tirto.id - Enam terdakwa kasus dugaan makar asal Papua menjalani sidang pembacaan pendapat Penuntut Umum atas nota keberatan Penasihat Hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hari ini, Senin (20/1/2020).
Enam terdakwa yakni Ariana Elopere, Dano Anes Tabuni, Paulus Suryanta Ginting, Ambrosius Mulait, Charles Kossay dan Issay Wenda.
Para Terdakwa dinilai telah melakukan makar atau melakukan mufakat untuk makar dalam aksi demonstrasi di depan Istana Negara pada 28 Agustus 2019.
Ancaman terhadap pasal ini adalah penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.
Jaksa Penuntut Umum P Permana Tirta Kusuma menyatakan penuntutan perkara merupakan bagian dari upaya menjaga keutuhan NKRI.
"Dalam konteks penyelenggaraan negara, bentuk negara kesatuan telah menjadi hukum yang tidak dapat ditawar lagi," kata Permana.
Maka. lanjut dia, segala bentuk terorisme, separatisme dan upaya lainnya yang merongrong kewibawaan San keutuhan NKRI harus ditindak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, meski berkedok kebebasan penyampaian pendapat sebagai bentuk hak asasi manusia (HAM).
Permana juga menyampaikan bahwa berdasarkan Pasal 28E UUD 1945, salah satu bentuk HAM adalah kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
"Namun hak tersebut sifatnya dapat dibatasi oleh peraturan perundang-undangan, hak asasi orang lain, maupun keamanan dan ketertiban umum suatu negara. Hak asasi semacam ini disebut derogable rights," ucapnya.
Pembatasan hak asasi diatur dalam Pasal 28J ayat (1) dan (2) UUD 1945. Dalam sidang ini, Jaksa Penuntut Umum menolak nota keberatan (eksepsi) Penasihat Hukum.
"Dalil keberatan yang diajukan oleh Penasihat Hukum merupakan dalil yang tidak berdasar, dengan demikian maka sudah sepatutnya eksepsi ditolak," tutur Permana.
Kuasa Hukum Terdakwa, Oky Wiratama Siagian menanggapi pendapat jaksa soal menjaga keutuhan negara.
"Menurut saya ini sangat aneh. Justru karena kebebasan berpendapat itu ada di Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, yang dilakukan oleh enam tahanan politik ini, mereka (sebelum demonstrasi) menyampaikan surat pemberitahuan aksi ke Polda Metro Jaya," kata Oky di lokasi.
Surat izin pemberitahuan demonstrasi, lanjut dia, artinya massa telah taat sesuai dengan undang undang.
Ketidakcermatan jaksa selanjutnya yakni tidak mengaitkan perkara dengan Pasal 87 KUHP perihal makar. "Alasan jaksa tidak memasukkan ke dakwaan karena dalam surat dakwaan cukup menyebutkan locus dan tempus saja," tutur Oky.
Bila Pasal 87 KUHP tidak disertakan dengan Pasal 106 KUHP dan Pasal 107 KUHP, maka perkara dinilai kabur.
"Jika kawan-kawan ini berniat jahat, kenapa mereka berikan surat pemberitahuan aksi? Kalau mau makar, bisa saja lakukan gencatan senjata," imbuh Oky.
Paulus Suryanta Ginting bermonolog usai sidang. Ia berpendapat percuma jargon 'NKRI Harga Mati' jika rakyat Indonesia ditakut-takuti.
"Apakah kita (rakyat Indonesia) harus takut terhadap aksi damai? Takut terhadap bendera Bintang Kejora, bendera khilafah, bendera palu arit? Apakah harus takut dengan sesuatu berbau diri? Atau kepada mereka yang berani mengemukakan pikiran?" kata dia.
Surya sampai ke kesimpulan jargon itu adalah doktrin untuk kepentingan bisnis, kepentingan melawan pihak yang mengganggu modal. "Bangsa adalah kesepakatan dan persetujuan, bukan ancaman maupun ketakutan," lanjut dia. "Jika bangsa adalah ketakutan, maka bukan persatuan, tapi persatean."
Penulis: Adi Briantika
Editor: Hendra Friana