Menuju konten utama

Ironi Jacques Verges: Pengacara Kiri tapi Bela Jagal Nazi

Tumbuh dalam lingkungan pergerakan kiri, Jacques Verges tua membela para penjahat kemanusiaan.

Ironi Jacques Verges: Pengacara Kiri tapi Bela Jagal Nazi
Pengacara Perancis Jacques Verges, difoto pada 24 September 1985 di kantornya di Paris, Prancis, AP Photo/Herve Merliac

tirto.id - Anda boleh menyebut Jacques Vergès bajingan. Ia takkan peduli. Ia mungkin hanya akan mengisap cerutunya dalam-dalam sembari menatap Anda dengan sinis—barangkali juga tersenyum licik.

Bagi Vergès, ia hanya menjalankan prinsip yang ia yakini dan pegang teguh. Prinsip inilah yang kemudian menjadikannya pengacara sekaligus pelaku sejarah yang penuh paradoks.

Vergès seorang advokat berkewarganegaraan Perancis. Bila menyimak deretan kliennya, ia jelas bukan sembarang advokat: Anda akan menemukan penjahat perang hingga teroris. Atas nama equality before the law—kesetaraan di muka hukum—semua dibela Vergès dengan sehormat-hormatnya dan sebaik-baiknya.

Apakah Vergès menyesali keputusannya?

Hingga ajal menjemputnya, pada Agustus 2013, penyesalan itu tak pernah terlihat.

Mengubah Opini Publik

Vergès lahir di Thailand pada 1925, dari rahim seorang ibu asal Vietnam dan ayah dari Perancis. Masa kecil Vergès tak ideal. Orangtuanya tak bisa hidup bersama karena otoritas kolonial Perancis melarang pernikahan antar-ras. Ibunya sendiri meninggal dunia saat Vergès masih berusia tiga tahun.

Lahir dari pasangan campuran kelak turut mengeraskan sikap anti-kolonialisme Vergès.

Tapi, pada 1942, Vergès mendaftarkan diri ke Forces françaises libres, pasukan Perancispimpinan Jenderal Charles de Gaulle yang berada di pengasingan. Sebagaimana ditulis The Guardian, ia bergabung untuk melawan pendudukan Nazi Jerman di negerinya.

Alasan lain Vergès bergabung: terinspirasi semangat Revolusi Perancis. "Buat saya, Perancis bukan soal koloni. Perancis adalah Montaigne, Diderot, dan Revolusi," tuturnya dalam film dokumenter L'Avocat de la Terreur (2007) yang disutradari Barbet Schroeder. "Saya tidak bisa menerima seandainya Perancis terhapus dari peta dunia."

Setelah Jerman hengkang, Vergès menimba ilmu hukum di Universitas Paris. Di fase ini, ia mulai sering berkumpul dengan mahasiswa-mahasiswa kiri, sebelum akhirnya bergabung dengan Partai Komunis Perancis dan aktif dalam sejumlah gerakan anti-kolonialis. Perjumpaannya dengan marxisme turut membawanya berkenalan dengan Pol Pot, yang kelak jadi pemimpin Khmer Merah.

Vergès pula yang memuji Ketua PKI Dipa Nusantara Aidit sebagai "negarawan komunis besar" dalam sebuah pertemuan di Paris hanya beberapa bulan sebelum malam berdarah 1 Oktober 1965. Dalam Pretext for Mass Murder (2006), John Roosa menuturkan Aidit diutus Sukarno untuk menghadiri Konferensi Asia-Afrika II di kota Aljiers, Aljazair. Namun, karena di Aljiers tengah terjadi kudeta pada 19 Juni, pesawat delegasi indonesia dialihkan ke Paris. Sebagaimana dicatat Roosa, kudeta Boumedienne terhadap pemerintahan Ben Bella kelak menjadi salah satu inspirasi Gerakan 30 September.

Vergès mulai mendapat sorotan publik pada 1957. Kala itu, membela Djamila Bouhired, seorang aktivis kelompok Front Pembebasan Nasional Aljazair (FLN) yang melawan pendudukan Perancis. Djamila dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Perancis karena perannya dalam merancang aksi teror bom di beberapa kafe di Aljazair. Keputusan Vergès untuk membela Djamila didasari alasan bahwa Djamila disiksa secara brutal di dalam penjara.

Tak mudah bagi Vergès untuk menangani perkara Djamila. Selama persidangan berlangsung, Vergès didera tekanan publik. Pemerintah Perancis pun berupaya mempengaruhi netralitas hakim.

Vergès tak kehilangan akal. Ia meluncurkan strategi yang kelak dikenal sebagai “defense de rupture.” Poin utama dari strategi ini ialah menyerang hakim dengan argumen-argumen politis sampai “tidak ada lagi dialog” antara dua pihak.

Taktik Vergès pun berhasil. Pandangan yang disampaikan di pengadilan—bahwa Perancis juga jadi pihak yang bersalah karena melakukan penjajahan di Aljazair—memicu gelombang petisi, surat simpati, serta demonstrasi menuntut grasi untuk Djamila. Setelah itu Vergès berpikir bahwa satu-satunya cara untuk mempengaruhi keputusan pengadilan adalah beralih ke opini publik.

Vonis Djamila akhirnya bergeser dari yang semula hukuman mati jadi kurungan seumur hidup. Kendati tak sepenuhnya menang dalam pengadilan, Vergès setidaknya berhasil mencapai dua hal: menyelamatkan nyawa Djamila—sembari menyebarluaskan perjuangan FLN—dan membongkar bobroknya praktik kolonialisme Perancis di Aljazair.

Pencapaian Vergès rupanya bikin pemerintah Paris meradang. Izinnya sebagai pengacara dicabut. Vergès pun pindah ke Aljazair. Kelak ia menikah dengan Djamila dan terus mengampanyekan kemerdekaan Aljazair hingga referendum pada 1962.

Pada 1970, Vergès menghilang secara misterius selama kurang lebih dari delapan tahun. Ada banyak rumor yang berkembang saat itu. Ia digosipkan bergabung dengan pasukan Pol Pot sebagai penasihat, direkrut KGB, hingga ikut pelatihan kombatan Palestina. Tak satu pun dari rumor tersebut yang bisa dikonfirmasi kebenarannya.

Infografik Jacques Verges

Infografik Jacques Verges. tirto.id/Fuad

Makin Sulit Dipahami

Pada 1979, Vergès kembali muncul di publik dan tak pernah sekalipun memberikan penjelasan mengapa ia lenyap selama delapan tahun. Tak lama setelah itu, ia langsung mengurus kembali izin advokatnya.

Tak butuh waktu lama bagi Vergès untuk kembali beraksi. Awal warsa 1980-an, ia memutuskan untuk membela anggota Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP). Kemudian, Vergès pasang badan untuk Magdalena Kopp dari Fraksi Tentara Merah Jerman, yang ditangkap di Paris dengan membawa bahan peledak. Sampai di sini, karier Vergès terasa alamiah. Sebelumnya ia membela FLN yang kiri. Setelah menghilang dan kembali, ia tetap jadi pengacara kelompok-kelompok komunis bersenjata.

Pada akhir 1980-an, Vergès mulai kedatangan klien-klien ganjil yang bahkan berseberangan dengan kawan-kawan kirinya. Salah satunya mantan kepala Gestapo Klaus Barbie yang dibelanya pada 1987. Si “Jagal dari Lyon” ini didakwa melakukan 341 kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam persidangan, Vergès harus berhadapan dengan 39 advokat yang meminta Klaus dihukum berat. Keputusannya membela Klaus adalah ironi: mantan tentara Perancis yang bertempur melawan kini justru pasang badan untuk bekas jagal Nazi.

Sering membela klien yang “tidak biasa” sedikit-banyak mempengaruhi cara pandang Vergès dalam mengurus perkara di pengadilan. Dalam persidangan Klaus, misalnya, Vergès berpendapat bahwa segala bentuk penyiksaan yang diperintahkan oleh Klaus dan dilakukan centeng-centeng Nazi adalah “palsu”.

Ketika Vergès bekerja untuk Khie Samphan, mantan pemimpin Khmer Merah, ia juga menyatakan bahwa kematian sekitar dua juta warga Kamboja pada dekade 1970-an bukan genosida.

“Tidak ada genosida di Kamboja,” katanya kepada Spiegel.

Menurut Vergès, masih mengutip Spiegel, tingginya angka korban tewas di Kamboja akibat teror Khmer Merah telah dilebih-lebihkan. Jutaan orang mati di Kamboja karena kelaparan dan penyakit setelah Amerika Serikat melakukan blokade dan pemboman dari udara, alih-alih karena penyiksaan yang brutal dan sistematis oleh Khmer Merah, demikian kata Vergès.

Kontroversi pun jadi hal yang terus melekat pada diri Vergès. Pada 2011, ia sesumbar mengatakan bakal membela diktator asal Libya, Muammar Gaddafi, jika memang diperlukan. Tak hanya Gaddafi, Vergès juga mengatakan bersedia membela Slobodan Milosevic, si Tukang Jagal dari Balkan, di pengadilan.

“Saya bahkan akan membela Hitler. Saya juga akan menerima Osama bin Laden dan George W. Bush sebagai klien, selama dia mengaku bersalah,” tegasnya. “Ini merupakan kewajiban saya sebagai pengacara untuk membela siapa pun, terutama mereka yang mendapat tuduhan serius.”

Vergès menegaskan bahwa ia percaya setiap orang, apapun kejahatannya, berhak atas pengadilan yang adil sesuai prinsip dasar hukum. Publik, kata Vergès, selalu saja buru-buru melabeli orang-orang ini sebagai “monster”.

“Tapi, monster itu tidak ada. Sama seperti tidak ada kejahatan yang absolut,” terangnya. “Klien saya adalah manusia: orang dengan dua mata, dua tangan, jenis kelamin, dan emosi.”

Prinsip Vergès jelas: seorang pengacara punya kewajiban mengembalikan martabat klien dan kemudian menunjukkan sisi kebenarannya—sekalipun itu cuma secuil.

Tapi, tak semua klien Vergès adalah penjahat kelas kakap. Tak jarang Vergès membela orang-orang yang tersisih seperti gadis-gadis muslim yang ingin mengenakan jilbab di sekolah Perancis, pelacur, hingga pasien yang terpapar virus HIV lewat transfusi darah yang tercemar karena pemerintah memangkas anggaran untuk prosedur penyaringan.

Pers Eropa sering menjulukinya "Pengacara Setan" karena sederet kliennya yang punya predikat diktator atau pembunuh massal. Namun, dalam “Against the Law” (2009) yang dipublikasikan di The National, Stephanie Giry mengatakan Vergès justru tersanjung dengan julukan itu. Ia juga menikmati sorotan publik. "Argumen provokatif, kelihaian di dunia hukum, radikalisme politik, dan pernyataan-pernyataan sarat kontroversi", tulis Giry, membuat Vergès seperti "gabungan Alan Dershowitz, Noam Chomsky, dan Voltaire".

Hukum memang mengenal konsep keadilan bagi semua orang, termasuk pembunuh massal. Yang patut diuji dari klaim-klaim Vergès: benarkah pembelaannya terhadap para kriminal kelas berat selalu berhasil menelanjangi kolonialisme Barat?

Baca juga artikel terkait NAZI atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Hukum
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf