tirto.id - Dalam rapat dengar pendapat antara House of Representatives (parlemen AS) dengan Facebook pada Kamis (23/10) lalu, Alexandria Ocasio-Cortez, salah seorang anggota kongres dari Partai Demokrat, bertanya kepada Mark Zuckerberg, pendiri Facebook.
“Dapatkah saya beriklan tentang tanggal pemilihan yang salah, yang khusus menyasar pengguna di wilayah kode pos hitam (wilayah yang didominasi warga kulit hitam) di Facebook?”
“Tidak,” jawab Zuckerberg dengan tegas. “Facebook tidak menoleransi penindasan pada pemilih.”
Ocasio-Cortez kembali bertanya: “Dapatkah saya beriklan di Facebook dengan mengatakan bahwa Partai Republik mendukung RUU Green New Deal (RUU tentang perubahan iklim dan kesetaraan ekonomi yang digagas Partai Demokrat)?” tanya Ocasio-Cortez.
Zuckerberg menjawab sambil kebingungan: “Mungkin.”
Tidak Ada Perubahan
Iklan politik di media sosial tengah menjadi sorotan, khususnya sejak pemilihan presiden AS yang dilakukan 2016 lalu. Facebook, yang digenggam Zuckerberg itu, dianggap lalai karena bukannya memuat fakta, malah iklan politik berbau propaganda yang muncul di newsfeed-nya.
Wabilkhusus, Cambridge Analytica, firma politik asal Inggris, memanfaatkan data pribadi hampir 50 juta pengguna Facebook secara ilegal untuk beriklan konten-konten propaganda Donald Trump.
Cecaran anggota dewan seperti yang dilakukan Ocasio-Cortez bukan pertama kali terjadi. Pada April 2018 Facebook juga “dihajar” 100 anggota kongres AS. Kala itu, Zuckerberg mengakui bahwa masalah penggunaan platform-nya yang tidak benar hingga menguntungkan Trump adalah kesalahannya.
“Itu adalah kesalahan saya, dan saya minta maaf [...] Saya memulai Facebook, saya menjalankannya, dan saya bertanggung jawab atas apa yang terjadi di sini,” kata Zuckerberg.
Sayangnya, lebih dari setahun berlalu, Facebook tidak berubah. Mereka kini bahkan terang-terangan menyatakan memperbolehkan iklan politik, meskipun memuat konten yang tidak benar atau palsu. Zuckerberg mengklaim keputusan Facebook membolehkan iklan politik tayang dilakukan sesuai dengan inti amandemen pertama konstitusi AS: kebebasan berpendapat. Ia mengatakan, “Saya mendapatkan kabar bahwa beberapa orang tidak setuju dengan keputusan kami. Tapi saya lebih takut orang-orang berkata bahwa kami tidak melakukan apa yang kami yakini.”
Selain membolehkan iklan politik tayang, Facebook pun menihilkan pengecekan validitas konten-konten iklan politik tersebut. Nick Clegg, Kepala kantor Urusan Komunikasi Facebook, beralasan bahwa perusahaannya “tidak ingin terlibat dalam perdebatan politik.”
Seperti dilaporkan Verge, atas keputusan Facebook itu Elizabeth Warren, Senator AS asal Massachusetts, menyebut bahwa “langkah-langkah yang dilakukan Facebook itu terasa sengaja untuk membantu satu kandidat menyesatkan rakyat Amerika.” Ia juga menjuluki Facebook sebagai “mesin kesesatan informasi demi uang.”
Selain dikritisi dari luar, sebagian karyawan Facebook pun mengecam kehendak sang bos. Dalam surat yang ditandatangani 250 karyawan Facebook dan dipublikasi New York Times, mereka menyatakan: “kebebasan berpendapat dan pendapat yang disebarkan dengan uang adalah hal berbeda.”
Para karyawan itu khawatir, iklan politik yang memuat konten propaganda dianggap kebenaran dan pada akhirnya merusak kepercayaan publik pada Facebook.
Adu Pendapatan Iklan Politik: Facebook vs Twitter
Terkait iklan politik di media sosial, pihak Twitter dengan tegas menyatakan bahwa mereka akan menolak iklan politik mulai November ini. Dalam seri kultwit-nya, Kepala Eksekutif Twitter, Jack Dorsey, menyampaikan keputusan ini diambil karena “pesan politik seharusnya dicapai (melalui kerja keras politikus), bukan dibeli.”
“Pesan politik dapat tercapai ketika orang memutuskan untuk mengikuti akun atau me-retweet politikus. Membayar untuk membuat pemilih tahu pesan yang hendak disampaikan politisi, dengan memaksa melalui sistem penargetan, tidak dapat dikompromi melalui uang,” kicau sang pendiri mesin kicau ini.
Menurut Dorsey, beriklan di media sosial dengan memanfaatkan data pengguna, “sangat luar biasa kuat dan efektif.” Maka, tatkala media sosial dimanfaatkan dunia politik, apalagi dengan menghembuskan propaganda palsu, akan “sangat berbahaya dan berpengaruh buruk pada jutaan pemilih.”
Ned Segal, Kepala Keuangan Twitter, menegaskan bahwa keputusan bosnya menghilangkan pendapatan dari sisi iklan politik tidak akan berpengaruh banyak bagi perusahaan. Pasalnya, dalam setengah tahun pertama 2018, iklan politik hanya berkontribusi sebesar $3 juta (lebih dari Rp42 miliar) bagi Twitter. Sementara itu, pendapatan keseluruhan Twitter di tahun 2018 adalah $3 miliar (lebih dari Rp42 triliun).
Ada pun Facebook tidak merilis berapa banyak uang yang mereka terima dari iklan politik. Namun, mereka memperkirakan iklan politik hanya akan berkontribusi sebesar 0,5 persen pada pendapatan perusahaan di 2020.
Dalam laporan keuangan 12 bulan yang berakhir pada kuartal 3-2019 lalu, Facebook memperoleh pendapatan $66 miliar atau sekitar Rp926,5 triliun. Dengan komparasi itu, sebagaimana diwartakan Techcrunch, pendapatan iklan politik Facebook diprediksi berkisar antara $330 juta (sekitar Rp4,6 triliun) hingga $400 juta (sekitar Rp5,6 triliun) pada 2020 kelak.
Keputusan berani Twitter untuk menolak iklan politik disayangkan Brad Parscale, Manajer Kampanye Donald Trump 2020. Menurutnya, tindakan Dorsey adalah “keputusan yang sangat bodoh.”
Berbeda dengan Facebook dan Twitter, Google masih membolehkan iklan politik tayang di berbagai platform-nya. Tapi, Google mewajibkan pengiklan memverifikasi kelayakannya, apakah ia memang berwenang beriklan politik di negara terkait. Selain itu, Google juga melakukan proses pemindaian iklan politik, termasuk mengecek kesesatan informasi atau tidak.
Pada kasus kampanye Trump, dari 100 iklan politik yang ditayangkan, Google menurunkan tujuh di antaranya karena melanggar kebijakan mereka.
Kebebasan Berpendapat Macam Apa?
Kekhawatiran utama penggunaan media sosial untuk iklan politik adalah kekuatan teknologi ini menargetkan penonton iklan secara spesifik. Hal ini dimungkinkan karena media sosial menggenggam data pengguna secara menyeluruh. Pada kasus Facebook, Zuckerberg mengatakan bahwa platform-nya menggenggam dua jenis data pengguna: umum, yang berisikan data apapun yang diunggah, dan spesifik, seperti “like.”
Michal Kosinskia, peneliti dari University of Cambridge, dalam papernya berjudul “Private Traits and Attributes are Predictable from Digital Record of Human Behavior” (PDF, 2012) menyebut bahwa "like" dapat secara otomatis dan akurat memprediksi “highly sensitive personal attributes” seorang pengguna Facebook. Misalnya: orientasi seksual, etnis, religi, hingga atribusi pribadi lainnya. Dengan dua jenis data tersebut, pengiklan dapat menciptakan iklan microtargeting.
Oana Barbu, peneliti dari Western University of Timisoara, dalam paper berjudul “Advertising, Microtargeting and Social Media” (PDF, 2013) menyebut konsep awal microtargeting adalah membagi-bagi kelompok masyarakat dengan memanfaatkan kode pos alias pembagian berdasarkan letak geografis. Di zaman media sosial, pembagian kelompok masyarakat dapat dipersempit. Dalam publikasi yang dilakukan ProPublica, ada 50 ribu pembagian kelompok di Facebook.
Dengan kekuatan semacam itu, maka para konsultan politik dapat menyasar pengguna media sosial yang berseberangan dengan apa yang diusungnya, serta mereka yang berada di zona netral atau belum menentukan pilihan demi menggoyahkan keyakinan dan berpaling ke mereka. Dan yang lebih menyedihkan, konten iklan politik yang secara spesifik menyasar warga juga mengandung narasi kepalsuan.
Dalam sejarahnya, iklan-iklan politik memang kadung erat dengan kebohongan. Pada tahun 1800, misalnya, tim kampanye Thomas Jefferson beriklan di surat kabar dengan menyebut John Adams, pesaing Jefferson, ingin Amerika berperang dengan Perancis.
Menjelang Pilpres AS 2020, Donald Trump juga telah mengucurkan dana senilai $24 juta untuk iklan politik di platform digital, termasuk Facebook. Salah satu iklan yang sudah tayang di Facebook, tepatnya pada 2 Oktober lalu, memuat konten yang menyatakan bahwa Joe Biden, pesaing Trump untuk memperebutkan Gedung Putih, menawarkan uang senilai satu juta dolar bagi pejabat di Ukraina untuk tidak memproses kasus anaknya, Hunter.
Dengan kenyataan itu, patut ditanyakan kembali: kebebasan berpendapat seperti apa yang diperjuangkan Zuckerberg? Apakah kebebasan berpendapat yang berlandaskan uang? Pendapatan sebesar Rp4,6 triliun hingga Rp5,6 triliun memang menggiurkan, bukan?
Editor: Eddward S Kennedy