tirto.id - Komite Sastra DKJ menggagas festival sastra bertaraf internasional, Jakarta International Literary Festival 2019 (JILF 2019) pada 20-24 Agustus 2019 di Taman Ismail Marzuki.
“Jakarta International Literary Festival 2019 ini merupakan yang pertama diadakan oleh Komite Sastra DKJ, tapi saya yakin bukan yang terakhir. Semoga dengan festival sastra ini, para pelaku sastra di negara-negara selatan bisa saling membaca karya antar negara,” ujar Yusi Avianto Pareanom (Direktur Festival JILF 2019 dan Ketua Komite Sastra DKJ).
JILF 2019 rencananya akan mengundang beberapa pelaku sastra dunia. Dengan proses kurasi dan pembangunan program yang baik, festival ini diharapkan akan menjadi penghubung Indonesia dengan sastra dunia.
JILF 2019 mengangkat “Pagar” sebagai tema sentral untuk mencerminkan batasan-batasan yang semakin lebur akibat arus globalisasi yang menerpa dunia.
Selain sebagai sesuatu yang harus dilintasi, pagar juga berfungsi sebagai pelindung dan pemisah antara dunia luar dan ketenangan rumah.
Festival sastra ini juga akan mengundang penulis dan penerbit dari dalam dan luar negeri untuk mengisi rangkaian program JILF 2019.
Program utama dalam festival ini adalah pidato kunci, simposium, pameran, lab ekosistem sastra, diskusi bacaan alternatif “Bacaan Liar”, pasar hak cipta, dan Jakarta Award.
Seluruh program Jakarta International Literary Festival 2019 nantinya diakses melalui situs www.jilf.id dan akun media sosial JILF (Instagram, Twitter, dan Facebook fan page).
Jelang festival sastra tersebut Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) hari ini mengadakan diskusi pra-festival yang ke-empat.
Diskusi pra-festival ini mengangkat tema “Menjual (Sastra) Indonesia” yang diadakan di Kios Ojo Keos, Lebak Bulus dengan menghadirkan dua pembicara, yaitu Mario F. Lawi (Jurnalis dan Penulis) dan Bernando J. Sujibto (Akademisi), serta dimoderatori oleh Ni Made Purnamasari (Penulis).
Diskusi ini memberikan pandangan mengenai mengapa kurasi karya tidak seharusnya dibatasi pada muatan lokalnya saja. Serta bagaimana cara membuka kanal-kanal bagi karya sastra untuk masuk dalam laku penerjemahan bahasa selain bahasa Inggris.
“Menurut saya, langkah pertama yang tepat adalah membeli karya sastra—menerjemahkan khazanah-khazanah sastra di luar bahasa Inggris itu. Saya belajar dari beberapa kasus, terutama saya belajar ini dari Turki,” ujar Bernando.
Ia juga mengutarakan tiga kelemahan sastra yang ada di Indonesia, yaitu mengenai isu penerjemah dan jaringan.
“Pertama, upaya menjual karya sastra Indonesia ke negara-negara di luar Inggris terhambat oleh minimnya sumber daya dan kemampuan penerjemah terkait dengan bahasa-bahasa asing di luar Inggris. Kedua, jaringan penerjemahan dan perbukuan ke berbagai negara di luar Inggris harus diakui masih lemah. Dan yang ketiga, belum adanya sekolah penerjemah yang bertujuan untuk mencetak penerjemah dari Bahasa Indonesia ke bahasa bersangkutan,” lanjut Bernando.
Sementara, Mario F. Lawi menceritakan pengalamannya dalam menerjemahkan karya-karya sastra Eropa, Inggris, dan Latin Klasik.
“Dalam khazanah Indonesia, karya seperti puisi-puisi Catullus dan Sulpicia adalah asing dalam sejumlah hal. Misalnya, karena ditulis dalam bahasa yang dianggap mati dan dihasilkan dua ribuan tahun yang lalu, tidak dianggap penting karena tidak secara langsung berkaitan dengan tradisi kesusastraan Indonesia,” ujar Mario.
Namun, Mario tidak menyinggung lebih jauh mengenai persoalan jual-menjual sastra Indonesia ke pembaca internasional.
Sebab dalam perdebatan industri perbukuan internasional sering dipersempit menjadi wilayah para pembaca berbahas Inggris saja.
Ia mengamini pendapat Bernando mengenai penerjemahan karya-karya di luar Inggris ke dalam khazanah Indonesia perlu diusahakan, termasuk karya-karya yang lebih tua dari bahasa apa pun.
Editor: Agung DH