Menuju konten utama

"Institusi Riset untuk Publik Masih Asing"

Kami mewawancarai Dr. R. Hendrian, M.Sc. yang kini menjabat sebagai Plt. Direktur Kemitraan Riset dan Inovasi BRIN.

Perjanjian Kerjasama Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan (BP2TPTH) - Badan Litbang dan Inovasi (BLI) Kementerian LHK, bertempat di Kebun Raya Bogor melakukan penandatanagan Surat Perjanjian Kerjasama (PKS) dengan Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya (P2KTKR) – LIPI, senin, (14/10/2019). (FOTO/Koleksi Pribadi)

tirto.id -

Wawancara dengan Dr. R. Hendrian, M.Sc.

Pemerintah resmi menetapkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagai satu-satunya badan yang bertugas untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran, dan penyelenggaraan keantariksaan secara nasional yang terintegrasi.

Wawancara kami dengan Dr. R. Hendrian, M.Sc. yang kini menjabat sebagai Plt. Direktur Kemitraan Riset dan Inovasi BRIN (berada di bawah Deputi Bidang Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN) berusaha mengintip sisi personal pejabat Pelaksana Tugas yang pernah mengenyam pendidikan di bidang taksonomi dari Universitas Leiden, Belanda. Saat ini tugas utamanya di BRIN adalah melakukan inisiasi kerjasama di bidang riset dan inovasi; serta memberikan layanan kerjasama, termasuk dalam hal percepatan pemanfaatan hasil riset dan inovasi, pengembangan kawasan Kebun Raya dan inisiasi Science Center.

Bersama Pegawai di Purwodadi

Dr.R. Hendrian M.Sc. berfoto bersama pegawai di Purwodadi. (FOTO/Koleksi Pribadi)

Bagaimana awalnya memilih pekerjaan yang terkait agrikultur atau kebun?

Saya mulai bekerja di Kebun Raya pada tahun 1994. Saat itu yang menjabat sebagai Direktur Kebun Raya adalah Dr. Suhirman. Beliau sangat mendorong peneliti muda untuk memperdalam ilmu, termasuk dengan mengirimkan kami-kami ini – para peneliti muda Kebun Raya, ke luar (negeri, red.), dan berguru pada peneliti-peneliti kaliber dunia. Kemudian, dibagilah kami—angkatan kami berjumlah delapan orang—untuk memilih plant family tertentu untuk ditekuni; dan saya memilih family Apocynaceae.

Setelah melakukan penelusuran pustaka, tahulah saya bahwa ahli Apocynaceae ada di Leiden. Dr. David Middleton namanya. Beliau bekerja di Naturalis (Naturalis Biodiversity Centre, Leiden). Kemudian saya pun dikirim Pak Suhirman ke sana. Saat itu bukan untuk menempuh studi S2, melainkan dalam rangka mengerjakan project revisi. Itu pertama kalinya saya ke Leiden. Saya mendapatkan kesan bahwa untuk ilmu taksonomi tumbuhan, apalagi untuk kawasan Malesia, Leiden adalah tempat nomor satu karena koleksi herbarium yang disimpan di Leiden fokusnya memang untuk flora yang ada di kawasan Malesia. Jadi, siapapun yang ingin meneliti tumbuhan di kawasan Malesia, saya kira harus ke Naturalis. Bahwa bisa saja kelak profesornya sudah berganti-ganti, itu tidak masalah tapi resources-nya ada di sana, dalam hal ini herbarium dan spesialisasi atau fokusnya. Rata-rata peneliti yang bekerja di sana memang berfokus pada tumbuhan kawasan Malesia.

Sebetulnya orang seperti saya (yang bekerja di Kebun Raya) bisa juga memilih Wageningen University jika interest-nya adalah lebih ke agrikultur. Namun karena saya lebih tertarik pada bidang taksonomi, nasib pun membawa saya ke Leiden. Sewaktu S1, kuliah taksonomi buat saya terasa sangat membosankan. Menghafal karakter, nama, dan klasifikasinya. Namun di bawah bimbingan David Middleton, saya merasakan soul yang lebih dalam dari taksonomi. Bukan sekadar menghafal tetapi juga melacak, menelusur, dan menetapkan. Mengapa sebuah tumbuhan diberi nama tertentu, mengapa muncul sinonim, mengapa ada kerancuan, bagaimana mengetahui nama yang valid, mengapa ada berbagai versi klasifikasi, bagaimana duduk perkaranya, dan sebagainya. Menjadi taksonom adalah seperti layaknya seorang Sherlock Holmes yang mencari bukti-bukti, menguji bukti, membandingkan fakta-fakta, dan mencari hubungan antara yang satu dengan yang lain. Kalau kita duduk di sana, waktu berlalu begitu cepat. Dikelilingi buku-buku dan spesimen herbarium, sejak pagi hingga jam 8 malam pun tidak terasa. Saya sangat menikmati masa-masa itu.

Jadi, kalau anda tertarik pada taksonomi tumbuhan, khususnya tumbuhan di kawasan Malesia, datanglah ke Leiden. Di sana tersimpan koleksi yang luar biasa.

Kunjungan pertama masih dalam kunjungan proyek singkat?

Ya. Kemudian, berkenalanlah saya dengan Prof. Pieter Baas dan Dr. Marco Roos. Saya pun disarankan untuk ambil S2. Setelah itu, kalau tidak salah setelah dua kali ke sana, saya cari beasiswa. Saya pun berhasil memperoleh beasiswa dari StuNed dan meminta Marco Roos untuk menjadi pembimbing. Jadi, saya kembali lagi ke Leiden untuk kuliah S2. Itu sekitar 1999, kalau tidak salah.

Bagaimana hidup di Leiden saat itu?

Menurut saya Belanda itu egaliter dan terbuka. Kalau anda mencari suasana yang egaliter, terbuka, open mind, Belanda adalah tempat yang baik. Di Belanda, profesor lebih mirip coach. Hanya mengarahkan, mereka akan membiarkan kita mengembangkan ide-ide, dan kemudian membimbing dalam proses pematangan ide tersebut. Kalau lebih suka dengan keleluasaan berpikir dan berkreasi, Belanda itu tempat yang asik. Diskusi thesis seringkali dilakukan di kafe. Sangat santai, namun di sisi lain juga tentu saja sangat serius. Itu kesan pribadi yang saya rasakan. Tentu sangat subyektif, dan bisa jadi penilaian saya tersebut keliru.

Dari segi kehidupan sehari-hari, di sana mungkin bisa dibilang sepi. Tidak banyak mall. Tetapi, kalau memang kita datang untuk studi dan menyukai suasana serene, saya kira Leiden sangat pas. Tenang, klasik, dan tidak berkesan hingar bingar.

Untuk kebutuhan pokok, karena kami sibuk studi, biasanya kami belanja pas hari pasar. Ada hari-hari khusus dimana bermunculan pasar dadakan. Bahan-bahan makanan Indonesia juga mudah didapat. Walaupun demikian, sesekali terdorong juga untuk mencoba makanan khas Belanda, misalnya ikan haring yang dimakan mentah.

R Hendrian

Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya, DR. R. Hendrian, M.Sc. (FOTO/Koleksi Pribadi)

Bidang taksonomi masih penting sekarang ini?

Saya sangat berharap mudah-mudahan bidang studi taksonomi dan Rijksherbarium tetap dipertahankan. Saat ini banyak orang yang menganggap bahwa herbarium dan bidang taksonomi tumbuhan adalah masa lalu. History. Sekarang banyak yang cenderung berpindah ke pendekatan molekuler yang lebih modern. Bagi saya, pendekatan dan metodologi klasik juga tetap penting dan masih tetap dibutuhkan. Pendekatan morfologi tetap diperlukan. Keterampilan pengenalan morfologi masih tetap penting. Jika kita ekspedisi, masuk hutan belantara, yang kita lihat kan habitusnya, bunganya, buahnya. Bukan DNA nya.

Yang jadi kekhawatiran saya justru adalah, extinction bukan hanya dialami oleh spesies tumbuhan. Extinction suatu saat bisa juga dialami oleh ilmu taksonomi dan para taksonomnya; dan itu adalah sebuah kehilangan yang besar. Untuk negara seperti Indonesia, yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi, menurut saya ilmu dasar seperti plant taxonomy masih sangat diperlukan.

Yang Bapak rasakan selama 2 tahun kuliah di Leiden dalam karir Bapak?

Di Leiden bentuk asli kota tetap terpelihara baik. Gedung, jembatan, jalan, gereja, gudang senjata (arsenal), benteng, kanal-kanal. Situs-situs bersejarah tetap dipelihara. Modernisasi tentu saja berjalan dengan sangat baik, namun itu dilakukan tanpa mengubah identitas kota. Tanpa harus menghilangkan sejarah. Buku-buku tua dan catatan-catatan penting terdokumentasikan dengan sangat apik. Museum pun tetap hidup. Masyarakatnya tampak menerima ‘cara pengelolaan’ itu dengan baik. Mereka nyaman dengan kehidupan kota yang seperti itu. Modern dalam ‘isi’ (cara pikir, pengetahuan, tata kelola, sistem, inovasi, peralatan, dll). Bukan sekedar modern dalam bentuk bungkus yang semu. Saya kira ini salah satu pelajaran penting yang bisa dipetik.

Sekarang di Belanda ada diskusi dekolonisasi, salah satunya tentang Kebun Raya karena dulu didirikan demi keuntungan, untuk “economic botany”. Menurut Bapak bagaimana?

Suatu situasi tentu tidak dapat kita lihat melalui sudut pandang tunggal. Spektrumnya luas. Pembangunan Kebun Raya Bogor pada sekian ratus tahun lalu juga berdampak positif. Bahwa ada sisi economic botany untuk kepentingan perdagangan memang betul. Tapi aspek positifnya juga banyak. Di situ dibangun laboratorium yang disebut Laboratorium Treub. Satu laboratorium yang pernah menjadi pusat penelitian botani tropika berkelas dunia. Itu mengangkat nama Kebun Raya Bogor di mata dunia.

Sekarang kalau kita melihat kota Bogor dari angkasa, bird’s eye view, Kebun Raya Bogor bagaikan sepotong kecil warna hijau yang dikelilingi warna coklat. Jadi selain berperan penting dalam penyelamatan keanekaragaman tumbuhan, Kebun Raya Bogor juga memberikan jasa lingkungan (ecosystem services) yang tidak kecil, khususnya kepada kota Bogor.

Bagaimana perubahan untuk Bapak, pindah dari Kebun Raya ke bagian kemitraan BRIN?

Sejak September tahun ini saya memang ditugaskan di Direktorat Kemitraan Riset dan Inovasi, yang berada di bawah Kedeputian Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN. Tentu saja saya harus beradaptasi dengan cepat. Belajar, belajar dan belajar. Tentang berbagai hal baru, situasi baru, tantangan baru.

Peran saya saat ini lebih kepada menjembatani apa yang dimiliki dan dihasilkan oleh BRIN dengan apa yang dibutuhkan oleh partners dan stakeholders, sehingga pemanfaatan hasil riset dan inovasi lebih bisa ditingkatkan secara luas.

Terkait dengan posisi saya di Direktorat Kemitraan Riset dan Inovasi, mungkin perlu juga saya sampaikan, bahwa untuk kemitraan Kebun Raya (Bogor, Cibinong, Cibodas, Purwodadi, dan Bali) pengelolaannya tidak berada di Direktorat kami, namun oleh Direktorat Penguatan Kemitraan Infrastruktur Riset dan Inovasi, yang berada di bawah Kedeputian Bidang Infrastruktur Riset dan Inovasi.

Masyarakat bisa menghargai pentingnya riset dan inovasi hanya jika hasil-hasilnyabetul-betul bisa dirasakan secara konkrit. Kalau tidak memberikan dampak konkrit,bisa jadi akan muncul kritik-kritik dan pandangan bahwa kegiatan riset hanya menghabiskan uang negara tanpa hasil.

Semua restrukturisasi BRIN akan berapa lama menurut Bapak?

Salah satu yang mungkin agak berat adalah segera menyamakan mindset dan kultur kerja. Tapi tidak mengapa, karena dimana-mana masa transisi itu selalu berat. Kalau soal teknis sih semoga tidak menjadi tantangan besar. Walaupun tentu saja akan membutuhkan waktu. Satu lagi, selama masa transisi, informasi juga harus dapat terdistribusikan dan tersosialisasikan dengan baik, sembari terus meminimalisir bias-bias informasi yang mungkin timbul. Mungkin nampaknya sederhana, tapi menurut saya penting.

Satu pertanyaan terakhir, what is your motto in life?

Wah apa ya... Saya cenderung simpel-simpel saja, tidak neko-neko. Kerjakan saja apa yang seharusnya dikerjakan, apa yang ditugaskan, semampu yang kita bisa.

Do the best with what you can with the time you have at hand?

Betul sekali. Saya tidak suka berteori-teori, omong begini dan begitu, tapi malah tidak jadi apa-apa. Sungguh-sungguh dan konkrit ! Itu saja.

Terimakasih ya, sudah diundang. Sampai jumpa lagi. []

Profil

Nama : Dr. R. Hendrian, M.Sc.

Tempat dan tanggal lahir : Jakarta, 21 November 1966

Riwayat Pendidikan

S3 di Tokyo University of Agriculture – Jepang

S2 di Leiden University – Belanda

S1 di Jurusan Biologi, FMIPA UI – Indonesia

SMAN 12, Jakarta Timur

Riwayat Pekerjaan

Plt. Direktur Kemitraan Riset dan Inovasi BRIN (September 2021—sekarang)

Kepala Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya LIPI (September 2019—

September 2021)

Kepala BKT Kebun Raya Cibodas LIPI (November 2017—September 2019)

Kepala BKT Kebun Raya Purwodadi LIPI (Januari 2012—November 2017)

Peneliti Pusat Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya LIPI (1994—Januari 2012)

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis