 50 mahasiswa Maastricht University sebagai responden. Para responden punya dua karakteristik utama. Pertama ke-50 mahasiswa itu adalah peminum minuman beralkohol. Ada yang tipikal agak berat, sampai yang sesekali saja. Kedua, mereka adalah penutur Bahasa Jerman asli tapi sudah lulus tes ujian Bahasa Belanda.
Maastricht University berada di perbatasan Jerman dan Belanda. Warganya banyak yang memakai bahasa Belanda, dan beberapa kelas di Maastricht University juga ada yang memakai pengantar bahasa Belanda.
Responden dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diminta meminum minuman beralkohol. Dosisnya tidak banyak. Setara dengan satu gelas kecil bir. Kelompok kedua diberi air mineral. Mereka kemudian diajak mengobrol kasual selama dua menit dalam Bahasa Belanda.
Seluruh percakapan direkam. Rekaman kemudian dinilai oleh dua orang penutur Bahasa Belanda asli. Dua penilai ini tidak diberi tahu responden yang dinilai masuk kelompok minuman apa. Mereka menilai secara acak agar lebih objektif.
Responden juga diminta untuk menilai penampilan dirinya sendiri. Khusus untuk ini, hasilnya menunjukkan para responden kedua kelompok sama-sama percaya diri telah mengobrol dalam bahasa asing yang cukup baik selama dua menit.
Hasilnya berbeda di mata dua penilai asal Belanda. Mereka menemukan secara umum responden dari kelompok peminum minuman keras mampu berbicara bahasa asing (Belanda) dengan lebih baik—terutama untuk segi pengucapan (pronunciation).
Mengapa? Renner dan kawan-kawan menyatakan alkohol berdosis rendah bisa mengurangi rasa cemas seseorang saat harus berbahasa asing. Kecemasan ini wajar dialami terutama oleh orang yang masih belajar atau belum 100 persen lancar berbahasa asing.
Kecemasan tersebut kerap menjadikan seseorang kehilangan kata-kata—meski mereka sudah belajar secara maksimal di waktu-waktu sebelum obrolan berlangsung. Dalam banyak kasus, kecemasan yang merusak percakapan berpengaruh terhadap rasa percaya diri si penutur.
Kesimpulan Renner dan kawan-kawan menyebutkan “penutur bisa berbicara lebih lancar dalam bahasa asing setelah meminum sedikit alkohol”. Mereka memberi penekanan yang tegas pada dosis, sebab konsumsi alkohol dalam jumlah tinggi kemungkinan akan berdampak sebaliknya.
Hal ini bisa Anda perhatikan sendiri dari betapa serampangannya omongan seorang saat sedang mabuk berat, dalam bahasa sehari-harinya, maupun dalam bahasa asing. Renner dan kawan-kawannya menuliskannya di bagian kesimpulan sebagai “slurred speech”.
Catatan penting lain menurut hasil riset ini yakni konsumsi minuman beralkohol dalam dosis rendah tidak mempengaruhi tata bahasa, kosakata, dan kualitas argumentasi. Skor responden di kedua kelompok tercatat serupa.
Renner dan kawan-kawan mengakui risetnya tidak sempurna. Misalnya, karena responden tahu mereka meminum alkohol, belum bisa dipastikan apakah perbaikan kemampuan bicara bahasa asing mereka dikarenakan efek alkohol secara biologis atau psikologis.
“Penelitian lanjutan untuk topik ini mesti mencangkup kondisi plasebo alkohol untuk menguraikan dampak relatif farmakologis versus efek harapan,” tulis mereka, masih merujuk Time.
Meski demikian, Renner dan kawan-kawan percaya diri akan satu hal: efek alkohol pada kelancaran bahasa asing berlaku luas. Artinya tidak hanya berpengaruh pada penutur Jerman asli atau orang yang sedang belajar bahasa Belanda saja.
Poin pokoknya kembali kepada kemampuan alkohol dosis rendah dalam mengikis rasa cemas. Jadi, efeknya akan berlaku bagi Anda, misalnya, penutur bahasa Indonesia yang mesti bercakap-cakap dengan orang Inggris di masa Anda masih dalam tahap belajar.
Setidaknya ada satu riset yang menguatkan teori tersebut. Penelitinya adalah Alexander Z. Guiora dan kawan-kawan dari Michigan University. Mereka mempublikasikannya di Jurnal Comprehensive Psychiatry edisi September-Oktober 1972.
Temuan Guiora dan kawan-kawan menjadi bagian dalam riset yang lebih luas untuk menggali topik tentang empati. Empati ini bisa digali dengan menempatkan diri dalam identitas orang lain. Dalam bahasa ala motivator: mencoba menempatkan kaki di sepatu orang lain.
Untuk belajar bahasa kedua, kata Guiora, seseorang mesti masuk ke dalam identitas kedua pula. Identitas, selayaknya bahasa, sama-sama produk kebudayaan. Orang bisa secara lebih efektif menyerap kebudayaan yang berbeda memakai medium yang populer serta diterima secara sosial di banyak tempat. Contohnya: alkohol.
Ia menggarisbawahi bahwa hingga era awal 1970-an para peneliti berfokus pada efek buruk alkohol, khususnya dalam konsumsi dalam jumlah banyak. Ia ingin yang berbeda, sehingga mencoba menjajaki pertanyaan: apakah dosis kecil alkohol bisa membantu kelancaran pengucapan bahasa asing?
Respondennya adalah orang Amerika Serikat penutur bahasa Inggris asli. Bahasa asingnya adalah bahasa Thailand. Mengapa? Pertama, sebab bahasa Thailand benar-benar asing bagi warga AS. Kedua, meski secara fonetik berbeda, bunyinya tidak terlalu sulit bagi penutur Inggris.
Responden dibagi menjadi dua kelompok: yang diberi minuman beralkohol berdosis rendah, sekitar 45 ml, dan yang tidak. Mereka kemudian diminta menjalani tes bahasa Thailand sesuai standar yang biasa diberikan kepada warga asing yang ingin bekerja di Thailand.
Hasilnya: responden yang meminum alkohol sebelum tes mencapai skor pengucapan bahasa asing (Thailand) yang lebih tinggi ketimbang responden yang tak meminum alkohol sebelum tes.
Lancar berbicara bahasa asing bisa dicapai dengan belajar yang serius—sebagaimana proses yang harus ditempuh jika ingin ahli dalam bidang ilmu lain. Kesimpulan dua riset tersebut tidak berarti seseorang yang ingin lancar berbahasa asing cukup bergantung pada minuman beralkohol.
Renner dan Guiora hanya ingin menantang rumor yang membuat konsumsi alkohol terlihat negatif belaka. Alkohol, rupanya, juga punya manfaat positif dalam konteks berbahasa. Sekali lagi, asal dosisnya tak berlebihan.
Editor: Suhendra