tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani mewaspadai tren pemburukan sejumlah indikator ekonomi di Agustus 2020. Hal ini menjadi masalah lantaran terjadi di tengah terus membaiknya kinerja industri manufaktur atau Prompt Manufacturing Index (PMI) di Agustus 2020.
“Kami sebut indikator PMI positif tapi dari pendukung lainnya menunjukan pemulihan masih dini dan rapuh,” ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KITA, Selasa (22/9/2020).
Data teranyar menunjukkan PMI Indonesia Agustus 2020 sudah menyentuh angka 50,8 poin di atas minimum 50 agar industri bisa dikategorikan berekspansi. Angka ini mengalami pembalikan usai sempat jatuh ke titik terendah 27,50 poin pada April 2020.
Sayangnya perbaikan dari PMI ini tidak diikuti oleh indikator lain. Sri Mulyani mencontohkan pertumbuhan konsumsi listrik mengalami penurunan lagi di Agustus 2020.
Awalnya pertumbuhan konsumsi listrik sudah sempat naik dari kontraksi 6,1% (April) menjadi positif 4,8% (Juli 2020). Namun, Agustus 2020 terjadi perlambatan di angka 1,1%. Penurunan paling tajam dialami oleh sektor industri setelah sempat naik di Juni 2020.
Data BPS dan Bea-Cukai menunjukan ekspor Agustus 2020 juga mengalami penurunan 4,62% secara month to month (mtom) padahal sempat tumbuh 14,1% mtom di Juni 2020.
Impor juga sama turun 2,75% di Juli 2020. Meski demikian ada kenaikan 2,65% di Agustus 2020.
Di samping itu, penerimaan negara dari impor atau bea masuk masih terkontraksi 9,55 persen yoy di Agustus 2020. Penerimaan bea keluar alias ekspor terkontraksi 6,94 persen yoy.
Sementara itu industri pengolahan masih mengalami kontraksi penerimaan pajak. Angkanya mencapai 16% yoy. Secara month to month, kontraksi Agustus 2020 mencapai 25,17%. Relatif lebih baik dari Juli 2020 kontraksi 28,9% tetapi lebih buruk dari Q2 2020 yang terkontraksi 23,58%.
“Meski PMI di atas 50. Kita masih harus berhati-hati melihat perkembangan perekonomian di Q3,” ucap Sri Mulyani.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Gilang Ramadhan