tirto.id - Bagaimana rasanya bekerja di lembaga kajian luar angkasa terbaik di dunia sebagai perempuan muslim? Situasinya mungkin bisa dijelaskan dengan baik oleh Tahani Amer, muslimah berkewarganegaraan Amerika Serikat, yang bekerja untuk NASA.
Perempuan keturunan Mesir ini memiliki ketertarikan terhadap mesin karena tumbuh besar sembari menyaksikan ayahnya memperbaiki mobil keluarga. Saat sekolah ia jatuh cinta pada matematika dan dari sanalah menemukan jalan pada teknik penerbangan. Ayah dan gurunya mendorong Amer untuk meraih mimpinya, bahwa tak ada pekerjaan atau cita-cita yang tak bisa diraih oleh perempuan.
Amer memulai kariernya di NASA dalam bidang Computational Fluid Dynamics (CFD). Pekerjaan ini menuntunnya pada proyek pengembangan produk luar angkasa NASA. Amer lantas mematenkan penemuannya terkait sistem yang digunakan untuk mengukur konduktivitas termal pada film tipis.
Meski memiliki banyak capaian dalam ilmu pengetahuan, dalam laman NASA, Amer tanpa malu mengakui bahwa apa yang ia capai hari ini berkat tiga prinsip hidup: mematuhi perintah Tuhan maka kau akan dipuaskan segala kebutuhannya, pendidikan sebagai kunci hidup, serta menyebarkan kebaikan dan keramahan.
Tahani Amer bukan satu-satunya perempuan muslim dunia yang punya sumbangan pada ilmu pengetahuan melalui temuan dan paten. Tim riset Tirto mengumpulkan beberapa nama, yang mungkin bisa melahirkan perdebatan sehat, perempuan muslim yang punya capaian penting bagi ilmu pengetahuan. Daftar ini tidak mutlak benar, siapa pun bisa membantahnya, tapi Tirto mencoba merangkum beberapa nama perempuan muslim yang capaiannya diakui dunia pengetahuan sebagai hal penting.
Nama pertama adalah Sameera Moussa, yang dijuluki sebagai Ibu Teknologi Atom Mesir. Ia lahir di El Gharbia, Mesir, pada 3 Maret 1917.
Sameera diakui sebagai pionir dalam fisika nuklir di Mesir. Ia merupakan perempuan pertama bergelar doktor dalam bidang radiasi atom dan bercita-cita memanfaatkan teknologi untuk penggunaan medis secara terjangkau. Ia pernah berseloroh bahwa, kelak, teknologi nuklir untuk pengobatan akan semurah obat sakit kepala. Meski demikian ia sangat menentang dan menolak penggunaan teknologi nuklir untuk senjata.
Sameera Moussa kehilangan ibu akibat kanker, ini yang memacunya untuk belajar medis dari sudut ilmu pengetahuan. Capaian terbesar yang diperoleh Sameera adalah menemukan persamaan yang membantu menghancurkan atom dalam besi rendah seperti perunggu yang, sayangnya, berguna untuk membuat bom nuklir secara lebih murah.
Sameera yang kehilangan ibunya akibat kanker juga banyak membantu orang-orang dengan penyakit ini di berbagai rumah sakit dengan biaya murah. Tindakan itu, baginya, tak ubahnya sebuah bakti karena kehilangan orang tua akibat kanker.
Ia terobsesi mengembangkan teknologi atom untuk menemukan obat solusi dari berbagai penyakit di dunia. Ia juga menyelenggarakan konferensi bertajuk "Atom untuk Perdamaian".
Nama ilmuwan perempuan berikutnya adalah Prof. Nesreen Ghaddar. Ia warga negara Lebanon yang memiliki gelar PhD., dari MIT dan tercatat sebagai profesor teknik mesin di American University of Beirut. Karier akademisnya merentang mulai dari editor Applied Mechanics hingga menjadi anggota Islamic World Academy of Sciences.
Kesuksesannya merupakan hasil kerja keras sendiri dan dorongan orang tua. Ia meraih gelar teknik mesin dari Universitas Kuwait. Orang tuanya tidak berhenti mendorong untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi hingga ia akhirnya berhasil meraih gelar Doktor di Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Ia adalah perempuan pertama dalam silsilah keluarganya yang belajar hingga tingkat doktor di luar negeri. Ia fokus pada teknologi energi terbarukan. Pada 1984 ia mendapatkan penghargaan paper terbaik dalam bidang termofisika dari American Institute of Aeronautics and Astronautics.
Dalam dunia yang patriarkis, perempuan terutama mereka yang memiliki capaian tinggi dalam bidang akademik kadang diremehkan. Ghaddar mengakui bahwa menjadi perempuan ilmuwan dan menduduki posisi penting kadang bisa sangat menakutkan untuk orang lain.
"Kadang orang akan takut pada kesuksesanmu, khususnya jika kamu perempuan satu-satunya. Orang tidak tahu harus bagaimana pada awalnya dan bagaimana merespon. Tapi ini akan berubah seiring waktu saat kamu berhasil membuktikan dirimu," katanya.
Nama lain yang penting adalah Professor Rabia Hussain yang meraih gelar PhD dalam bidang Bacteriology serta Immunology dari University of Western Ontario dan Royal College of Pathologist, UK. Ia juga meraih beasiswa dari Johns Hopkins University, USA. Ia pernah melakukan penelitian dalam bidang structural and genetics basis of allergy.
Rabia merupakan staf senior di National Institutes of Health. Ia memenangi penghargaan Berson-Yallow karena mengembangkan sensitive radio-immunoassay untuk memeriksa respons alergi parasit spesifik. Capaian penting lainnya di bidang studi tentang sistem kekebalan alami dari alergi terhadap parasit dan bagaimana mengendalikannya.
Rabia mengajar di Aga Khan University sejak 1986. Dan di kampus itu pula ia mendapat gelar profesor. Saat ini ia fokus dalam penelitian terkait penyakit imunitas mikrobakterial seperti lepra dan TBC. Temuannya dalam penelitian terkait penyakit TBC dipercaya mampu membuat kita lebih memahami apa kaitan antara bakteri mikro dan sistem kekebalan tubuh manusia.
Sementara Prof. Ilham Al Qaradawi merupakan nama besar lain yang muncul dari Universitas Qatar. Meski saat ini Qatar sedang mengalami pergolakan politik, tapi negara tersebut adalah salah satu negara Arab yang progresif dalam bidang sains. Tidak sedikit jabatan-jabatan penting terkait dunia ilmu pengetahuan dan sains diduduki oleh perempuan tanpa memandang tradisi patriarkis di Timur Tengah.
Prof Ilham selama satu dekade terakhir mengabdikan diri di bidang fisika di negaranya dan sukses membangun slow positron beam pertama di timur tengah. Ia ikut serta dalam eksperimen AEGIS Antihidrogen di lembaga pengetahuan Eropa CERN. Ia juga beberapa kali mengisi kuliah umum tentang teknologi nuklir di World Nuclear University Summer Institute selama empat tahun terakhir.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Zen RS