tirto.id - Pemerintah Indonesia harus mewaspadai buku putih Cina yang berisi klaim atas sebagian besar Laut Cina Selatan dengan berbagai kepulauannya. Hal itu diutarakan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana di Jakarta, Jumat (15/7).
"Dalam buku putih ini Cina mengklaim sebagian besar Laut Cina Selatan dengan berbagai kepulauannya, namun tidak didasarkan pada Sembilan Garis Putus," ujar Hikmahanto.
Segera setelah adanya putusan Arbitrase antara Filipina melawan Cina, pemerintah Cina mengeluarkan buku putih (white paper) dengan judul "Cina Adheres to the Position of Settling Through Negotiation the Relevant Disputes Between Cina and the Philippines in the South Cina Sea".
Hikmahanto mengatakan klaim Cina didasarkan pada penguasaan kepulauan Nanhai Zhudao atau yang lebih populer sebagai kepulauan Spratly yang telah berlangsung selama 2000 tahun. Menurut buku putih ini, Filipinalah yang telah melakukan pendudukan atas kepulauan Nanhai Zhudao.
"Dalam buku putih ini Cina juga mengklaim adanya maritime rights and interests. Istilah maritime rights and interests digunakan Cina terhadap Indonesia saat terjadi insiden penegakan hukum di ZEE Indonesia di Natuna atas nelayan Cina pada bulan Juni lalu," ujar Guru Besar itu.
Indonesia harus waspada bukan hanya karena Cina tidak mengakui putusan Arbitrase. Klaim Cina kali ini dimirip-miripkan dengan ketentuan yang ada dalam UNCLOS.
Oleh karenanya, lanjut dia, pemerintah Indonesia harus segera menyikapi buku putih yang dikeluarkan oleh pemerintah Cina sebagai tindakan yang tidak bersahabat pascaputusan Arbitrase.
"Pemerintah perlu mengulang kembali agar semua pihak, termasuk Cina, untuk mematuhi hukum internasional dan UNCLOS," kata dia.
Bahkan, ia menegaskan, bila perlu pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintah menyambut dan mengapresiasi putusan Arbitrase sehingga Indonesia menafikan buku putih yang diterbitkan oleh pemerintah Cina.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari