tirto.id - Pasal 55 dan 56 yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang pelaku dan pembantu tindak pidana kejahatan. Kedua pasal tersebut kerap dijadikan dasar hukum dalam memutuskan suatu perkara kejahatan di Indonesia.
Hal ini sesuai dengan fungsi dasar dari KUHP itu sendiri. KUHP merupakan sekumpulan dasar hukum yang digunakan untuk menegakkan hukum pidana di Indonesia. KUHP digunakan untuk mengadili perkara pidana yang bertujuan melindungi kepentingan umum.
Menurut Soedarto, KUHP mengandung dua isu kepentingan, yakni memuat lukisan perbuatan yang diancam pidana dan menetapkan serta mengumumkan konsekuensi yang nantinya diterima oleh terhukum.
Adapun, hukum pidana merupakan bentuk upaya terakhir (ultimatum remedium) dalam penyelesaian sebuah perkara yang mengandung sanksi bersifat memaksa. Jika masyarakat melanggar hukum pidana yang tertuang dalam KUHP, maka akan dijatuhi sanksi pidana.
Salah satu hal yang diatur dalam KUHP adalah kasus yang mengangkat isu tentang kejahatan yang bunyinya tertulis pada pasal 55 dan 56.
KUHP sendiri telah ada sejak masa kolonial Belanda di Indonesia yang sebelumnya bernama Wetboek van Strafrechtvoor Nederlandsch Indie (WvSNI). Peraturan WvSNI dibentuk pada tanggal 15 Oktober 1915 dan diberlakukan pertama kali pada 1 Januari 1918.
Kemudian pada 26 Februari 1946 setelah kemerdekaan Indonesia, peraturan ini baru diubah menjadi KUHP lewat UU No. 1 Tahun 1946.
Lantas, bagaimankah bunyi pasal 55 dan 56 KUHP yang mengusung isu tindak pidana kejahatan?
Bunyi dan Penjelasan Pasal 55 dan 56 KUHP
Sebagaimana yang tercantum dalam KUHP Buku Kesatu yang tercantum di laman Kejaksaan Negeri Sukoharjo, berikut merupakan bunyi dari pasal 55 dan 56 KUHP yang membahas tentang tindak pidana kejahatan:
Isi atau Bunyi Pasal 55 KUHP
Isi dan bunyi pasal 55 KUHP adalah:
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
- Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
- Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Melalui bunyi pasal di atas, dapat dilihat bahwa dalam hukum pidana telah diatur tentang perbuatan penyertaan yang terbagi menjadi 3, yaitu orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan.
Menurut R. Soesilo, “orang yang turut melakukan” (medepleger) seperti yang disebutkan pada pasal 55 KUHP, berarti “sama-sama melakukan.”
Setidaknya harus ada dua orang, yakni orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Jika terjadi hal ini, berarti kedua orang tersebut melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari tindak pidana tersebut.
Namun, jika hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, maka orang yang menolong itu tidak masuk dalam kriteria medepleger. Orang ini akan dihukum sebagai “membantu melakukan” (medeplichtige) seperti yang tertuang pada pasal 56 KUHP.
Isi atau Bunyi Pasal 56 KUHP
Isi dan bunyi pasal 56 KUHP adalah:
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
- Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
- Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Mengenai pasal 56 KUHP, R. Soesilo menjelaskan kriteria orang yang “membantu melakukan” ialah orang sengaja memberikan bantuan tersebut pada waktu atau sebelum kejahatan itu dilakukan. Namun, jika bantuan itu diberikan sesudah kejahatan dilakukan, maka orang tersebut melakukan perbuatan “sekongkol” atau “tadah” yang melanggar pasal 480 KUHP.
Dalam penjelasan pasal 56 KUHP ini dikatakan bahwa elemen “sengaja” harus ada, sehingga orang yang secara kebetulan dengan tidak mengetahui telah memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu tidak dihukum.
Niat untuk melakukan kejahatan harus muncul dari orang yang diberi bantuan, kesempatan, daya upaya, atau keterangan itu. Jika niatnya itu timbul dari orang yang memberi bantuan sendiri, maka orang itu bersalah karena berbuat “membujuk melakukan” (uitlokking).
Penulis: Yunita Dewi
Editor: Yonada Nancy