Menuju konten utama

Jalan Panjang Mengubah Wajah Satpol PP

Wajah Jakarta akan sangat ditentukan salah satunya oleh bagaimana Satpol PP dapat menjalankan perannya sebagai penegak aturan yang profesional & humanis.

Jalan Panjang Mengubah Wajah Satpol PP
Header Perspektif Jakarta, Menjadi Kota Global atau Kembali Jadi DKI?. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Provinsi DKI Jakarta kembali jadi sorotan. Ini setelah Satpol PP membubarkan paksa aksi "Piknik Melawan", aksi damai penolakan Rancangan Undang-Undang TNI yang dilakukan sejumlah massa dari kelompok masyarakat sipil di depan Gerbang Pancasila, Gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat.

Setelah aksi Satpol PP viral dan dikritik banyak pihak, Pemprov DKI Jakarta melalui Gubernur Pramono Anung mengutarakan penyesalannya. Menurut Pramono, Satpol PP bertindak di luar tugas dan fungsi institusinya. Selain menegur langsung Kepala Satpol PP Jakarta, Pramono juga meminta maaf kepada warga atas tindakan tersebut.

Satpol PP dan Pendulum Penegakkan Aturan di Daerah

Tugas dan fungsi Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja. Secara umum, Satpol PP adalah perangkat daerah yang mempunyai tugas menegakkan Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah, serta menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, serta perlindungan masyarakat.

Mengacu pada ketentuan tersebut, Satpol PP sejatinya memang memiliki tanggung jawab dalam menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Sehingga tindakan mereka saat membubarkan demonstrasi masih memiliki relevansi. Hanya saja, sebagai Perangkat Daerah, Satpol PP harus tegak lurus dengan kebijakan kepala daerah (baca: gubernur atau bupati/wali kota).

Dalam perjalanan Jakarta setidaknya dalam sepuluh tahun ke belakang, arah kebijakan Satpol PP terus berubah. Diawali dengan kepemimpinan gubernur Joko Widodo. Ia yang dicitrakan sebagai sosok humanis pro rakyat cilik mengedepankan pendekatan dialogis. Jokowi menolak adanya penggusuran hunian maupun pedagang kaki lima. Meskipun dalam praktiknya tidak ada desain besar akan seperti apa Satpol PP.

Beralih ke Basuki Tjahaja Purnama, pendulum penegakkan aturan di Jakarta berubah ke titik ekstrem lainnya. Ahok menggunakan Satpol PP sebagai garda depan untuk mengeksekusi kebijakannya, seperti penggusuran Kampung Akuarium, Bukit Duri dan masih banyak lokasi lain.

Ketika Anies Baswedan menjabat Gubernur Jakarta, pendulum itu kembali bergeser. Anies sebagai politisi cum akademisi dengan tegas menunjukkan keberpihakan terhadap aktivitas pro demokrasi. Hak kewargaan (citizenship) menjadi prinsip yang dijunjung tinggi di era Anies.

Satpol PP kembali diarahkan untuk lebih humanis. Warga sebagai pemilik sah kedaulatan dan pembayar pajak tidak sepantasnya mendapat perlakuan buruk dari pelayan publik, termasuk oleh Satpol PP.

Merancang Transformasi Satpol PP

Tidak mudah memang mengubah Satpol PP, sebuah institusi yang cikal bakalnya sudah ada bahkan sebelum republik ini berdiri. Jika melihat sejarah, Satpol PP sebetulnya sudah ada sejak zaman kolonial. Saat itu, organisasi kepolisian dibedakan menjadi tiga jenis yaitu Polisi Pangreh Praja (Bestuur Politie), Polisi Umum (Algemeene Politie), dan Polisi Bersenjata (Gewapende Politie). Jika Polisi Umum merupakan kesatuan khusus dan berfungsi menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kepolisian, maka Polisi Pangreh Praja adalah bagian dari pemerintahan pribumi yang didukung oleh kepala-kepala desa, para penjaga malam dan agen-agen polisi yang diperbantukan pada pejabat-pejabat pamongpraja.

Pascakemerdekaan, wewenang Kepolisian Pangreh Praja sebagai penanggungjawab kepolisian berkurang dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Kekuasaan tertentu diserahkan kepada Kepolisian. Kemudian pada Oktober 1948 Satpol PP didirikan di Yogyakarta dengan dasar Surat Perintah Kepala Jawatan Praja Daerah Istimewa Yogyakarta No 1/1948 tanggal 30 Oktober 1948 tentang Detasemen Polisi.

Setelah itu, Satpol PP resmi dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1950 dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No.UR32/2/21/1950. Adapun nama Satpol PP ketika itu adalah Detasemen Polisi Pamong Praja, hanya dibentuk di wilayah Jawa dan Madura. Pembentukan Satpol PP di Jakarta Raya dipertegas dengan Permendagri No. 2 Tahun 1961 tangal 10 Maret 1961 tentang Pembentukan Polisi Pamong Praja di Daerah Tingkat I Jakarta Raya.

Dalam linimasa berikutnya, pemanfaatan Satpol PP oleh kepala daerah di masa lampau yang seolah menjadikan Satpol PP sebagai ‘sayap semi-militer’ pemerintah daerah. Dari seragam, atribut, sampai kurikulum pendidikan dan pelatihannya memang sudah diarahkan seperti itu.

Tragedi Mbah Priok yang pernah terjadi di Jakarta Utara pada 14 April 2010 seharusnya menjadi refleksi sepanjang zaman bagi Satpol PP, bahwa aksi represif hanya akan mendatangkan kerugian besar. Akibat bentrokan terkait kasus makam Mbah Priok, tak kurang dari tiga anggota Satpol PP meregang nyawa sedangkan 167 lainnya luka berat. Dari pihak warga juga jatuh puluhan korban luka.

Memori kelam tersebut harus dikubur selamanya. Satpol PP harus bisa mengubah paradigma berpikir (mindset) dan sikap kerja. Tentu tidak bisa serta-merta berharap personel Satpol PP bisa berubah dengan sendirinya.

Para pimpinan di Satpol PP harus merancang ulang materi pendidikan dan pelatihan anggotanya, atau bahkan dari mereka terlebih dulu yang belajar kembali materi seperti citizenship, demokrasi, hak asasi manusia, dan lain-lain. Personel Satpol PP juga perlu dibekali kemampuan komunikasi yang baik dan excellent services. Saya membayangkan kelak anggota Satpol PP –khususnya yang bertugas di kelurahan dan kecamatan– bisa hadir dengan ramah dan membantu (helpfull) layaknya Satpam BCA.

Jakarta akan diarahkan menjadi kota global. Semua perangkat daerah sedianya dapat menyesuaikan diri agar sejalan dengan visi tersebut. Pun demikian dengan Satpol PP. Wajah kota ini akan sangat ditentukan salah satunya oleh bagaimana Satpol PP dapat menjalankan perannya sebagai penegak aturan yang profesional dan humanis.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.