Menuju konten utama

INDEF: Target Penurunan Angka Kemiskinan Pada 2019 Sulit Tercapai

Salah satu tantangan dalam menurunkan angka kemiskinan menurut Inderf adalah stagnasi dari kinerja industri pengolahan non-migas yang merupakan penopang utama atau prime mover perekonomian.

Ilustrasi. Warga duduk di depan rumahnya di Dusun Salena, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (13/1). ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah.

tirto.id - Target pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan pada 2019 sebesar 9 persen, dinilai akan hadapi banyak tantangan.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka kemiskinan Indonesia di kisaran 9,82 persen pada Maret 2018, yang diklaim oleh Sri Mulyani sebagai angka terendah dalam sejarah Indonesia.

Salah satu tantangan beratnya adalah stagnasi dari kinerja industri pengolahan non-migas yang merupakan penopang utama atau prime mover perekonomian.

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, kinerja industri yang melemah akan berpengaruh ke serapan tenaga kerja. Kontribusi industri sebesar 14,1 persen dari total serapan tenaga kerja.

"Dalam 3 tahun terakhir pun rata-rata tambahan penduduk bekerja di sektor industri hanya 489 ribu orang turun dibanding periode 2010-2012 yang mencatatkan tambahan 758 ribu orang per tahunnya," ujar Bhima kepada Tirto pada Kamis (9/8/2018).

Pada triwulan I/2018, industri pengolahan non-migas hanya tumbuh 4,41 persen, lebih rendah dari triwulan I 2018 yang sebesar 5,07 persen. Ketika sektor industri pengolahan non-migas tumbuh rendah, maka pendapatan per kapita masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah bisa anjlok, salah satunya buruh.

"Yang tadinya masuk kategori rentan miskin bisa di bawah garis kemiskinan. Jadi pemerintah targetkan 9 persen di 2019 kelihatannya bakal sulit tercapai," ujar Bhima.

Ia mengatakan, hanya mengandalkan bantuan sosial (Bansos) tidak cukup, apalagi, kata Bhima, harga kebutuhan pokok cenderung mengalami kenaikan di semester II/2018.

Pada Juli, ada ayam dan telur yang mengalami kenaikan harga karena imported inflation, alias karena rupiah melemah hingga level Rp14.400 terhadap dolar AS, membuat biaya impor untuk pakan ternaknya naik.

"Itu perlu dibarengi oleh naiknya pendapatan masyarakat. Butuh dorongan sektor yang produktif dan berkelanjutan. Industrialisasi harga mati," kata Bhima.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Ah Maftuchan kemudian mengatakan bahwa target penurunan kemiskinan bisa tidak tercapai juga karena faktor dinamika politik.

"Maka Presiden Jokowi perlu memberikan pesan ke seluruh Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah untuk fokus saja ke penurunan kemiskinan. Jangan terganggu oleh dinamika politik dalam negeri," ujar Maftuchan pada Tirto pada Rabu (8/8/2018).

Baca juga artikel terkait KEMISKINAN atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Yandri Daniel Damaledo
-->