tirto.id - Sebagai negara dengan populasi terbesar ke-4 di dunia, tidak ada potensi industri yang lebih besar yang dapat digali di Tanah Air selain sumber daya manusia. Inilah yang disebut ujung tombak perekonomian negara antara tahun 2020 hingga 2030. Pada periode tersebut, jumlah penduduk berusia produktif di Indonesia mencapai 70 persen.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin menegaskan, puncak bonus demografi akan terjadi terutama pada tahun 2028-2030. Pada masa dua tahun tersebut, 100 orang produktif menanggung 44 orang non-produktif. Retorika yang sangat menjanjikan.
Apa yang terjadi jika Indonesia tidak dapat memanfaatkan keunggulan itu? Bencana pengangguran. Meski pemerintahan Presiden Joko Widodo telah memasukkan bonus demografi ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, yang terjadi saat ini adalah Indonesia masih bergerak menuju ke arah bencana.
Presiden Jokowi beberapa waktu lalu menyebut bonus demografi sebagai pedang bermata dua. Menguntungkan jika mampu dikelola dengan baik, namun bencana jika kualitas manusia Indonesia tidak disiapkan dengan baik. Hal terakhir inilah yang masih menghantui Indonesia. Masalah klasik, yakni jurang lebar antara dunia akademik dan industri, masih menjadi salah satu biang utamanya.
Dalam laporan yang dirilis oleh lembaga konsultan bank dan keuangan global J.P. Morgan dan Singapore Management University (SMU) pada awal bulan ini, Indonesia tercatat memiliki tingkat pengangguran anak muda tertinggi pada kelompok umur 15-24 tahun (sebesar 18,3 persen berdasarkan data BPS tahun 2014) di antara negara lima negara ASEAN, yakni Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina.
Menurut laporan dari Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2016, hanya sedikit lulusan pendidikan menengah yang mendapatkan pekerjaan sebelum mereka lulus. Sebanyak satu dari tiga penganggur muda masih saja belum mendapatkan pekerjaan 12 bulan berselang.
Laporan ADB tersebut menyebutkan, kasus ini terutama terjadi pada kaum muda dengan pendidikan tinggi [tertiary education]. Ekspektasi tinggi para lulusan akan pekerjaan dinilai menjadi penyebab keadaan itu, namun J.P. Morgan dan SMU menilai bahwa hal tersebut juga merefleksikan tidak cocoknya kecakapan yang mereka miliki dan kecakapan yang dunia industri inginkan.
Di sisi lain, proses beralihnya model ekonomi Indonesia dari yang sebelumnya lebih berbasis pada pertanian menjadi model yang lebih berbasis pada industri membuat semakin tingginya permintaan akan tenaga kerja yang memiliki keterampilan atau semi-terampil.
Namun demikian, Studi dari J.P. Morgan dan SMU mencatat hingga saat ini, hanya 16 persen dari lulusan pendidikan tinggi yang berasal dari bidang yang terkait dengan teknik, konstruksi, dan manufaktur - keterampilan inti yang diperlukan dalam ekonomi yang bergerak ke arah industri.
Jurang yang Dalam
Indonesia jelas-jelas tengah menghadapi jurang yang begitu dalam untuk menjembatani apa yang dunia akademi hasilkan dan apa yang dunia industri inginkan.
Laporan World Economic Forum pada tahun 2015 menggarisbawahi bahwa Indonesia saat ini sedang kekurangan akut akan SDM yang mampu duduk di kursi manajerial, di mana pada tahun 2020 diproyeksikan jika negeri ini hanya mampu menyediakan 56 persen dari kebutuhan SDM di posisi manajer tingkat menengah.
Mantan menteri perdagangan serta menteri pariwisata dan ekonomi kreatif, Mari Elka Pangestu mengatakan ada sejumlah faktor yang berkontribusi terhadap lebarnya jurang antara dua dunia tersebut. Beberapa di antaranya yakni kurangnya peralatan dan mesin yang relevan di sekolah-sekolah teknik dan kejuruan, kebijakan tenaga kerja yang ketat sehingga menghambat transfer teknologi dari perusahaan asing, dan dipekerjakannya pekerja terampil asing.
Pemerintah bukannya tanpa upaya. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution beberapa waktu lalu mengatakan bahwa pemerintah sedang berusaha untuk menciptakan apa yang disebut sebagai peta jalan (roadmap) program pemagangan dalam dan luar negeri untuk mengisi jurang tersebut.
"Kami sedang menggarapnya," kata Darmin, seperti dikutip dari The Jakarta Post.
Program tersebut, lanjut Darmin, diusahakan dapat berjalan awal tahun depan dengan melibatkan empat kementerian, yakni Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset Teknologi Dan Pendidikan Tinggi, dan Kementerian Ketenagakerjaan.
Namun, pendapat berbeda dikemukakan oleh Hadi Subhan, pakar hukum dan ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga. Ia mengatakan, pemerintah harus melakukan lebih dari hanya sekedar membuat peta jalan. "Hal itu tidak efektif. Sebaliknya, pemerintah seharusnya merevitalisasi pendidikan kejuruan [vokasi]," katanya.
Pendapat Hadi ada benarnya mengingat pendidikan kejuruan menitikberatkan pada pelatihan keterampilan bukan teori. Sayangnya, pendidikan kejuruan sering kali juga bukan merupakan solusi. Data terakhir dari BPS menunjukkan bahwa sekolah menengah kejuruan (SMK) ternyata menyumbangkan hampir 21 persen pengangguran dari total 7,56 juta penganggur.
Selain itu, masih terdapat pula stigma bahwa SMK maupun sekolah vokasi bukanlah merupakan pendidikan yang bergengsi. Perlu diketahui, hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja melainkan juga di belahan bumi yang lain.
John Bersin, pendiri lembaga riset Bersin by Deloitte, kepada Forbes menuliskan bahwa dalam riset yang dilakukan oleh lembaganya, hampir setiap negara lebih menghargai pendidikan tradisional daripada pendidikan vokasi, kecuali Jerman, di mana hanya 49 persen dari responden di negara itu yang mengatakan pendidikan akademik lebih berharga.
J.P. Morgan dan SMU dalam laporannya mencatat hal paling penting yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah menciptakan peta jalan pelatihan keterampilan yang komprehensif dengan penekanan pada pelatihan lulusan siap kerja di semua tingkatan pendidikan, termasuk di dalamnya merevisi kurikulum yang usang serta mengintensifkan konsultasi antara industri dengan sekolah terkait keterampilan yang dibutuhkan dan metode pelatihan.
Jerman mungkin dapat menjadi contoh yang tepat. Dengan banyaknya program apprenticeship, negara dengan perekonomian terkuat di benua Eropa itu dapat menekan tingkat penganggurannya menjadi hanya sebesar 4,2 persen pada bulan Agustus tahun ini, menjadikannya negara dengan tingkat pengangguran terendah kedua di Eropa, di bawah Republik Ceko.
Kini bukannya lagi gengsi akademisi dan dunia industri yang dipertaruhkan. Bencana sudah di depan mata, dan sinergi yang makin erat antara pemerintah, dunia pendidikan dan dunia industri akan semakin dibutuhkan. Sudah saatnya Indonesia terlepas dari masalah klasik ini.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara