tirto.id - Pagebluk COVID-19 jelas tidak akan usai di pengujung tahun 2020 ini. Meski begitu, serbaneka paket liburan dan promosi pariwisata justru semakin marak. Diskon besar tiket transportasi, hotel, dan paket wisata untuk cuti akhir tahun pun sudah menanti.
“Kita belum tentu terkena COVID-19, tapi kepenatan adalah pasti,” kata seorang teman menjawab pertanyaan saya soal kekhawatirannya saat melancong ke Bali pada akhir Oktober kemarin.
Kawan saya itu—sebut saja namanya Gista, 28 tahun—termasuk orang yang paranoid saat COVID-19 mulai mewabahdi Indonesia pada bulan Maret silam. Dia sudah menahan diri untuk tidak keluar rumah selama berbulan-bulan. Dia pun berbelanja dengan teknologi daring dan sempat melakukan tes COVID-19 karena badannya tiba-tiba demam.
Tapi, pekan libur panjang di akhir Oktober kemarin membikin keteguhannya ambruk. Paket menginap tiga hari dua malam di Bali seharga Rp800 ribuan bikin dia keluar dari persembunyian.
“Yang penting pergi dengan protokol kesehatan,” kata Gista.
Yang Gista maksud dengan “protokol kesehatan” mungkin adalah memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan—meski berada di tempat tertutup, ramai, serta berventilasi buruk dalam durasi waktu lama, dan berkerumun tanpa menjaga jarak. Kalimat “supaya jiwa tetap waras” dia jadikan tameng pembenaran atas pilihannya.
“Sebelum pergi juga rapid test dulu,” kembali dia membela diri.
Pemerintah memang selalu menghimbau supaya masyarakat tidak bepergian. Dengan imbauan itu, pemerintah jadi terkesan serius membatasi transmisi virus. Namun, imbauan itu jadi tidak bermakna gara-gara berbagai macam promo tiket pesawat dan paket liburan.
Walhasil, kuantitas kendaraan—dan tentu saja manusia—yang meninggalkan kota-kota besar meningkat saat libur panjang Maulid Nabi, 27-30 Oktober 2020, kemarin. Laman resmi Jasa Marga, misalnya, mencatat lebih dari 655 ribu kendaraan meninggalkan Jakarta selama selama empat hari itu.
“Distribusi lalu lintas mayoritas sebanyak 49,19 persen ke arah timur, 28,03 persen menuju arah barat dan 22,78 persen Selatan,” demikian tertulis dalam laporan Jasa Marga.
Bukan sekali ini saja volume arus keluar Jakarta meningkat di tengah pandemi. Pada libur peringatanKemerdekaan dan Tahun Baru Hijriah, 19-21 Agustus 2020, volume lalu lintas meninggalkan Jakarta naik sebesar 27,3 persen dibanding hari biasa. Kala itu, Jasa Marga mencatat hampir 470 ribu kendaraan keluar dari ibu kota hanya dalam waktu tiga hari.
Sebagian orang seperti Gista mungkin berpikiran, “Kapan lagi bisa liburan dengan harga hemat.” Dan lagi, melancong mungkin tidak akan jadi masalah karena hanya sebentar saja. Hanya saja, saat satu-dua orang berpikir begitu, yang lain akan segera mengekor.
Lalu, tiba-tiba saja terjadi lonjakan kasus pascalibur panjang. Risiko ini terus mengancam setidaknya hingga libur natal dan tahun baru bulan depan.
Spreader dari Pelancong Jakarta
Sebelum gelombang COVID-19 masuk ke Indonesia, Pemerintah Indonesia memang terkesan tidak acuh dan malah menggencarkan promosi pariwisata. Setelah pagebluk merajalela, respons Pemerintah pun tidak lebih baik. Stimulus-stimulus pembangkit ekonomi disuntikkan—tidak terkecuali untuk sektor pariwisata, sementara penanganan pandemi seakan bukan prioritas utama.
Pemerintah bahkan sudah menurunkan harga tiket dengan menghapus biaya Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U) alias Passenger Service Charge (PSC) untuk menghadapi libur akhir tahun. Ketentuan ini berlaku untuk pembelian tiket pada periode 23 Oktober hingga 31 Desember 2020.
“Stimulus ini diberikan guna mendukung kebangkitan industri penerbangan dan pariwisata,” kata Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Novie Riyanto dalam konferensi pers daring, Kamis (22/10/2020).
Ada 13 bandara yang mendapat insentif penghapusan PSC itu. Bandara-bandara itu rata-rata berlokasi di dekat destinasi pariwisata yang ramai, di antaranya Bandara Internasional Soekarno-Hatta (CGK), Hang Nadim (BTH) di Batam, Kualanamu (KNO) di Deli Serdang, I Gusti Ngurah Rai (DPS) di Bali, hingga Yogyakarta Internasional Airport (YIA).
Kemudian ada pula Bandara Halim Perdanakusuma (HLP), Lombok Praya (LOP), Jenderal Ahmad Yani (SRG) di Semarang, Sam Ratulangi (MDC) di Manado, Komodo Labuan Bajo (LBJ), Silangit (DTB) di Tapanuli Utara, Blimbingsari (BWX) di Banyuwangi, dan Adisutjipto (JOG) di Yogyakarta.
Stimulus pariwisata itu berisiko memperluas penyebaran virus dari zona merah korona ke wilayah lain. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) setidaknya bisa menunjukkan hal itu. Di Yogyakarta International Airport, penumpang asal Bandara Soekarno Hatta, Jakarta, menempati urutan pertama pelancong domestik. Jumlahnya naik 146,61 persen selama periode Juni hingga Juli—dari semula 7.193 orang menjadi 17.739 orang.
Kondisi serupa juga terlihat di Bandara Adisutjipto. Jumlah penumpang dari Bandara Halim Perdanakusuma periode Juni-Juli naik 141 persen, dari 278 orang menjadi 670 orang. Di bandara ini kenaikan jumlah penumpang terbanyak kedua berasal dari Surabaya (456,6 persen) dan Bandung (625 persen). Ketiga kota itu merupakan zona merah kasus COVID-19.
Libur panjang sangat berpotensi membuat grafik infeksi naik karena mobilitas manusia meningkat dan terbentuk kerumunan di sejumlah titik tempat wisata. Daerah yang semula zona hijau harus waspada terhadap pelancong-pelancong dari zona merah karena ntisipasi dengan rapid testbelaka tidak menjamin mereka terbebas dari COVID-19.
Ilusi Rasa Aman
Grafik kasus yang disediakan Kementerian Kesehatan menunjukkan rata-rata lonjakan kasus akan terdeteksi dalam sepuluh hari pascalibur panjang—sesuai masa inkubasi virus korona, 14 hari setelah paparan. Pada periode libur panjang Idulfitri, 22-25 Mei 2020, misalnya, lonjakan kasus harian mencapai lebih dari 40 persen.
Lonjakan kasus harian juga terjadi saat libur hari Kemerdekaan, 16-22 Agustus 2020, sebesar 21 persen. Namun, pascalibur Maulid Nabi, 27-30 Oktober 2020, kemarin terjadi anomali dalam grafik penambahan kasus positif harian. Pada 31 Oktober kasus harian berada di angka 3.143, kemudian data terakhir (2 November 2020) angka infeksi turun menjadi 2.618.
Lalu, apakah kurva kita benar melandai? Tentu tidak.
Selama libur Idulfitri silam, terdapat peningkatan tes sebesar 10 persen. Sementara pada libur Kemerdekaan, persentase tes naik lagi menjadi 20 persen. Tapi, dalam dua pekan terakhir Oktober kemarin, 17-31 Oktober 2020, rata-rata jumlah orang yang dites per hari hanya sekitar 26.000 saja.
Padahal, meski belum memenuhi standar Badan Kesehatan Dunia (WHO)--yakni 1 : 1.000 populasi per satu minggu.Pemerintah Indonesia pernah melakukan 33.000 tes per hari. Artinya, selama dua bulan menjelang periode libur akhir tahun terjadi penurunan persentase tes sekitar 20 persen.
Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan penurunan jumlah tes dipengaruhi sejumlah faktor, antara lain jumlah titik testing yang luas dan terbatasnya kapasitas laboratorium.
Saat ini terdapat 426 laboratorium yang melayani tes PCR dan Tes Cepat Molekuler (TCM) di Indonesia, dan itu tidak tersebar merata di 502 kota/kabupaten terdampak COVID-19. Kondisi itu diperparah dengan keterbatasan reagen dan sumber daya manusia.
“Hal ini menjadi bahan evaluasi bersama untuk memasifkan testing dan tracing, baik dengan memperbanyak jumlah lab maupun kualitas laboratorium,” kata Wiku kepada reporter Tirto, Senin, (2/11/2020).
Kurva infeksi harian yang melandai, stimulus ekonomi pariwisata, tiket murah, dan paket wisata di bawah harga standar memang kombinasi ciamik untuk memunculkan ilusi rasa aman di tengah euforia liburan akhir tahun. Jika kasus infeksi COVID-19 tiba-tiba meningkat drastis, yang jadi kambing hitamnya jelas “ketidakpatuhan” masyarakat. Pemerintah pun bisa berkilah telah mengimbau masyarakat agar tidak bepergian sejak jauh-jauh hari—sembari tipis-tipis promosi pariwisata aman COVID-19.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi