tirto.id - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Muhammad Zulfikar Rakhmat mengatakan, Cina perlu membenahi mekanisme pembayaran pinjaman yang dinilai memberatkan negara penerima pinjaman.
Salah satunya, kata dia, dapat dilakukan dengan memberikan ketentuan (term) jangka waktu pembayaran yang relatif lebih ringan pada negara penerima pinjaman.
Diketahui, Cina berupaya mempertahankan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Belt and Road Initiatives (BRI) dari kritik yang mengasosiasikan kerja sama itu dengan jebakan utang.
Sejumlah negara mengeluhkan kerja sama ini menguntungkan Cina. Selain itu, pembayaran hutang dari negara penerima pinjaman kemahalan.
"Permasalahan dari BRI ini adalah utang atau Cina debt trap. Gimana bisa menanggulanginya. Pemerintah Cina perlu memperpanjang term pembayaran utangnya," ucap Zulfikar saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (26/4/2019).
Zulfikar juga mengatakan, persoalan ini merupakan muara dari rencana pemerintah Cina untuk menjangkau negara-negara berkembang.
Menurut dia, ada fakta negara-negara yang menjadi sasaran kerja sama itu justru memiliki kemampuan membayar yang lemah.
"Perlu diketahui fokus Cina dalam BRI adalah negara-negara yang bisa dikatakan sebagai developing countries bukan negara maju," ucap Zulfikar.
Alhasil, kata dia, kasus seperti yang menimpa negara seperti Sri Lanka dan Pakistan kini menjadi bahan perbincangan negara dunia. Hal ini, menurut Zulfikar, memicu respons berbagai negara untuk menarik diri.
Kendati demikian, ia tidak menampik adanya negara yang justru menyambut baik kerjasama ini. Bagi negara di Timur Tengah, kata Zulfikar, kehadiran Cina merupakan kabar baik lantaran mereka kerap kali memiliki hubungan yang buruk dengan Amerika Serikat dan sekutunya.
"Saya melihat BRI di Timur Tengah justru ada kepercayaan tinggi kepada Cina. Kepercayaan buruk itu datang ketika ada masalah di Sri Lanka," ucap Zulfikar.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Zakki Amali