tirto.id - Menyandang status jomblo bagi beberapa orang bukanlah sebuah masalah tapi ada juga yang menilai sebagai aib, hingga disikapi dengan serius. Ini juga yang dipikirkan oleh Ridwan Kamil yang membangun Taman Jomblo di Bandung. Belakangan ini, Wakil Gubernur DKI Jakarta Terpilih Sandiaga Uno juga mengangkat persoalan jomblo dalam rencana programnya.
Ia berencana menerbitkan Kartu Jakarta Jomblo (KJJ). Ide dasarnya ingin warga Jakarta tak bernasib sama dengan kota-kota besar seperti Singapura yang sibuk bekerja dan tak sempat menikah hingga berdampak pada populasi dan pertumbuhan ekonomi kota. Gagasan hadirnya KJJ tentunya memberikan angin segar bagi mereka yang jomblo. Namun, ada pula yang mempertanyakan, terutama soal urgensinya.
Untuk mengujinya, dapat mengecek jumlah warga DKI Jakarta yang belum berpasangan terutama dalam konteks penduduk yang belum kawin. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, proporsi penduduk belum kawin di DKI Jakarta malah menunjukkan tren yang menurun sejak 2005 hingga 2015. Pada 2005, terdapat 42,95 persen penduduk berumur 10 tahun ke atas yang belum menikah dan menurun menjadi 36,38 persen pada 2015.
Berdasarkan wilayah, pada 2015, Jakarta Pusat merupakan daerah dengan proporsi penduduk belum kawin tertinggi dibandingkan wilayah lainnya. Di Jakarta Pusat, proporsi penduduk belum menikah hingga 37,77 persen dari total penduduk yang berumur 10 tahun ke atas di daerah itu. Sedangkan, di Kepulauan Seribu, proporsi penduduk berumur 10 tahun yang belum menikah sebesar 31,51 persen dari total penduduk dengan kriteria yang sama di daerah tersebut.
Selain penduduk belum kawin, pendekatan lain untuk melihat proporsi jomblo di Jakarta adalah tingkat pasangan bercerai, baik hidup maupun mati. Berbeda dengan proporsi penduduk belum kawin yang menurun, penduduk cerai hidup maupun mati menunjukkan peningkatan.
Pada 2005, proporsi penduduk di atas 10 tahun yang cerai hidup adalah 1,24 persen dari total penduduk dengan kriteria yang sama. Nilai ini meningkat menjadi 1,62 persen pada 2015. Pada 2015, proporsi penduduk cerai hidup paling tinggi berada di Jakarta Utara dengan tingkat 2,15 persen dari total penduduk berusia di atas 10 tahun pada wilayah tersebut.
Proporsi penduduk cerai mati pun meningkat dari 3,87 persen pada 2005 menjadi 5,36 persen pada 2015. Sedangkan, untuk cerai mati berada di Jakarta Timur dengan proporsi sebesar 5,41 persen dari total penduduk berumur 10 tahun di wilayah tersebut.
Jumlah Penduduk Jakarta
Salah satu tujuan penerbitan Kartu Jakarta Jomblo adalah sebagai solusi atas potensi jumlah penduduk Jakarta yang menurun. Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk DKI Jakarta sejak 2000 hingga 2015 menunjukkan tren yang meningkat. Pada 2000, jumlah penduduk Jakarta berjumlah 8,35 juta jiwa dan meningkat menjadi 10,15 juta jiwa pada 2015.
Pada 2015, Jakarta Timur merupakan wilayah dengan penduduk terbanyak yang berjumlah 2,83 juta jiwa. Ini artinya, 27,85 persen penduduk Jakarta bertempat tinggal di Jakarta Timur. Sedangkan, penduduk Jakarta yang bermukim di Kepulauan Seribu pada periode yang sama hanya 0,23 persen atau 23.310 jiwa yang tinggal di sana. Meskipun populasi memperlihatkan tren yang meningkat, laju pertumbuhan penduduk justru menunjukkan tren menurun.
Periode 2000 hingga 2010, laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta sebesar 1,45 persen per tahun. Sedangkan, pada kurun waktu 2005 hingga 2015, laju pertumbuhannya menurun menjadi 1,40 persen per tahun. Pada kurun waktu lima tahun, antara 2010-2015, laju pertumbuhannya bahkan hanya 1,11 persen per tahun.
Kepulauan Seribu merupakan wilayah dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi di Jakarta pada periode 2010-2015, yaitu 1,71 persen per tahun. Tingginya laju pertumbuhan Kepulauan Seribu karena wilayah ini merupakan pemekaran dari Kotamadya Jakarta Utara sehingga pembangunannya akan lebih cepat dibandingkan wilayah lainnya. Sedangkan, wilayah dengan laju pertumbuhan penduduk terendah periode 2010-2015 adalah Jakarta Pusat, yaitu 0,41 persen per tahun.
Jakarta Timur yang memiliki jumlah penduduk terbesar di Jakarta memiliki laju pertumbuhan per tahun sebesar 0,88 persen per tahun pada periode yang sama. Laju pertumbuhan di Jakarta Timur ini menurun dari 1,43 persen per tahun pada periode 2000 hingga 2010. Melihat data di atas, program KJJ kurang tepat untuk diterapkan. Penurunan proporsi penduduk belum kawin di Jakarta menjadi indikasi bahwa jomblo bukan masalah dengan tingkat urgensi yang tinggi.
Selain itu, meskipun laju pertumbuhan penduduk menunjukkan tren yang menurun, tapi tidak dapat dijadikan alasan bahwa jomblo menjadi penyebabnya. Tren penurunan tersebut merupakan indikasi dari keberhasilan program kependudukan dalam hal menekan jumlah penduduk. Penurunan laju pertumbuhan penduduk ini pun menjadi indikasi kebijakan pengembangan daerah penyangga Jakarta cukup berhasil dilakukan oleh pemerintah.
Pemerintah baru DKI Jakarta lebih baik mengatur pelayanan yang lebih efektif dan efisien baik kepada bisnis, industri maupun masyarakat, sehingga kondisi ekonomi dan sosial lebih stabil dan masyarakat akan lebih makmur.
Untuk dekat dengan rakyat yang berusia muda, apalagi merasa ingin membuktikan bisa memahami anak muda, rasanya tak harus mengeluarkan program yang secara data bisa dimentahkan.
Penulis: Dinda Purnamasari
Editor: Suhendra