tirto.id - Pemerintah mengaku memiliki keterbatasan ruang dalam mengontrol, menangani, dan mengawasi perusahaan-perusahaan yang menggunakan software bajakan atau tidak berlisensi.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Seksi Pencegahan Direktorat DJKI, Kementerian Hukum dan HAM, Anang Pratama dalam acara kampanye "BSA: Legalize and Protect" di Jakarta, Senin (18/3/2019).
"Sesuai regulasi, penegakan hukum terkait dengan software bajakan ada UU Nomor 28 Tahun 2014. Jadi, apabila tidak ada aduan atau pencatatan dari masyarakat, maka kami akan mengalami kesulitan karena tidak bisa melakukan langkah hukum," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Kasubdit Pencegahan dan Penyelesaian Sengketa Kementerian Hukum dan HAM, Irbar Susanto mengatakan, masalah software bajakan juga menghambat pemerintah untuk melakukan kerja sama dengan pihak eksternal dalam menanggulangi pembajakan software.
Irbar menjelaskan, dalam kurun 2015-2018, hanya ada 100 perusahaan software yang mendaftarkan hak ciptanya ke pemerintah. Menurutnya, itu dipengaruhi tidak adanya kewajiban bagi perusahaan-perusahaan software untuk mendaftarkan hak ciptanya.
Sementara itu, menurut laporan "Legalize and Protect: A Campaign To End Corporate Use of Unlicensed Software in Indonesia" yang dirilis BSA, persentase penggunaan software bajakan di Indonesia pada tahun 2017 tercatat sebagai yang tertinggi untuk kawasan Asia Pasifik, yakni 83 persen. Angka ini juga disebut sebagai yang tertinggi di dunia.
"Di kawasan Asia Pasifik, rata-rata penggunaan software tidak berlisensi adalah 57 persen, sementara di Indonesia persentasenya mencapai 83 persen. Ini tinggi sekali, bahkan termasuk yang tertinggi di dunia," kata Senior Director BSA, Tarun Sawney pada kesempatan yang sama.
Penulis: Genda Omaryhara
Editor: Ibnu Azis