Menuju konten utama
10 Agustus 1973

I.M. Pei dan Bagaimana Politikus Membenci Piramida Louvre

Piramida Louvre adalah salah satu ikon kota Paris, tapi sempat ditolak politikus sayap kanan.

I.M. Pei dan Bagaimana Politikus Membenci Piramida Louvre
Ilustrasi Mozaik Museum Louvre Paris. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Awal 1980-an, Louvre adalah museum yang tidak terawat dan tidak menarik bagi orang Perancis. Deretan ruang yang berpotensi jadi tempat memamerkan karya seni hanya difungsikan sebagai gudang penyimpanan karya. Pasalnya, beberapa ruang pamer tidak memiliki sirkulasi udara yang baik untuk memajang karya antik.

Dalam sebuah artikel yang terbit pada November 1985, jurnalisNew York Times Richard Bernstein mengutip pernyataan politikus Perancis Emile Biasini, “Kafetaria di museum ini sangat kecil, jumlah toilet sangat terbatas, ruang administrasinya juga kurang.”

Biasini merasa pamor Louvre kalah jauh dibanding Metropolitan Museum of Art (MoMA) di New York, AS. Pengunjung MoMA bisa menghabiskan waktu tiga jam untuk keliling museum. Sementara pengunjung Louvre—yang sebagian besar adalah wisatawan mancanegara—hanya tahan keliling museum selama 1,5 jam.

“Itu hanya cukup untuk melihat [lukisan] Venus de Milo, Mona Lisa, dan mungkin Infanta Margarita karya Michelangelo,” kata Biasini.

karena hal-hal itulah sejumlah pejabat Perancis merasa Louvre telah kehilangan kesan adiluhung.

Awalnya Louvre didirikan pada masa kepemimpinan Raja Philip II sebagai benteng pertahanan area kerajaan. Ketika pemerintahan berganti ke Raja Francis, Louvre jadi tempat tinggal yang memajang ragam koleksi karya seni milik Francis, di antaranya lukisan-lukisan renaisans karya Leonardo Da Vinci, pelukis langganan sekaligus kawan Francis.

Pada masa pemerintahannya itu, Louvre juga jadi tempat berkumpul anggota Akademi Lukisan dan Seni Pahat Kerajaan. Isinya kaum elit Perancis yang bertugas mengurus pendidikan seniman, kritikus seni, dan mengawasi mutu berbagai pameran.

Raja-raja Perancis setelah Francis ternyata turut melestarikan perhatian terhadap seni. Mereka pun berlomba-lomba membeli atau memesan karya seni kelas atas untuk dipajang di dalam istana.

Ketika Louis XIV berkuasa, ia mendatangkan arsitek asal Italia untuk mendesain bangunan-bangunan baru dalam rangka perluasan kawasan Louvre.

Filsuf Denis Diderot mengusulkan agar Louvre jadi museum seni yang terbuka untuk umum. Pada 1793, museum seni Louvre diresmikan lewat pembukaan pameran yang menampilkan 500 lukisan dan karya seni koleksi kerajaan.

Dalam perjalanannya, museum tersebut menyimpan sekitar 380.000 karya seni. Para pejabat museum enggan menampilkan karya seni yang berasal dari negara jajahan Perancis atau negara yang mereka anggap berasal dari dunia ketiga.

Ketika politikus Partai Sosialis François Mitterrand jadi presiden, pembenahan Louvre jadi masuk ke dalam agenda pemerintahannya. Ia meminta Biasini mencari tahu arsitek yang layak membangun Louvre. Lalu muncullah nama Ieoh Ming Pei atau I.M. Pei.

Mitterrand pun terbang ke AS untuk menemui Pei dan mengunjungi beberapa proyeknya di negeri Paman Sam. Sang presiden terpana menyaksikan National Gallery of Art, Washington DC—yang area depannya juga berdiri beberapa piramida sebagai dekorasi.

Pei adalah anak bankir tersohor asal Cina yang menempuh pendidikan arsitektur di Massachusetts Institute of Technology dan Harvard. Ketika mengerjakan proyek Louvre, ia sudah jadi arsitek ternama di AS. Pada 1979 ia menerima penghargaan Gold Medal of the American Institute of Architects, yang disebut New York Times sebagai penghargaan paling prestisius untuk arsitek di AS.

Pei juga merupakan arsitek kesayangan Jacqueline Onassis. Pada awal 1964, Jackie meminta Pei mendesain JFK Library yang baru dibuka 15 tahun kemudian. Bangunan itu kelak dirayakan sebagai salah satu karya ikonik Pei.

Nama Pei dipuja-puja di kalangan kritikus desain AS. Jurnalis New York Times Paul Goldberger menuturkan para kritikus menilai Pei mampu mendesain bangunan-bangunan monumental dan mengundang perhatian lewat material yang kerap digunakan, yakni kaca.

Segenap pencapaian itu membuat Mitterrand tak ragu meminta Pei memperbaiki desain Louvre.

Untuk Louvre, Pei merancang ruang bawah tanah—tepat di area pekarangan atau Cour Napoleon—yang mengintegrasikan tiga bangunan utama museum. Pada area tersebut dibangun pula berbagai fasilitas yang sebelumnya tidak ada, seperti ruang pertemuan, ruang penjualan, pusat informasi, kafetaria, restoran, lahan parkir, dan ruang penyimpanan barang.

Pei merencanakan area tersebut sebagai akses masuk utama ke museum. Di mata Pei, pintu masuk harus dibuat semenarik mungkin. Lalu muncullah ide piramida setinggi 22 meter yang terbuat dari kaca itu.

Ide Pei diejek oleh para cendekiawan, politikus sayap kanan, dan media massa Perancis. Desain piramida dianggap tidak masuk akal, tak tepat konteks, dan melambangkan kematian.

“Tidak sepantasnya Louvre diperlakukan seperti Disneyland,” tulis Le Monde seperti yang dikutip New York Times.

Infografik Mozaik Museum Louvre Paris

Infografik Mozaik Museum Louvre Paris. tirto.id/Nauval

Para cendekiawan ini kemudian membentuk kelompok yang bertujuan menggagalkan proyek pembangunan piramida Louvre. Mereka menganggap proyek tersebut sekadar ambisi pribadi Mitterrand untuk meninggalkan jejak selama masa pemerintahannya. Prasangka itu makin kuat ketika Mitterrand tidak melibatkan politikus dan cendekiawan dalam pembuatan berbagai keputusan terkait pembangunan piramida Louvre.

Jean-Louis Cohen, sejarawan arsitektur di New York University dan Collège de France menyatakan piramida Louvre melambangkan elemen budaya AS. Hal yang tidak disukai politikus Perancis saat itu yang cenderung anti-Amerika.

Sosiolog dan ahli sejarah asal Perancis Jean Paul Aron menilai pembangunan piramida Louvre ditentang karena idenya datang dari seorang tokoh sayap kiri sehingga para politikus sayap kanan merasa berang.

“Andai ide membuat piramida dibangun oleh politikus sayap kanan yang punya kekuasaan, mungkin proyek itu akan disetujui,” katanya kepada Bernstein, masih dari New York Times.

Rencana membatalkan pembangunan piramida itu gagal lantaran walikota Paris saat itu cukup mendukung ide Mitterrand. Pintu masuk baru Louvre diresmikan pada 1989.

Sejak itu, pengunjung Louvre meningkat. Piramida pun dipandang layaknya lukisan Mona Lisa, sama-sama menjadi tujuan utama para pengunjung Louvre. NPR melaporkan bahwa orang rela mengantri demi masuk lewat piramida. Padahal, ada pintu masuk lain ke area museum.

Tahun lalu, Louvre semakin populer setelah penyanyi Beyonce dan suaminya, Jay-Z, membuat video klip di beberapa area museum. Pada akhir 2018, tim museum mencatat jumlah pengunjung mencapai 10.2 juta alias yang terbanyak sejak Louvre berdiri.

Jumlah tersebut mungkin tidak ada apa-apanya dibanding mereka yang datang ke Cour Napoleon hanya untuk selfie di depan piramida buatan Pei, yang meninggal dunia 16 Mei lalu dalam usia 102 tahun.

Baca juga artikel terkait SEJARAH DUNIA atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Humaniora
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Windu Jusuf