tirto.id - Indonesia patut berbangga. Setelah mengekspor gerbong kereta penumpang ke Bangladesh, kini Indonesia mulai memperluas pasar ekspor kereta ke Sri Lanka. Kereta-kereta ini diproduksi oleh PT Industri Kereta Api (INKA) yang berbasis di Kota Madiun, Jawa Timur.
INKA mendapat pesanan kereta rel diesel elektrik (KRDE) untuk Sri Lanka dengan nilai ekspor mencapai 70 juta dolar AS. Sedangkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) kereta yang akan diekspor ke Sri Lanka itu mencapai 45 persen.
Pada tahun ini, INKA sudah berhasil mengekspor 150 gerbong kereta ke Bangladesh untuk tahap pertama pemesanan. Kemudian pada tahap kedua, PT INKA akan mengirim 250 gerbong. Selain Bangladesh, kereta produksi Indonesia juga telah digunakan oleh Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Australia, dan negara kawasan Afrika Utara.
Melihat potensi pasar ekspor kereta yang terus meluas, pemerintah mematok target jumlah pesanan atau nilai kontrak kerja ekspor kereta selama 2016 sebesar Rp1,7 triliun. Hingga September ini, nilai kontrak sudah mencapai Rp1,5 triliun.
"Kami optimistis bisa memenuhi target tersebut. Jika ditambahkan dengan kontrak atau pesanan 250 kereta penumpang dari Bangladesh yang saat ini sedang proses tender, maka target kami tahun ini sudah terlampaui," ujar Senior Manager Secretary, Public Relations, dan CSR PT INKA (Persero) Cholik Mochamad Zam Zam dikutip dari Antara.
Tentunya ini sangat membanggakan. Target tercapai dan permintaan terus berdatangan. Nilai kontrak yang dicapai tahun ini meningkat dari tahun lalu yang hanya mencapai Rp1,2 triliun dengan laba yang mencapai Rp27 miliar bagi INKA.
Industri kereta Indonesia masih jauh dari para penguasa global seperti Union Pacific Railroad milik AS atau Canadian National Railway milik Kanada, tapi capaian ini sudah menunjukkan bahwa produk kereta Indonesia sudah diperhitungkan di kawasan Asia.
Bidik Asia Selatan dan Afrika
Suatu saat Indonesia bisa menguasai pasar kereta di Asia Selatan dan Afrika melalui kiprah BUMN INKA. Keyakinan ini yang membuat INKA percaya diri menaikkan target ekspor yang lebih tinggi untuk menguasai pasar Asia Selatan dan Afrika. Langkah pertama diambil INKA dengan menjalin kerja sama dengan Mesir dan Sri Lanka.
“Kami sudah membangun hubungan dengan Mesir, sehingga menjadi hak kami untuk mengembangkan produk ke sana,” kata Direktur Keuangan dan SDM INKA, Muhammad Nur Sodiq, dikutip dari laman Inka.co,id.
INKA juga cukup percaya diri dengan target tersebut karena pemerintah terus mendukung industri kereta dalam negeri. INKA didukung dengan modal Rp1 triliun. Tak hanya itu, pemerintah juga memfasilitasi dengan kredit ekspor melalui Exim Bank. Kredit tersebut dapat digunakan untuk pendanaan ekspor dengan bunga yang murah sehingga INKA dapat berkompetisi dengan produsen kereta negara lain.
Meskipun lawan yang dihadapi adalah Cina dan India, INKA tak gentar. Padahal perusahaan Cina yakni Daqin Railway adalah salah satu penguasa global pada industri kereta dunia dengan market value mencapai 15 miliar dolar AS. Indonesia juga harus menghadapi India yang menguasai pasar industri kereta di Asia Selatan.
Ironi Negara Produsen
Di tengah kebanggaan itu, Indonesia justru sebagai konsumen tetap produk kereta bekas impor untuk keperluan kereta rel listrik (KRL). Pada 2015, PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) membeli 120 gerbong KRL bekas asal Jepang. Kereta bekas tersebut buatan 1985 milik Japan Railway (JR) East. Awal Januari lalu adalah tahap akhir pengiriman kereta bekas dari Jepang untuk pembelian 2015. Pada 2013, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) melalui KCJ juga mengimpor 180 unit gerbong kereta dari JR East senilai Rp180 miliar.
Sayangnya, kereta bekas yang diimpor dalam kondisi sudah berusia hingga 30 tahun. Kereta Jepang umumnya dibuat untuk masa pakai hingga 50 tahun. Kereta yang mulai mencapai usia 30 tahun, biaya perawatannya akan semakin mahal. Atas alasan inilah pemerintah Jepang menjual atau menghancurkan kereta yang berusia 30 tahun. Jepang juga punya standar batas maksimal usia kereta, sedangkan Indonesia sebaliknya.
Namun, Indonesia malah membelinya dengan alasan harganya lebih murah daripada kereta baru impor termasuk buatan dalam negeri. Satu gerbong kereta bekas harganya hanya Rp800 juta hingga Rp1 miliar, sedangkan harga untuk satu gerbong baru dapat mencapai Rp10 miliar hingga Rp12 miliar. Untuk itulah, kereta bekas pun menjadi pilihan KAI untuk efisiensi pengeluaran. Pemerintah juga mendukung strategi ini, selain pertimbangan harga dan pertimbangan kondisi yang masih dianggap layak.
"Barang second Jepang itu terpelihara dengan baik dan masih laik dipakai," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla, dikutip dari Antara.
Kebutuhan yang mendesak karena adanya peningkatan penumpang juga menjadi alasan pemerintah untuk membeli kereta bekas dari Jepang tanpa harus menunggu proses pemesanan dan pembuatan. Selain itu, gerbong kereta Jepang yang memiliki spesifikasi yang sama dengan Indonesia. Misalnya soal spesifikasi lebar rel 1,7 meter sedangkan rel kereta Eropa lebih lebar.
Saat Ignasius Jonan masih menjabat sebagai menteri perhubungan pernah mengungkapkan bahwa INKA belum dapat memproduksi kereta untuk keperluan kereta angkutan penumpang seperti KRL karena masih lemah dalam aspek keselamatan. Saat Jonan masih sebagai orang nomor satu di PT KAI juga menyampaikan sikap yang sama. Namun, bukan berarti INKA tak pernah memproduksi KRL. Indonesia sudah memproduksi KRL sejak tahun 1987. Bahkan pada 2012, KRL dengan fasilitas AC juga sudah diproduksi.
Persoalan standar dan kelaikan ini memang sangat relatif, bagi Indonesia menganggap KRL bekas asal Jepang masih layak, sedangkan Jepang sebaliknya. Sama hal seperti kereta buatan PT INKA yang dianggap belum memenuhi aspek keselamatan, tapi kenyataannya banyak negara dunia ketiga mengimpornya. Yang pasti ini sebuah kenyataan yang cukup ironi bagi Indonesia, sebagai sebuah negara produsen kereta.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti