tirto.id - Calon presiden dan calon wakil presiden (capres cawapres) nomor urut 1 membentuk tim kampanye yang gendut untuk memenangi Pilpres 2019. Dalam dokumen yang mereka daftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah juru kampanye (jurkam) Jokowi-Ma'ruf menyentuh angka 5.279 orang. Angka ini mengejutkan lantaran tiga hal:
Pertama, dalam sejumlah survei Jokowi-Ma'ruf sudah unggul elektabilitas dibandingkan penantangnya Prabowo Subianto dan Sandiaga S. Uno. Kedua, kubu Jokowi-Ma'ruf acap mengklaim rakyat puas dengan kerja pemerintah. Ketiga, Jokowi saat Pilpres 2014 (bahkan hingga sekarang) mempersepsikan dirinya sebagai sosok pemimpin yang bekerja efisien. Saat Jokowi-JK dikeroyok partai-partai di koalisi merah putih pada Pilpres 2014, ia lebih suka bilang tak ingin koalisi gemuk karena tak mau terjebak pada politik bagi-bagi kekuasaan. Namun begitu menjadi presiden, Jokowi malah merangkul sebanyak-banyaknya partai politik demi mengamankan program dan kekuasaannya.
Pengamat politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun mengatakan jumlah jurkam yang gendut akan menyeret Jokowi pada pragmatisme bagi-bagi kekuasaan yang selama ini seolah ia hindari
"Memang akan ada implikasinya terhadap power sharing (pembagian kekuasaan) dan itu artinya sangat pragmatis, tidak ideologis," kata Ubedilah kepada Tirto, Sabtu (29/9).
Bagi-bagi kekuasaan akan dilakukan oleh siapa pun kandidat yang memenangi Pilpres 2019. Jatah kekuasaan itu mula-mula akan diprioritaskan kepada partai politik karena dianggap memiliki mesin politik rill baik di akar rumput maupun di parlemen. Setelah partai baru kemudian para relawan.
"Implikasinya ke power sharing [kabinet] lebih ke jatah partai. Kalau relawan ya paling [menjadi] komisaris [BUMN]," ujar Ubedilah.
Ubedilah mengatakan jurkam yang gendut akan berdampak pada membengkaknya biaya kampanye. Pembiayaan kampanye yang besar otomatis membuat modal Jokowi-Ma'ruf terkuras. Ubedilah yakin ada pasokan modal kampanye yang besar sehingga Jokowi-Ma'ruf berani mendaftarkan ribuan orang menjadi jurkam resmi ke KPU RI.
"Itu kan pembiayaannya banyak, dari mana tuh uangnya? Berarti banyak dari pemilik modal dong. Karena kalau orang jadi jurkam dia punya ongkos dong untuk kampanye di berbagai wilayah," kata Ubedilah.
"Jadi makin banyak jurkam itu makin banyak biayanya. Kecuali relawan yang tidak dibiayai paslon. Tapi relawan kan yang sebenarnya spiritnya volunteer sekarang berubah jadi bisnis."
Banyak Diisi Caleg
Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Lena Maryana Mukti memastikan jumlah jurkam yang gendut tak bakalmenjebak Jokowi-Ma'ruf dalam politik bagi-bagi kekuasaan. Sebab menurutnya ribuan jurkam itu mayoritas diisi para calon anggota legislatif (caleg) dari 9 parpol pendukung Jokowi-Ma'ruf.
"Sama sekali tidak ada implikasi beban saat bagi-bagi kekuasaan bila Pak Jokowi menang. Karena menurut UU yang mendukung Presiden Jokowi adalah parpol, bukan orang per orang (caleg)," kata Lena kepada Tirto, Sabtu (29/9/2018).
Meski menjamin tak ada bagi-bagi kuasa dengan para jurkam, Lena mengamini pembagian porsi kekuasaan akan dilakukan Jokowi-Ma'ruf jika memang di pemilu mendatang. Pembagian itu disebutnya akan berjalan sederhana.
"Soal pembagian porsi untuk menyukseskan Pemerintahan Jokowi akan sesimpel yang sudah-sudah dan selama ini terjadi," katanya.
Juru Bicara Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Ferry Juliantono ikutan mengomentari juru kampanye Jokowi-Ma'ruf yang berjumlah jumbo. Menurut Ferry tak menutup kemungkinan ada bagi-bagi kekuasaan antara para jurkam dengan orang yang berhasil menjadi penguasa.
Ferry berkata jurkam juga ada di tim Prabowo-Sandiaga. Akan tetapi, jumlah jurkam yang didaftarkan secara resmi oleh Prabowo-Sandiaga tidak sebanyak milik Jokowi-Ma'ruf.
"Di kami itu ada jurkam nasional, daerah, dan provinsi. Semua caleg kita juga otomatis jurkam. Tapi tidak kemudian 5 ribu orang ditetapkan sebagai jurkam nasional," kata Ferry.
Wakil Ketua Umum Gerindra itu menyebut, jumlah jurkam yang banyak bisa menimbulkan masalah bagi pasangan calon yang mereka bela. Ia menyebut potensi masalah bia timbul karena tak semua jurkam dapat memahami dengan benar visi, misi, dan program kerja yang ditawarkan kandidat.
Ferry yakin keberadaan jurkam yang banyak bisa merugikan kandidat di pilpres jika tak dimanfaatkan secara baik. Kerugian juga bisa muncul jika ternyata masing-masing jurkam memiliki kepentingan sendiri saat berkampanye.
"Kalau ribuan, apa benar mereka sudah seragam visi dan misinya? Kemudian kalau salah menyampaikan visi, misi, program, profil kandidat itu bisa menyebabkan distorsi dan justru bumerang," ujar Ferry.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Muhammad Akbar Wijaya