tirto.id - Aliansi Perangkat Lunak atau BSA (The Software Alliance) menyatakan, data pada 2017 menunjukkan bahwa sebesar 83 persen software yang beredar di Indonesia adalah bajakan.
Penggunaan perangkat lunak tidak berlisensi atau bajakan di Indonesia hingga saat ini pun patut menjadi perhatian.
Dalam acara kampanye Legalize and Protect yang berlangsung di Jakarta, Tarun Sawney, selaku Senior Director BSA, menjelaskan rata-rata penggunaan software tidak berlisensi adalah 57 persen, sementara di Indonesia mencapai 83 persen, sehingga diklaim sebagai salah satu yang tertinggi di dunia.
“Di kawasan Asia Pasifik, rata-rata penggunaan software tidak berlisensi adalah 57 persen, sementara di Indonesia sendiri mencapai 83 persen. Ini tinggi sekali, bahkan termasuk angka tertinggi di dunia,” katanya di Jakarta pada, Senin (18/3/2019) kemarin.
BSA gencar berkampanye “Legalize and Protect” di beberapa negara Asean termasuk Indonesia, guna menjangkau pada pebisnis agar menggunakan software legal atau berlisensi untuk pencegahan dari risiko terkena serangan siber.
Tarun mengatakan, selain terkena serangan siber, data pengguna juga bisa hilang dan pemulihannya akan memakan waktu cukup lama, hal ini juga berpotensi membuat perusahaan atau bisnis mengalami kerugian besar.
“Kita kadang berpikir kalau ini tidak akan terjadi sama kita dan ini salah. Jika terjadi, biaya yang dikeluarkan akan sangat besar dan bisa membuat perusahaan itu tutup. Uang yang kita keluarkan untuk membeli software berlisensi akan melindungi kita,” ungkap Tarun.
Menurut Tarun, menggunakan software bajakan akan berpeluang terkena serangan malware hingga 29 persen. Namun, ia juga tidak menjamin bahwa penggunaan software berlisensi akan terhindar dari serangan siber. Setidaknya software berlisensi akan meminimalisir dan menjadi benteng pertama untuk perlindungan.
“Dalam Kampanye ini, kita akan meningkatkan kesadaran akan pentingnya menggunakan software berlisensi. Ini sangat penting untuk meningkatkan produktivitas kerja perusahaan, keamanan data, serta menjaga reputasi perusahaan. Sebab bila sebuah perusahaan mengalami serangan malware, itu bisa menyebabkan kerusakan reputasi dan kerugian bisnis yang besar,” pungkas Tarun.
Editor: Yandri Daniel Damaledo