tirto.id - Saat Menkopolhukam Wiranto bilang setidaknya ada tiga organisasi di balik kerusuhan anti rasisme di Papua--United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) pimpinan Benny Wenda, Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyebut ada satu aktor lain yang turut memancing di air keruh: ISIS.
ISIS adalah kelompok teroris yang sangat menakutkan beberapa tahun yang lalu. Tapi kini kekuatan mereka tidak lagi seberapa, terutama setelah benteng terakhir mereka di Raqqa, Suriah, direbut Pasukan Demokratik Suriah (SDF)-Kurdi pada Oktober 2017.
Menurut Kepala Staf Angkatan Darat 2002-2005 ini, di antara tiga kelompok yang terlibat dalam demonstrasi hingga kerusuhan di Papua dan Papua Barat sejak tiga pekan terakhir, satu di antaranya "berafiliasi dengan ISIS" yang menyerukan "jihad di Tanah Papua."
"ISIS," kata Ryamizard di DPR RI, Jakarta, Kamis (5/9/2019) lalu, "mengambil kesempatan, ikut nimbrung [dalam kerusuhan]" dan "menjadikan kita [pemerintah Indonesia] musuh bersama."
Dia tidak menyebut dengan jelas apa nama organisasi itu.
"Pimpinannya, Pak?" tanya seorang wartawan.
"Saya lupa," jawab Ryamizard.
Tidak Berdasar
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo mengatakan di Papua memang ada jaringan ISIS, yaitu kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Pada Mei lalu, Kepolisian Daerah Papua juga sempat mengatakan ada dua daerah yang diduga jadi lokasi latihan JAD Lampung pimpinan SL alias Abu Faisa: di Distrik Arso Kabupaten Keerom, dan Merauke.
"Sel-selnya memang ada," kata Dedi, Jumat (6/9/2019) kemarin. Mereka sudah terdeteksi sejak dua tahun terakhir.
Tapi yang diketahui polisi, berdasarkan keterangan Densus 88, hanya sampai sana. Dedi belum bisa memastikan apakah mereka menunggangi aksi-aksi anti rasisme dalam tiga pekan terakhir.
Pengamat terorisme Al Chaidar Abdul Rahman Puteh menegaskan pernyataan polisi: bahwa memang ada jaringan ISIS di Papua, yang belum beraksi, dan terdeteksi bahkan sejak 2016.
Jaringan tersebut terdiri dari orang-orang yang direkrut dari Pulau Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan.
Namun menurutnya jaringan tersebut sama sekali tidak mengambil kesempatan, apalagi berafiliasi dengan kelompok orang-orang asli Papua, baik yang sekadar menentang rasisme, atau bahkan mengadvokasi Papua merdeka dari Indonesia.
Alasannya sederhana saja: ideologi dan garis perjuangan mereka berbeda sama sekali.
"Kelompok ISIS itu tidak bergabung dengan kelompok apa pun. Kalau bergabung dengan kelompok Papua untuk berjihad, bohong itu. Ideologinya berbeda," kata Al Chaidar kepada reporter Tirto.
Kelompok ISIS mengupayakan berdirinya khilafah--versi mereka, dengan metode utama kekerasan bersenjata dan teror. Sementara kelompok Papua merdeka seperti ULMWP, tujuan utamanya adalah merdeka dari Indonesia dengan metode diplomasi--termasuk diplomasi internasional ke negara MSG dan PBB.
Al Chaidar bahkan bilang ada kemungkinan kelompok ISIS juga tak suka dengan gerakan Papua merdeka.
Dia lantas meminta Ryamizard membuktikan omongannya. "Dia, kan, pejabat berwenang."
Keraguan serupa diutarakan pengamat militer sekaligus Direktur Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi) Beni Sukadis. Alasannya juga sederhana kenapa ISIS tak mungkin menunggangi aksi di Papua: faktor agama.
"Kalau di Jawa atau Sulawesi, masih mungkin kelompok ini membaur dengan masyarakat yang beragama Islam. Nah, kalau Papua?"
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2016 lalu 65,54 persen orang Papua beragama Protestan, Katolik 19 persen, dan Islam 15,12 persen. Sisanya Budha, Kong Hu Cu, dan lainnya. Catatan BPS lain terkait "indeks demokrasi Indonesia", Provinsi Papua dan Papua Barat itu menyimpan potensi konflik berdasarkan agama yang "besar."
Salah satu gesekan yang sempat terjadi adalah pelarangan pembangunan menara Masjid Al-Aqsa di Sentani lebih tinggi dari gereja, 15 Maret tahun lalu.
Dengan segala latar belakang itu, wajar belaka jika Beni "meragukan informasi" dari Ryamizard.
Pernyataan Ryamizard soal keterlibatan ISIS di kerusuhan di Papua diutarakan saat rapat dengan Komisi I DPR RI. Pernyataan yang terdengar seperti kesimpulan itu, menurut Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari, sebetulnya hanya "dugaan."
"Bisa jadi seperti itu juga, menunggangi. Tapi tidak ada pembahasan lebih jauh lagi," katanya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino