Menuju konten utama

Jalan-Jalan Jajan, Cara Baru Telusuri Yogya Bak Flaneur Prancis

Jalan-Jalan Jajan merupakan komunitas yang membuka ajakan open trip untuk berjalan kaki sepanjang 7.000 langkah menyusuri sudut kota Yogyakarta.

Jalan-Jalan Jajan, Cara Baru Telusuri Yogya Bak Flaneur Prancis
Peserta Jalan-Jalan Jajan edisi 37 beristirahat di wilayah Piyungan, Bantul pada 13 Januari 2024. (Jalan-Jalan Jajan/@katasarii)

tirto.id - Bagi Azwar Syafrudin dan Demanda Nursan, Kamis malam adalah waktu yang lebih sibuk. Seperti ketika saya menjumpai mereka pada Kamis (18/1/2024) malam lalu, mereka tengah menyeleksi para pendaftar open trip yang dibuka oleh Jalan-Jalan Jajan, sebuah “komunitas” yang dirintis oleh sepasang suami-istri tersebut sejak tahun 2023 lalu.

Jalan-Jalan Jajan merupakan komunitas—jika bisa disebut komunitas—yang membuka ajakan open trip untuk berjalan kaki sepanjang 7.000 langkah menyusuri sudut-sudut kota Yogyakarta setiap akhir pekan. Tujuannya sederhana, bersenang-senang dan jajan di tempat makan yang barangkali belum banyak orang tahu.

Mereka membuka ajakan jalan-jalan bagi siapapun yang ingin ikut, selama bersedia mengikuti aturan dan rute yang dirumuskan oleh Jalan-Jalan Jajan.

Ketika saya menjumpai Azwar dan Demanda, Jalan-Jalan Jajan tengah membuka ajakan open trip bagi siapa saja yang mau berjalan kaki dan membeli jajan di wilayah Kledokan, Sleman pada hari Sabtu (20/1/2024). Ajakan tersebut mereka siarkan melalui akun Instagram @_jalanjalanjajan.

Setiap orang yang tertarik diharuskan menulis keinginan mereka untuk ikut di kolom komentar dan dari sana Azwar dan Demanda akan memilih sekitar 25 sampai 30 orang untuk nantinya diajak bertemu di lokasi jalan-jalan.

Kamis malam ketika saya bersua Azwar dan Demanda, mereka harus memilih 25 orang dari 87 pendaftar yang berkomentar di unggahan Instagram yang mereka berdua buat.

Aktivitas tersebut kini telah menjadi rutinitas tiap minggu bagi Azwar dan Demanda. Sejak Mei 2023 lalu, sepasang suami-istri tersebut selalu mengajak orang-orang di Yogya untuk berjalan kaki dan hal itu dilakukan hampir setiap hari Sabtu.

Kini, mereka telah melakukan 38 perjalanan dengan rute yang beragam, mulai dari menyusuri keriuhan sudut kota Yogyakarta hingga berjalan kaki menaiki bukit Gunung Wangi di Piyungan.

Jalan-Jalan Jajan

Peserta Jalan-Jalan Jajan edisi 35 berfoto di sebuah gang di Kotagede, Yogyakarta pada 31 Desember 2023. (Jalan-Jalan Jajan/@ilhamnurarf)

Keinginan Mencari Teman Baru

Walking tour, skema wisata dengan cara berjalan kaki menyusuri suatu situs budaya atau obyek wisata, belakangan memang tengah digandrungi orang-orang muda.

Umumnya, skema walking tour ini menawarkan paket berkeliling melintasi satu obyek wisata sambil mendengarkan seorang tour guide menjelaskan apa persisnya yang tengah wisatawan lalui sepanjang perjalanan.

Sebagai provinsi yang mengandalkan sektor pariwisata dan menjadi tempat bagi banyak sekali situs wisata budaya, Yogyakarta tak luput dari tren tersebut. Kita bisa menemukan paket wisata walking tour macam itu di Kota Gudeg ini.

Jalan-Jalan Jajan, yang dirintis Azwar dan Demanda, punya skema yang mirip, meski hampir sepenuhnya berbeda.

Azwar mengatakan pada saya bahwa latar belakang mereka membuat Jalan-Jalan Jajan lebih karena keinginan untuk bersenang-senang dan mencari teman baru, sembari berharap dapat menemukan warung-warung makan alternatif yang menarik perhatian.

Sebelum membuat Jalan-Jalan Jajan, sepasang suami istri tersebut sebenarnya adalah penjual buku dengan nama toko Paperplane Bookstore. Bagi para mahasiswa di Kota Pelajar ini, toko ini sebenarnya lumayan populer di telinga.

Namun, pasca-pandemi, penjualan mereka terus mengalami penurunan setelah sempat melonjak ketika awal pandemi COVID-19 merebak.

Di tengah situasi tersebut, Azwar dan Demanda sering iseng jalan-jalan di sore hari, kadang menggunakan kaki mereka sendiri, kadang pula dengan mengayuh sepeda. “Jadi dulu itu kegiatan gabut berdua, kami dulu suka sepedaan, terus suka ke gang-gang gitu,” kata Azwar.

Jalan-Jalan Jajan

Perintis Jalan-Jalan Jajan, Demanda Nursan (kiri) dan Azwar Syafrudin (kanan), ketika ditemui di Kedai Kopi Ailen, Kotagede, Yogyakarta pada Kamis (18/01/2024). tirto.id/Rizal Amril Yahya

Mereka gemar melakukannya karena bagi mereka jalan kaki—atau jalan-jalan dengan moda transportasi lambat seperti sepeda—untuk sekadar kelayapan memberikan perspektif baru tentang tempat-tempat yang biasa dilewatkan begitu saja.

“Ternyata setelah jalan kaki itu banyak detail-detail yang kalau kita naik motor itu terlewat," kata Azwar.

Ketika mereka membagikan kegiatan jalan sore mereka ke media sosial, mereka mendapatkan respons yang tak mereka duga, yakni permintaan dari beberapa kawan agar diikutkan.

Dari sana lah Jalan-Jalan Jajan bermula. “Yo wis akhirnya temen-temen yang pengen ikut, ikutan. Rutenya masih di Kotagede,” ujar Azwar mengingat bagaimana Jalan-Jalan Jajan edisi pertama bermula.

Mereka kemudian membuat akun Instagram dengan nama Jalan-Jalan Jajan, mengambil nama dari aktivitas yang secara harfiah mereka lakukan, berjalan kaki dan jajan di tempat yang tak semua orang tahu.

Namun, Azwar dan Demanda tak pernah meniatkan apa yang mereka rintis sebagai sebuah bisnis. Bagi mereka, jalan-jalan adalah hobi dan mengapa tidak melakukannya bersama orang yang lebih banyak lagi?

Pada awalnya mereka juga tak mematok harga bagi orang-orang yang hendak ikut jalan-jalan bersama mereka. “Ya emang niatnya tuh buat seneng-seneng aja,” ujar Azwar.

Meskipun kini tiap peserta harus membayar uang senilai Rp50.000, namun Azwar menyatakan bahwa uang tersebut sekadar sebagai commitment fee. “Nanti pas hari H uangnya tuh kami cairkan, jadi dibalikin cash.”

Bagi mereka, biaya tersebut perlu ada karena beberapa kali mereka harus membayar pesanan menu makanan para peserta yang tiba-tiba membatalkan keikutsertaan mereka.

Dengan kata lain, Azwar dan Demanda sama sekali tak mematok harga untuk jasa merangkai rute dan pemilihan tempat makan.

Ketika melakukan perjalanan, mereka berdua juga tidak menganggap diri mereka seorang pemandu wisata, melainkan sekadar teman berjalan. Mereka tak mencoba menjelaskan seluk beluk sejarah wilayah dan obyek yang dilalui para peserta. Mereka tak tahu, dan tak pula mencoba mencari tahu juga.

Bagi Azwar, lebih baik bercanda dan tertawa bersama ketimbang harus pusing menggurui teman berjalan dengan sesuai yang tak sepenuhnya ia tahu. Namun, hal tersebut justru menjadi daya tarik Jalan-Jalan Jajan bagi anak muda Yogya.

Jagad Jati (29), misalnya, seorang pekerja Dinas Sosial Kota Yogyakarta yang hampir tiap minggu ikut Jalan-Jalan Jajan. Baginya, Jalan-Jalan Jajan adalah sinonim dari bersenang-senang.

Konsep jalan-jalan yang ditawarkan Azwar dan Demanda dengan hanya berjalan kaki, membeli jajan, dan berbagi tawa ternyata membuatnya terkesan ketika pertama kali ikut serta.

"Waktu itu haha hihi, terus kemudian saling cerita, kayak energinya ke-recharge," ujar Jagad.

Jalan-Jalan Jajan

Peserta trip Jalan-Jalan Jajan, Jagad Jati (29) ketika mengikuti trip pada Sabtu (20/01/2024). tirto.id/Rizal Amril Yahya

Terlebih bagi Jagad yang sempat merasakan kesepian karena keharusan melakukan isolasi di masa pandemi. Baginya, Jalan-Jalan Jajan membuatnya melupakan kesedihan itu.

“Kayak udah lama enggak ikut komunitas selama pandemi, teman-teman enggak ada, [ikut Jalan-Jalan Jajan] kayak jadi lupa kalau pernah kesepian gitu,” ujarnya.

Selain itu, kini Jalan-Jalan Jajan juga menjadi penyalur hobinya di bidang fotografi. Rute perjalanan yang ditawarkan Azwar dan Demanda kerap membuatnya kepincut untuk memotret, raut muka para peserta yang sedikit-sedikit tertawa juga membuat hasil foto Jagad menjadi lebih hidup.

Hal serupa juga dialami Disna (27), seorang staf Universitas Negeri Gadjah Mada yang baru dua kali ikut Jalan-Jalan Jajan.

Baginya, konsep Jalan-Jalan Jajan yang lebih mirip kelayapan sembari bergurau dengan teman adalah daya tarik di tengah kesibukannya bekerja. “Jadi kayak hari ini kita bete, terus ikut tuh kita jadi ketawa aja gitu. Jadi ke-recharge, gitu.”

Kesan yang diberikan Jagad dan Disna tersebut seringkali ditemui Azwar dan Demanda. Bagi mereka, kebanyakan para peserta Jalan-Jalan Jajan adalah orang-orang yang ingin bersenang-senang di tengah kesibukan.

Kebutuhan atas rasa senang, menurut mereka, menjadi latar belakang kebanyakan peserta. "Mereka butuh seneng-seneng dan bersosialisasi, butuh ketemu orang, butuh temen, butuh cerita."

Jalan-Jalan Jajan

Peserta Jalan-Jalan Jajan edisi 35 melintasi sebuah gang di Kotagede, Yogyakarta pada 31 Desember 2023. (Jalan-Jalan Jajan/@ilhamnurarf)

Sejauh ini, ketika saya bersua mereka, saya memang tak merasa Jalan-Jalan Jajan sebagai bisnis walking tour, melainkan salah satu cara orang-orang Yogya bersenang-senang.

Alih-alih berwisata, perjalanan rombongan Jalan-Jalan Jajan lebih mirip apa yang orang Prancis sebut sebagai flaneur, yakni kegaliban orang-orang Paris abad ke-19 kelayapan tanpa tujuan di kota tempat Menara Eiffel berada.

Orang-orang Prancis melakukan flaneur sebagai sarana menyatukan rasa mereka dengan riuhnya kota yang mereka tinggali. Jalan-Jalan Jajan melakukannya, bukan di Paris, tetapi di Yogya.

Berharap tetap Menyenangkan

Ketika artikel ini ditulis, Jalan-Jalan Jajan tengah membuka pendaftaran untuk mengikuti perjalanan mereka yang ke-39.

Sejauh ini, Azwar dan Demanda telah berkeliling bersama sekitar 400 teman baru dan akan terus bertambah lagi.

Bagi mereka, kini Jalan-Jalan Jajan adalah cara mereka bersenang-senang dan berharap akan terus selalu begitu.

Sebagaimana mereka mendeskripsikan diri di akun Instagram Jalan-Jalan Jajan, “Sedikit melangkah, banyakan ngunyah. Membakar kalori dan mengisinya lagi. Hadeh.”

Baca juga artikel terkait TEMPAT WISATA YOGYA atau tulisan lainnya dari Rizal Amril Yahya

tirto.id - Bisnis
Kontributor: Rizal Amril Yahya
Penulis: Rizal Amril Yahya
Editor: Maya Saputri