Menuju konten utama

Ini Syarat PLTU yang Boleh Dibangun dan Beroperasi hingga 2050

Presiden Joko Widodo masih mengizinkan pengembangan PLTU yang sudah ditetapkan dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik untuk tetap dilanjutkan.

Ini Syarat PLTU yang Boleh Dibangun dan Beroperasi hingga 2050
Area pemukiman di sekitar PLTU Suralaya (3/6/2021). Warga Suralaya, Cilegon, Banten mengalami berbagai masalah kesehatan dan kegagalan panen akibat polusi udara dan debu batubara yang dihasilkan oleh PLTU Suralaya. (tirto/Bhagavad Sambadha)

tirto.id - Presiden Joko Widodo resmi meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Dalam Perpres tersebut diputuskan untuk tidak lagi mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara yang baru.

Tetapi Jokowi masih mengizinkan pengembangan PLTU yang sudah ditetapkan dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) untuk tetap dilanjutkan. Hal itu tertuang dalam pasal 3 poin 4.

Pertama, PLTU yang memenuhi persyaratan terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi. Tujuannya untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk dalam Proyek Strategis Nasional yang memiliki kontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja dan/atau pertumbuhan ekonomi nasional.

Kedua, PLTU yang berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca minimal 35 persen dalam jangka waktu 10 tahun sejak PLTU beroperasi. Perbandingannya dengan rata-rata emisi PLTU di Indonesia pada 2021 melalui pengembangan teknologi,carbon offset, dan/atau bauran energi terbarukan.

"Dan ketiga beroperasi paling lama sampai dengan tahun 2050," bunyi Perpres tersebut.

Selanjutnya dalam upaya meningkatkan proporsi energi terbarukan dalam bauran energi listrik, PT PLN (Persero) melakukan percepatan pengakhiran waktu operasi PLTU milik sendiri dan atau kontrak PJBL PLTU yang dikembangkan oleh PPL.

Dalam hal pelaksanaan percepatan pengakhiran waktu operasi PLTU, sebagaimana dimaksud di atas memerlukan penggantian energi listrik, dapat digantikan dengan pembangkit energi terbarukan dengan mempertimbangkan kondisi penyediaan (supply) dan permintaan (demand) listrik.

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, Irwandy Arif menjelaskan, bahwa mempensiunkan PLTU juga harus disesuaikan dengan supply dan demand kebutuhan nasional. Sehingga tidak mengganggu stabilitas kelistrikan nasional.

Sementara itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Ridwan Djamaluddin mengungkapkan, bahwa dalam transisi energi juga harus memperhatikan realita bahwa batu bara saat ini masih menjadi pemasok energi paling besar.

"Transisi energi harus diatur yaitu, dengan berkeadilan, artinya bagi kita memang memiliki batu bara jadi masih bisa menggunakan apa yang kita punya dan juga berkelanjutan, jangan sampai nanti tertekan sehingga tidak maksimal pemanfaatannya," jelasnya.

Pemanfaatan batu bara dalam transisi energi melalui pengembangan teknologi diharapkan bisa menjadi lebih bersih sehingga dapat menekan emisi yang timbul dari batu bara. "Kalau pembangkit kan sudah ada yang ultra supercritical, kemudian dengan teknologi co-firing yang memanfaatkan biomassa," imbuh Ridwan.

Selain bahan baku untuk listrik, batu bara juga dapat dipergunakan untuk produk turunan yang lain, yaitu sebagai carbon aktif, dimethyl ether (DME), gasifikasi ke methanol, briket, dan lainnya.

"Saya kira arahnya kesana (pemanfaatan turunan batu bara), Namun, yang penting sekarang selain penguasaan teknologi itu adalah rangka waktunya, kita perlu waktu untuk menyesuaikan cita-cita ideal yang diinginkan global," tutupnya.

Baca juga artikel terkait PROYEK PLTU atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin