Menuju konten utama

Indonesia dalam Bayang-Bayang Gelombang Pasang

Rob menjadi awal tenggelamnya wilayah pesisir karena kenaikan permukaan air laut secara berkelanjutan

Indonesia dalam Bayang-Bayang Gelombang Pasang
Warga melihat bangunan rumah makan yang rusak akibat diterjang ombak dan banjir rob di Desa Eretan Kulon, Kandanghaur, Indramayu, Jawa Barat, Senin (26/12/2022). Banjir rob yang disertai gelombang tinggi menyebabkan beberapa bangunan di sekitar pantai tersebut mengalami kerusakan. ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/tom.

tirto.id - Langit kelam menyapa Ibu Kota Jakarta dan kota lainnya di Indonesia beberapa minggu terakhir. Bahkan seminggu menjelang pergantian tahun 2023, masyarakat dibayangi kabar angin kencang, gelombang tinggi hingga peluang banjir.

Memasuki tahun baru 2023, headline berita yang menghiasi media cetak, online ataupun televisi masih seputar peringatan potensi gelombang tinggi yang menyebabkan banjir rob di wilayah pesisir Indonesia, tidak terkecuali Jakarta.

Melansir situs Universitas Gajah Mada (UGM), banjir rob atau banjir pasang surut air laut merupakan fenomena pola fluktuasi muka air laut yang dipengaruhi oleh gaya tarik benda angkasa, terutama oleh bulan dan matahari, terhadap massa air laut di bumi.

Alhasil, wilayah daratan sekitar laut (pesisir) berpotensi mengalami genangan air selama fenomena ini terjadi. Ditambah cuaca ekstrim berupa angin kencang, gelombang tinggi pun berisiko terjadi.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui siaran resminya menyebutkan bahwa fenomena bulan purnama yang berlangsung pada 6 Januari 2023 berpotensi meningkatkan permukaan pasang air laut maksimum.

Prediksi banjir rob muncul dari Sumatra hingga Papua. Banjir pesisir tersebut akan terjadi pada rentang hari dan jam yang berbeda di setiap wilayahnya. Pesisir utara Jakarta misalnya, diproyeksi mengalami banjir rob pada 3 Januari hingga 10 Januari 2023.

Sejatinya, gelombang tinggi atas pasang air laut bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan terjadinya banjir di wilayah pesisir Indonesia. Merujuk artikel kementerian kesehatan, setidaknya ada enam penyebab banjir pesisir (rob), yakni sebagai berikut:

  1. Fenomena pemanasan global yang meningkatkan kenaikan suhu berdampak pada kenaikan tinggi permukaan laut (sea level rise);
  2. Peningkatan intensitas hujan mengakibatkan aliran drainase dan fungsi tanggul tidak maksimal;
  3. Penurunan permukaan tanah yang terjadi karena eksploitasi air tanah berlebih atau perbedaan masa batuan antara permukaan dengan bawah tanah;
  4. Pasang surut air laut akibat faktor gravitasi
  5. Faktor eksternal seperti dorongan air, angina, atau gelombang yang terjadi dari jarak jauh;
  6. Fenomena badai yang sering terjadi di laut.
Lebih lanjut, studi Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, berjudul “Analisa Penyebab Banjir Rob di Kawasan Pesisir” menyebutkan temuan yang selaras. Mereka meneliti empat pesisir yakni Jakarta Utara, Semarang Timur, Brebes, dan Pekalongan.

Merujuk pada fenomena banjir rob dari keempat wilayah tersebut, penyebab dari banjir rob di kawasan pesisir diketahui didominasi oleh penurunan muka tanah (land subsidience) dan kenaikan muka air laut pada saat terjadi pasang air laut.

Faktor yang menjadi penyebab land subsidience adalah pengambilan air tanah secara berlebihan, pembukaan akibat tambang, konsolidasi tanah dan berat beban bangunan di atas permukaan tanah yang berlebih, dan perubahan iklim yakni kenaikan suhu atmosfer.

Dampak kenaikan muka air laut ini di antaranya adalah genangan dan amblasnya lahan basah di dataran rendah, kian rusaknya lahan dan kawasan akibat badai dan banjir, erosi pantai, dan peningkatan salinitas di daerah muara (air tawar menjadi lebih asin).

Proyeksi Kerugian Ekonomi

Banjir rob biasanya terjadi sementara. Dalam waktu beberapa jam hingga 2 hari, air akan surut sendiri. Namun faktanya, banjir rob merupakan proses awal dari tenggelamnya sebagian wilayah pesisir karena kenaikan permukaan air laut yang berkelanjutan.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dalam studinya menyebutkan bahwa setidaknya sepanjang 1.819 km pantai wilayah pesisir memiliki tingkat kerentanan (Coastal Vulnerability Index/CVI) tinggi, mayoritas di antaranya (yakni 904,51km) berada di kepulauan Sulawesi.

Kondisi tersebut akan berdampak pada pengurangan luas daratan akibat tenggelam oleh air laut, rusaknya ekosistem pesisir akibat gelombang pasang, berkurangnya areal persawahan, penurunan biodiversitas, dan sebagainya.

Lebih lanjut, studi Kompas bersama Climate Central menyebutkan bahwa sebanyak 199 kota pesisir Indonesia terancam oleh banjir rob tahunan pada 2050 dengan potensi kerugian mencapai Rp1.500 triliun.

Jakarta, sebagai ibu kota, hampir setengah wilayahnya (44,8%) diprediksi terendam banjir rob, dengan 46,3% penduduk akan terdampak. Banjarmasin bahkan lebih buruk. Mayoritas wilayahnya (85,5%) berpotensi terendam pada tahun 2050.

Proyeksi senada juga diangkat USAID yang menilai 75% kota besar Indonesia terletak di pesisir yang sangat rentan perubahan iklim. Kenaikan air laut akan menenggelamkan 2.000 pulau kecil pada 2050 yang berkonsekuensi pada hilangnya hunian 42 juta warga.

Infografik Penyebab Banjir Pesisir

Infografik Penyebab Banjir Pesisir. tirto.id/Fuad

Studi lain dari USAID menjabarkan bahwa kenaikan permukaan air laut mengakibatkan Ibu Pertiwi kehilangan nilai ekonomi hingga Rp17,2 triliun, yang mayoritas (84%) terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta.

Mempertimbangkan kondisi tersebut, pemerintah lokal dan pusat, beserta seluruh komponen masyarakat perlu mengambil langkah pencegahan untuk mengurangi potensi kerugian dalam beberapa dekade ke depan.

Studi Institut Teknologi Bandung (ITB) merekomendasikan adanya dua tipe mitigasi yang perlu dilakukan untuk mengurangi kerentanan kawasan pesisir Tanah Air, yakni mitigasi struktural dan non-struktural.

Upaya mitigasi struktural mencakup pembuatan sistem perlindungan pantai, meninggikan bangunan dan jalan, memindahkan fasilitas ke lahan daratan yang jauh dari pesisir, serta penyesuaian sistem drainase.

Adapun mitigasi non-struktural meliputi penyusunan kebijakan perlindungan pantai, regulasi izin bangunan di lahan rentan kenaikan permukaan air laut, pembangunan sistem peringatan dini, dan pembuatan peta kerentanan daerah yang rawan terhadap bencana.

Baca juga artikel terkait BANJIR ROB atau tulisan lainnya dari Dwi Ayuningtyas

tirto.id - Bisnis
Penulis: Dwi Ayuningtyas
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono